Perayaan Hardiknas tahun ini mengangkat tema "Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar". Ditengah perayaan yang setiap tahunnya dilakukan, wajah pendidikan nasional kita belum kunjung mencapai mutu yang baik.Â
Ribut-ribut ditengah perayaan Hardiknas kali ini pun tak terelakkan. Implementasi "Kurikulum Merdeka" banyak disoroti para pakar dan praktisi dalam dunia pendidikan.
Meskipun banyak menuai polemik, menurut Mas Menteri Nadiem, implementasi "kurikulum merdeka" ini adalah untuk mengatasi hilangnya pembelajaran (learning loss) selama masa pandemi agar pendidikan kita  tidak semakin semakin tertinggal.Â
Namun, apakah memang pendidikan kita baru tertinggal semenjak dihantam pandemi covid-19, ataukah sedari dulu mutu pendidikan kita sudah rendah? Sekiranya lewat ulasan berikut, diharapkan mampu memberikan sedikit oase untuk mencerahkan pikiran kita di tengah teriknya nestapa keadilan dan kesejahteraan!
Hasil Survei PISA
Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) terakhir pada tahun 2018 yang diterbitkan pada maret 2019 lalu memotret sekelumit masalah pendidikan Indonesia.Â
Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara. Indonesia konsisten berada di urutan 10 terbawah. Dari ketiga kategori kompetensi, skor Indonesia selalu berada di bawah rata-rata. Ini menunjukan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.
Tentu kita kembali bertanya, mengapa Indonesia yang sudah berpartisipasi dalam penilaian PISA selama 18 tahun, sejak bergabung awal pada tahun 2000 tidak pernah memperoleh skor di atas rata-rata? Artinya, selama delapan belas tahun, kemampuan siswa di Indonesia dalam memahami bacaan, menghitung, atau berpikir secara ilmiah tak banyak berubah.
Menurut The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018 penyebab utama Indonesia selalu mendapat peringkat rendah adalah kurikulum pendidikan yang diterapkan. Perlu kita ketahui bahwa, Indonesia sudah mengalami pergantian kurikulum setidaknya sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, 2006, 2013 serta yang terbaru adalah "kurikulum merdeka".
Dari semua pergantian kurikulum itu dengan perubahan metode dan model pembelajaran yang variatif, tak satupun yang mengoptimalkan sistem Higher Order Thinking Skills (HOTS), sebuah turunan metode belajar yang dicetuskan oleh Benjamin Bloom lewat teori "Taksonomi Bloom".Â
Ataupun metode belajar menurut Bapak Pendidikan Nasional kita yakni Ki Hajar Dewantara dengan "Konsep Tringa". Kalau Bloom ada kognitif, afektif, dan psikomotorik maka Ki Hajar dengan ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Secara substansi kedua konsepsi ini sama hanya saja berbeda istilah dan penggunaan dalam institusi pendidikan.
Kita kembali lagi kepada soal skor PISA Indonesia yang konsisten rendah. Apakah ini pure kesalahan dari penerapan kurikulum yang tidak kompatibel ataukah ada faktor lain? Menukil kajian dari CFEE Annual Research Digest 2016/2017, menyimpulkan anak Indonesia akan siap menghadapi abad 21 tapi nanti di abad 31.Â
Artinya, pendidikan anak indonesia tertinggal 1.000 tahun. Hal ini diafirmasi pula oleh pengamat pendidikan Indra Charismiadji dari Vox Populi Institute, Ia mengatakan bahwa selain kurikulum sebagai sarana untuk mengukur kemampuan diri dan konsumsi pendidikan, model pembelajaran satu arah yang masih berjalan di sebagian besar sekolah membuat anak-anak Indonesia tidak siap menghadapi abad 21.
Dalam kapasitasnya sebagai pakar pendidikan Abad 21, Indra menambahkan bahwa agar mutu pendidikan indoneisa tidak tertiggal maka kurikulum Computer Science sudah harus diterapkan di Indonesia, sebab kurikulum ini sudah populer di banyak negara lain. Menurutnya, informatika akan mengajarkan anak untuk menjadi pencipta dalam artian mereka mampu menciptakan solusi atas permasalahan yang mereka temukan.
Selain itu, Menurut Indra, Indonesia telah mengalami learning loss sejak sebelum pandemi ini ada. Kondisi ini dilihat dari kebiasaan anak-anak yang tidak bersikap kreatif, inovatif, dan mampu memecahkan masalah. Siswa hanya tahu menghafal dan mendengarkan penjelasan guru, tanpa dibiasakan untuk komunikasi dua arah.
