Mohon tunggu...
Sayuti Melik S
Sayuti Melik S Mohon Tunggu... Buruh - Artes Liberalis

Membaca adalah melawan dan menulis adalah membunuh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi dan Kebuntuannya

12 Juli 2022   08:10 Diperbarui: 12 Juli 2022   08:35 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara sederhana demokrasi berasal dari kata demos yang berarti orang atau rakyat, dan kratos yang berarti peraturan. Inti dari konsep demokrasi ini adalah peraturan dan pemerintahan yang ada itu berdasarkan suara terbanyak dari rakyat. Jadi, segala keputusan yang ada itu didasari oleh suara mayoritas. Itulah konsep simpel demokrasi di Yunani saat itu.

Secara historis demokrasi dimulai dari pertengahan abad 5 SM—pada mulanya adalah sebuah konsep yang dikenal sebagai sistem politik di era Yunani, lebih tepatnya kota Athena. Sebuah tempat yang sering disebut-sebuah sebagai asal dari peradaban barat karena berbagai pencapaian kebudayaannya.

Seiring berjalannya waktu, konsep demokrasi pun ikut berkembang. Berbagai ahli dan tokoh politik terus menyumbangkan buah pikiran untuk mengembangkan konsep demokrasi sesuai dengan kebutuhan.

Demokrasi menurut Aristoteles ialah suatu kebebasan atau prinsip kebebasan, Harris Soche menjelaskan bahwa demokrasi ialah suatu bentuk pemerintahan rakyat, dan menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Saya tidak mencoba menerka-nerka soal demokrasi mana yang ideal berdasarkan bentuknya, baik: konstitusional, indenpenden, ideologi, langsung, terpimpin dsj. juga tidak mengkomparasikan mana yang lebih ideal untuk dijalankan, karna pada dasarnya macam-macam demokrasi tersebut adalah kamuflase dari demokrasi Athena. Saya menenkankan sebagaimana Bonger, demokrasi hanyalah dua aspek yaitu formal dan materil. Demokrasi formal adalah demokrasi sebagai teori, sedangkan demokrasi materil adalah demokrasi yang dalam praktiknya. Dan dalam hal melihat demokrasi berjalan praksis adalah soal bagaimana kemerdekaan, persamaan pada lingkup sosial dan ekonomi. Olehnya saya hanya akan meneropong latensitas dari sistem demokrasi yang anggap suci, sebuah keputusan bersama yang dinamakan dengan musyawarah. Maksudnya saya tidak mencoba mereduksi dari sisi kekuasaan melainkan, tetapi kemudian diskursus soal demokrasi di bawah sistem kenegaraan sangat perlu dikihat dari bukti nyata strukturalnya.

Mengingat Socrates dan Plato pernah mengkritik demokrasi dari sudut pandang filosofis, dimana mereka memandang bahwa kebebasan dalam memilih (demokrasi langsung) adalah biang kerok mengapa Athena dan tanah Yunani selalu dihinggapi masalah. Socrates mencela demokrasi Athena karena mengutamakan pendapat khalayak dan mengorbankan kebenaran—Socrates dihukum mati lewat demokrasi kala itu. Plato menghubungkan demokrasi dengan tirani ditengarai peristiwa berdarah Yunani.

Demokrasi Athena adalah sebuah gambaran demokrasi tanpa batasan terhadap dorongan-dorongan terburuk oleh mayoritas.

Dalam buku Republic karya Plato, Socrates mengutarakan bahwa ia keberatan dengan cara kerja demokrasi di kota Athena. Dalam karya itu juga dijelaskan Sokrates sempat membicarakan soal kepemimpian dengan Adeimantus, dengan menganalogikan sebuah kapal yang hendak berlayar, Sokrates mempertanyakan siapa yang layak menjadi penanggung jawab di atas kapal nantinya, dan tentunya adalah orang yang benar-benar paham soal dunia kepelayaran.

Socrates berargumen bahwa memberikan suara dalam pemilihan adalah keterampilan, dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang.

Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama tidak bertanggung jawabnya dengan menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas "tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai".

Pada kesempatan lain, Socrates juga mengutarakan studi kasus mengenai jika seorang dokter dan penjual permen berada dalam sebuah debat pemilihan. Penjual permen dapat dengan mudah berkata bahwa ia akan membolehkan semua orang untuk memakan permen sesuka hati mereka, ia tidak akan melarang-larang seperti sang dokter. Sementara sang dokter tidak dapat mengatakan hal yang sama, ia juga tidak dapat berkata bahwa “saya melarang untuk kebaikan kalian” tentunya. Hal ini begitu sering kita jumpai dalam kampanye pemilihan pada demokrasi modern, pemilih yang termakan janji-janji manis dari bakal calon. Inilah yang belum dapat disingkirkan oleh pelaku berdemokrasi di Indonesia, dalam hal menentukan pemimpin lewat pemilihan umum.

Itulah yang berusaha disampaikan oleh Socrates. Ia beranggapan bahwa pemilihan merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar intuisi. Lalu selayaknya sebuah ilmu pengetahuan, cara menentukan pilihan tersebut harus diajarkan pada sebuah instansi pendidikan. Namun karena nyatanya cara memilih tersebut tidak diajarkan, masyarakat akhirnya lebih percaya terhadap intuisi masing-masing daripada menggunakan landasan argumen yang akarnya kuat sebelum memilih. Alhasil, kebuntuan dalam berpikir pada saat memilih banyak sekali muncul dan terlihat pada masyarakat.

Dari sejarah inilah mengapa demokrasi bukanlah satu-satunya harapan dalam sistem bangunan negara, karenanya demokrasi dalam diskursus filsafat, sosiologi dan agama masih diperbincangankan hingga hari ini.

Walter A. Mcdougall dalam bukunya yang berjudul Throes of Democracy, menuliskan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 1829-1877 terjadi sebuah pergolakan demokrasi. Seirama dengan laporan Alexis de Tocqueville dalam bukunya Democracy in America, bahwa demokrasi Amerika pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang memberikan peluang kepada mayoritas untuk bertindak semaunya, semacam sistem diktator mayoritas. Artinya yang minoritas tidak akan mendapatkan apa-apa karena segalanya diatur oleh mereka memenangkan pemilu.

Gambaran ini terlihat jelas dari perjalanan demokrasi Indonesia, lewat suara mayoritas, akhirnya krisis terjadi di mana-mana, pembangunan hampir tidak bermakna. Jutaan nyawa hilang, ribuan tanah tergadaikan, HAM dan segalanya dilangar bahkan hingga hari ini. Demokrasi di Indonesia adalah sumber dari tumbuh suburnya kartel oligarki lewat perselingkuhan lembaga eksekutif, legislatif dengan pemodal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun