Mohon tunggu...
Boeng Tan
Boeng Tan Mohon Tunggu... Buruh - Philosophy Activist

Membaca adalah melawan dan menulis adalah membunuh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi dan Kebuntuannya

12 Juli 2022   08:10 Diperbarui: 17 November 2024   03:00 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana demokrasi berasal dari kata demos yang berarti orang atau rakyat, dan kratos yang berarti peraturan. Inti dari konsep demokrasi ini adalah peraturan dan pemerintahan yang ada itu berdasarkan suara terbanyak dari rakyat. Jadi, segala keputusan yang ada itu didasari oleh suara mayoritas. Itulah konsep simpel demokrasi di Yunani saat itu.

Secara historis demokrasi dimulai dari pertengahan abad 5 SM—pada mulanya adalah sebuah konsep yang dikenal sebagai sistem politik di era Yunani, lebih tepatnya kota Athena. Sebuah tempat yang sering disebut-sebut sebagai asal dari peradaban barat karena berbagai pencapaian kebudayaannya.

Seiring berjalannya waktu, konsep demokrasi pun ikut berkembang. Berbagai ahli dan tokoh politik terus menyumbangkan buah pikiran untuk mengembangkan konsep demokrasi sesuai dengan kebutuhan.

Demokrasi menurut Aristoteles ialah suatu kebebasan atau prinsip kebebasan, Harris Soche menjelaskan bahwa demokrasi ialah suatu bentuk pemerintahan rakyat, dan menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Saya tidak mencoba menerka-nerka soal demokrasi mana yang lebih baik berdasarkan bentuknya, baik: konstitusional, indenpenden, ideologi, langsung, terpimpin dsj. Juga tidak mengkomparasikan mana yang lebih ideal untuk dijalankan, karna pada dasarnya macam-macam demokrasi tersebut adalah kamuflase dari demokrasi Athena. Saya menenkankan sebagaimana Bonger, demokrasi hanyalah dua aspek yaitu formal dan materil. Demokrasi formal adalah demokrasi sebagai teori, sedangkan demokrasi materil adalah demokrasi yang dalam praktiknya. Dan dalam hal melihat demokrasi berjalan praksis adalah soal bagaimana kemerdekaan, persamaan pada lingkup sosial dan ekonomi. Olehnya saya hanya akan meneropong latensitas dari sistem demokrasi yang dianggap baik untuk kebutuhan dasar dalam bentuk bernegara, sebuah keputusan bersama yang dinamakan dengan musyawarah. Maksudnya saya tidak mencoba mereduksi dari sisi kekuasaan melainkan, diskursus soal demokrasi di bawah sistem kenegaraan sangat perlu dilihat dari bukti nyata bagaimana ia beroperasi dengan alatnya yang disebut struktural pemerintahan.

Mengingat Socrates dan Plato pernah mengkritik demokrasi dari sudut pandang filosofis, di mana mereka memandang bahwa kebebasan dalam memilih (demokrasi langsung) adalah biang kerok mengapa Athena dan tanah Yunani selalu dihinggapi masalah. Socrates mencela demokrasi Athena karena mengutamakan pendapat khalayak (orang banyak) yang mengorbankan kebenaran. Socrates dihukum mati lewat demokrasi kala itu. Plato menghubungkan demokrasi dengan tirani yang ditengarai dengan peristiwa berdarah di Yunani.

Demokrasi Athena adalah sebuah gambaran demokrasi tanpa batasan terhadap dorongan-dorongan terburuk oleh mayoritas.

Dalam buku Republic karya Plato, Socrates mengutarakan bahwa ia keberatan dengan cara kerja demokrasi di Kota Athena. Dalam karya itu juga, Socrates sempat membicarakan soal kepemimpinan Adeimantus, menganalogikan sebuah kapal yang hendak berlayar, Socrates mempertanyakan siapa yang layak menjadi penanggung jawab di atas kapal nantinya, dan tentunya adalah orang yang benar-benar paham betul soal dunia kepelayaran.

Socrates berargumen bahwa memberikan suara dalam pemilihan adalah keterampilan, dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang.

Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama seperti tidak bertanggung jawabnya karena menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas "tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai."

Pada kesempatan lain, Socrates juga mengutarakan studi kasus mengenai jika seorang dokter dan penjual permen berada dalam sebuah debat pemilihan. Penjual permen dapat dengan mudah berkata bahwa ia akan membolehkan semua orang untuk memakan permen sesuka hati mereka, ia tidak akan melarang-larang seperti sang dokter yang tidak dapat mengatakan hal yang sama, ia juga tidak dapat berkata bahwa "saya melarang untuk kebaikan kalian" tentunya. Hal ini begitu sering kita jumpai dalam kampanye pemilihan pada demokrasi modern, pemilih yang termakan janji-janji manis dari bakal calon. Inilah yang belum dapat disingkirkan oleh pelaku berdemokrasi di Indonesia, dalam hal menentukan pemimpin lewat pemilihan umum.

Itulah yang berusaha disampaikan oleh Socrates. Bahwa pemilihan merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar intuisi. Lalu selayaknya sebuah ilmu pengetahuan, cara menentukan pilihan tersebut harus diajarkan pada sebuah instansi pendidikan. Namun karena nyatanya cara memilih tersebut tidak diajarkan, masyarakat akhirnya lebih percaya terhadap intuisi masing-masing dari pada menggunakan landasan argumen yang akarnya kuat sebelum memilih. Alhasil, kebuntuan dalam berpikir pada saat memilih banyak sekali muncul dan terlihat pada masyarakat.

Dari fenomena inilah mengapa demokrasi bukanlah satu-satunya harapan dalam sistem bangunan negara, karenanya demokrasi dalam diskursus filsafat, sosiologi dan agama masih diperbincangkan bahkan diperdebatkan hingga hari ini.

Walter A. Mcdougall dalam bukunya yang berjudul Throes of Democracy, menuliskan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 1829-1877 terjadi sebuah pergolakan demokrasi. Seirama dengan laporan Alexis de Tocqueville dalam bukunya Democracy in America, bahwa demokrasi Amerika pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang memberikan peluang kepada mayoritas untuk bertindak semaunya, semacam sistem diktator mayoritas. Artinya yang minoritas tidak akan mendapatkan apa-apa karena segalanya diatur oleh mereka yang memenangkan pemilu.

Gambaran ini terlihat jelas dari perjalanan demokrasi Indonesia, lewat suara mayoritas, krisis terjadi di mana-mana, pembangunan hampir tidak bermakna. Jutaan nyawa hilang, ribuan tanah digusur dengan alasan pembangunan, HAM dan segalanya dilanggar hingga hari ini. Demokrasi di Indonesia adalah sumber dari tumbuh suburnya kartel oligarki lewat perselingkuhan lembaga eksekutif, legislatif dengan pemodal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun