Pada kesempatan lain, Socrates juga mengutarakan studi kasus mengenai jika seorang dokter dan penjual permen berada dalam sebuah debat pemilihan. Penjual permen dapat dengan mudah berkata bahwa ia akan membolehkan semua orang untuk memakan permen sesuka hati mereka, ia tidak akan melarang-larang seperti sang dokter yang tidak dapat mengatakan hal yang sama, ia juga tidak dapat berkata bahwa "saya melarang untuk kebaikan kalian" tentunya. Hal ini begitu sering kita jumpai dalam kampanye pemilihan pada demokrasi modern, pemilih yang termakan janji-janji manis dari bakal calon. Inilah yang belum dapat disingkirkan oleh pelaku berdemokrasi di Indonesia, dalam hal menentukan pemimpin lewat pemilihan umum.
Itulah yang berusaha disampaikan oleh Socrates. Bahwa pemilihan merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar intuisi. Lalu selayaknya sebuah ilmu pengetahuan, cara menentukan pilihan tersebut harus diajarkan pada sebuah instansi pendidikan. Namun karena nyatanya cara memilih tersebut tidak diajarkan, masyarakat akhirnya lebih percaya terhadap intuisi masing-masing dari pada menggunakan landasan argumen yang akarnya kuat sebelum memilih. Alhasil, kebuntuan dalam berpikir pada saat memilih banyak sekali muncul dan terlihat pada masyarakat.
Dari fenomena inilah mengapa demokrasi bukanlah satu-satunya harapan dalam sistem bangunan negara, karenanya demokrasi dalam diskursus filsafat, sosiologi dan agama masih diperbincangkan bahkan diperdebatkan hingga hari ini.
Walter A. Mcdougall dalam bukunya yang berjudul Throes of Democracy, menuliskan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 1829-1877 terjadi sebuah pergolakan demokrasi. Seirama dengan laporan Alexis de Tocqueville dalam bukunya Democracy in America, bahwa demokrasi Amerika pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang memberikan peluang kepada mayoritas untuk bertindak semaunya, semacam sistem diktator mayoritas. Artinya yang minoritas tidak akan mendapatkan apa-apa karena segalanya diatur oleh mereka yang memenangkan pemilu.
Gambaran ini terlihat jelas dari perjalanan demokrasi Indonesia, lewat suara mayoritas, krisis terjadi di mana-mana, pembangunan hampir tidak bermakna. Jutaan nyawa hilang, ribuan tanah digusur dengan alasan pembangunan, HAM dan segalanya dilanggar hingga hari ini. Demokrasi di Indonesia adalah sumber dari tumbuh suburnya kartel oligarki lewat perselingkuhan lembaga eksekutif, legislatif dengan pemodal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H