Lantas bagaimana sehingga ketika tahun 2022 ini skor PISA Indonesia bisa di atas rata-rata dan tidak dalam posisi terendah seperti tahun-tahun sebelumnya? Apakah kurikulum merdeka ini adalah formula sekaligus gebrakan dari Mas Menteri Nadiem untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia? Bisa iya, bisa tidak. Yang perlu digaris bawahi adalah pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
 Ini juga selaras dengan "Tripusat Pendidikan" ala Ki Hajar. Dalam membentuk siswa Indonesia menjadi generasi yang tangguh, cerdas, dan berkarakter maka bukan hanya tanggung jawab guru semata, melainkan keluarga dan masyarakat pun harus ikut serta dalam mewujudkan tujuan tersebut, karena semua saling berpengaruh.
Belajar Merdeka
Pendidikan Indonesia kini mengalami transformasi yang begitu signifikan. Di bawah kepemimpinan "Mas Menteri" Nadiem Makariem dengan gebrakan kebijakan "merdeka belajar" cukup merubah wajah pendidikan Indonesia saat ini. Kebijakan "merdeka belajar" ini merupakan langkah Mas Menteri Nadiem untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila.
Namun, seiring berjalannya pelaksanaan program-program dari kebijakan "merdeka belajar" ini, dunia pendidikan kita terasa masih stagnan dan belum menunjukan wajah cerah yang menyinari masa depan anak bangsa.Â
Harus diketahui dulu bahwa "merdeka belajar" ini sebenarnya bukan suatu konsepsi baru dalam dunia pendidikan. Sebab Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara sudah mencetuskan ide ini jauh sebelum republik ini merdeka.
Selanjutnya, kita harus mengajukan pertanyaan untuk menggugat efektifitas dari kebijakan ini. Sudah merdeka kah kita dalam belajar? Ataukah kita harus belajar untuk merdeka? Pertanyaan-pertanyaan ini patut kita lontarkan untuk menguji konsepsi "merdeka belajar" dari Mas Menteri Nadiem. Apalagi ini masih dalam momentum suci perayaan Hardiknas.
Berbicara mengenai merdeka, maka Ki Hajar selalu konsisten dalam mendiseminasi ide ini. Sebab roh dan spirit awal perjuangan beliau dalam memerdekakan Indonesia pun lewat medium pendidikan. Ini terbukti dengan berdirinya "Tamansiswa" sebagai lembaga pendidikan nasional pertama di Indonesia pada 3 Juli 1922.Â
Tujuan berdirinya lembaga ini adalah sebagai antitesis atau perlawanan terhadap pendidikan kolonial Belanda saat itu yang menggunakan konsep reegering, tucth, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) yang pada dasarnya model pendidikan ini merupakan bentuk perkosaan atas kehidupan batin anak-anak sehingga anak-anak tidak merdeka jiwanya dan rusak budi pekertinya.
Bagi Ki Hadjar, pendidikan haruslah memerdekakan  kehidupan manusia. Pendidikan pun harus disandarkan pada penciptaan jiwa merdeka, cakap dan berguna bagi masyarakat. Lagi-lagi Ki Hadjar menekankan bahwa kemerdekaan sebagai prasyarat penting agar tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia bisa kokoh serta berdiri dengan tegas membela perjuangan bangsanya bisa terwujud.
Sekali lagi, kita harus belajar merdeka dari spirit yang Ki Hajar contohkan lewat perjuangan beliau di dunia pendidikan. Beliau mengatakan bahwa kemerdekaan itu menjadi hal yang wajib diraih dalam tujuan pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu, sistem pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Ini juga harus dirumuskan dengan bahan-bahan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan hidup rakyat.
Sekali lagi, bagi Ki Hajar, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan diri, inilah konsepsi merdeka yang harus kita ciptakan dan raih dalam dunia pendidikan kita.
Akhirnya, pandemi covid-19 membuka tabir sekaligus menjadi bukti bahwa sistem pendidikan perlu dibenahi secara menyeluruh. PISA adalah tolak ukur kegagalan uji coba kebijakan pendidikan Indonesia yang selalu berganti setiap ada perubahan menteri. Sudah saatnya kita merevolusi dunia pendidikan kita.
Perlu upaya serius dengan jalan mengevaluasi secara menyeluruh sistem yang dibangun hingga tataran teknis pelaksanaan program yang terintegrasi dengan perkembangan teknologi yang masif.Â
Hal ini agar pendidikan yang humanis dan subtainable dapat terwujud. Tentu kesemuanya itu harus dilandaskan dengan paradigma pancasila sebagai alat evaluasi sekaligus inspirasi untuk mengkonstruksi pendidikan yang relevan dengan sistem sosial kemasyarakatan kita dan mampu bersaing secara global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H