Mohon tunggu...
Boeng Tan
Boeng Tan Mohon Tunggu... Buruh - Philosophy Activist

Membaca adalah melawan dan menulis adalah membunuh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tan Malaka (Sebuah Coretan)

7 Juni 2022   12:27 Diperbarui: 17 November 2024   03:19 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tan Malaka, ilustrasi by: Suara.com

Prawacana

25 tahun lalu, tepat 2 Juni 1897 seorang pemikir legendaris, militan, pejuang, progresif, radikal dan revolusioner dilahirkan. Kelak dari pemikirannya 'Republik Indonesi' tercetuskan—Naar de Republiek Indonesie (Menuju Republik Indonesia) adalah esai terbitan tahun 1928 yang menengarainya—sebagai perumusan identitas nasional Indonesia yang kemudian diberikan juga kepada Muhammad Hatta sebagai konsepsi konkret untuk membentuk negara Indonesia. Dalam beberapa literatur menukilkan termasuk Wage Rudolf Supratman juga terinspirasi dari buku itu saat membuat lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'.

Karena perjuangannya untuk kedaulatan, hingga selama 20 tahun menjadi buron dari kejaran Kempetai Dai Nippon (shinobi elit (agen rahasia), intelijen atau mata-mata jepang). Tan harus mengembara dalam pelarian politiknya mengelilingi hampir separuh bumi. Pelariannya dimulai dari Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman.


Oleh karena peristiwa inilah, Ia menjadi misterius dengan menggunakan 13 alamat rahasia dan 7 nama samaran.

Di Manila ia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera. Di Filipina dikenal sebagai Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy, ia dikenal dengan nama Ossario, sebagai wartawan dari Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, ia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, seorang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura ketika menjadi guru bahasa Inggris di SMA dia bernama Tan Ho Seng. Setelah kembali ke Indonesia, tepatnya saat bekerja sebagai Romusha di Bayah, Banten, ia menggunakan nama Ilyas Husein.

Iya adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Nama aslinya adalah Ibrahim, tetapi ia dikenal baik sebagai seorang anak dan orang dewasa sebagai Tan Malaka, sebuah nama kehormatan dan semi-bangsawan. Dalam sebuah disertasi yang berjudul “The Political Thought of Tan Malaka" ia adalah telatah revolusioner Indonesia dan teoretikus Marxis.

Salah satu karya yang juga begitu komprehensif dan relevan adalah MADILOG sebuah abreviasi dari kata Materialisme, Dialektika dan Logika—Magnum Opus yang berhubungan dengan filsafat, sosial ideologi dan natural sains dan dalam sejarah perkembangan filsafat indonesia modern dikenal sebagai sintesis atas materialisme dialektis Marxis dan logika Hegelian.

Sedangkal yang saya pahami, Madilog adalah lanskap metode berpikir ilmiah, runut, sistematis yang berbasiskan fakta atau bisa disebut sebagai Logika Material—antitesis atas metode berpikir yang fundamental mistisisme, kritik keras atas kepercayaan yang mendasarkan pada takhayul yang basis berpikirnya mengiyakan kekuatan supranatural ikut mengambil peran dalam hidup.

Misalnya, seseorang yang ingin punya harta yang banyak, berilmu-berpengetahuan dls. alih-alih bekerja keras membanting tulang laiknya kuli bangunan atau buruh di suatu industri, belajar mumpuni pada bidang ia tekuni, seseorang itu justru melakukan lelaku seperti meminta bantuan kepada dukun atau memberi sesajian di tempat tertentu guna untuk diberi ilmu pengetahuan yang ia maksud. —Itulah yang Tan maksud sebagai Logika Mistika. Logika yang berbasiskan hal-hal mistis, bukan fakta.

Meskipun Madilog berisikan gagasan-gagasan Marxisme-Leninisme tetapi tidak mengimplementasikan pola budaya Marxisme, ia murni perspektif nasionalis Malaka dengan cara dipengaruhi oleh dialektika Hegel, materialisme Feuerbach dan pandangan Marx tentang alasan ilmiah, dan positivisme logis. Ini dapat ditemukan pada tiga bab pertama yang menekankan bahwa kelas sosial Indonesia dan kelas masyarakat Eropa adalah berbeda. Karena perbedaan ontologislah Marxisme dimodifikasi agar terpaut dengan iklim sosial Nusantara.

Paradigma Madilog pada hakikatnya membangun karakter bangsa Indonesia dalam masyarakat modern untuk mendedogmatisasi kepercayaan yang bertumpu pada 'kaya' maupun 'miskin' adalah pemberian Tuhan—Madilog menawarkan cara hidup yang lebih radikal, membongkar kepercayaan kolot (berhala pemikiran), kemiskinan pun kekayaan bukanlah campur tangan Tuhan atau intervensi hal-hal mistik melainkan ia (kemiskinan) lahir kerena relasi sosial yang dikotomi dan hegemonik. Kapitalisme.

Tan Malaka dan Konsistensi Perjuangannya

Sekembalinya ke tanah air dari sekolahnya di Belanda (1913-1919), Tan Malaka melibatkan diri beraktivitas politik bersama Serikat Pekerja yang selanjutnya berkamuflase menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Desember 1921. Tan Malaka mulai rewel (jadi pemberontak) pada kolonial akhirnya ia diasingkan ke Belanda.

Tan Malaka getol melakukan perlawanan meskipun dalam pengasingan ia tetap berjuang dengan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, sebuah partai kladenstin yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia (khususnya Sumatra dan Jawa) selama dekade berikutnya, meskipun masih berada di Cina selatan sampai 1937 dan setelah itu lebih sering bersembunyi di Singapura. Di tengah pendudukan Jepang pada 1942, Tan Malaka secara sembunyi-sembunyi kembali ke tanah air. Dia kemudian melakukan perjalanan melalui Sumatra ke Banten dan bekerja sebagai juru tulis di sebuah tambang batu bara di Banten selatan.

Tetap bergerilya untuk Indonesia, bahkan perjuangan menegakan dan memerdekakan kedaulatan martabat bangsa tidak berhenti sampai Indonesia merdeka, perjuangannya masih tetap membara pasca Revolusi Indonesia dan Proklamasi 1945 yang dinilainya terlalu buru-buru tanpa pemikiran yang matang.

Suatu malam pada sebuah pertemuan yang dihadiri Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan K.H. Agus Salim—Tan Malaka yang datang tanpa diundang tiba-tiba berkata lantang: “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan? Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku… Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen...!” (Baca: Tan Malaka, Menuju Merdeka 100%)

Menurut Tan Malaka, kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti sebuah kemerdekaan, bangsa tidak pernah merdeka (kemerdekaan sejati) sampai kapanpun apabila ini tidak segera diperbaiki. Merdeka yang Bung Karno dkk. ciptakan adalah merdeka yang hanya bagi para pemimpinnya dan tidak untuk kelas bawah, olehnya kemerdekaan yang mereka ciptakan bukan merdeka yang sebenar-benarnya atau 100 persen.

Pada pecahnya Revolusi tahun 1945, Tan Malaka menentang kebijakan yang yang terlalu hati-hati dari kepemimpinan Republik Indonesia, yakni Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia lebih menyukai mobilisasi massa sebagai bentuk perubahan revolusioner. Tan Malaka menjadi tokoh sentral dalam Persatuan Perjuangan radikal menuntut 'kemerdekaan 100 persen'.

Tan Malaka dan Riwayat Percintaannya

Berbeda dengan Bung Karno, Kamerad Tan Malak rupanya melajang seumur hidupnya.

Tan Malaka dikabarkan hidup membujang hingga akhir hayatnya. Ia dikenal sebagai seorang revolusioner yang kesepian. Meski begitu bukan berarti dia tidak pernah punya hubungan asmara dengan perempuan.

Kisah cinta Tan Malaka sama tragisnya dengan hidupnya yang klandestin. Mengidolakan sosok Kartini, ditolak dua kali oleh perempuan yang sama. (Buka: Manifesto Wacana Kiri, karya Nur Sayyid Santoso Kristeva).

Tan Malaka sempat menolak perjodohan yang diatur oleh ibunya, sebab, rupanya telah ada gadis lain yang mengusik hatinya: Syarifah Nawawi namanya.

Dalam perpisahannya yang ribuan mil, nyatanya bukanlah sebuah halangan bagi seorang Tan untuk menjalin hubungan kasih, bagaimana tidak? Dari Belanda ia rajin menulis dan mengirim surat pada Syarifah. Sayang cintanya tak terbalaskan, bertepuk sebelah tangan.

Selanjutnya dengan Fenny Struijvenberg mahasiswi kedokteran berdarah Belanda, Tan membuka hati dan menjalin hubungan bersamanya, Fenny sering datang ke pondokan, pernah menyusul Tan ke Indonesia dan kabarnya hubungan mereka terjalin kelindan. Sayang Fenny keburu meninggal.

Saat menghadiri sidang Komunis Internasional di Rusia lalu menetap selama 3 tahun, menurut Harry A. Poeze, diberitakan koran setempat Tan sempat menjalin hubungan dengan perempuan di sana. —Tan memang selalu punya hubungan mendalam dengan perempuan di tiap negara yang ia kunjungi.

Selalu ada sosok perempuan yang menolong, merawat kala sakit atau sekedar teman di balik cerita heroiknya yang berpindah-pindah dalam pelariannya.

Tan pernah menulis sejumlah nama perempuan di sekitar hidupnya, tetapi tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut "Nona Carmen" anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina, merawat dan mengajarinya bahasa Tagalog, di China pada tahun 1937, ada gadis tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari bahasa Inggris. (Buka: Dari Penjara ke Penjara).

Paramita Rahayu Abdurrachman, seorang ponakan Ahmad Subarjo, dengannya juga Tan pernah membangun asmara. Tan yang tak lagi klandestin saat itu sering datang ke Cikini tempat Paramita tinggal. Lagi-lagi hubungan mereka tak sampai ke jenjang pernikahan .

Seperti yang diceritakan salah seorang koleganya di Persatuan Perjuangan, Adam Malik (mantan Wakil Presiden era Suharto 1978–1983) dalam buku Mengabdi Kepada Republik.

“Apa Bung pernah jatuh cinta?” tanya Adam Malik .

"Pernah. Tiga kali malahan," jawab Tan Malaka.

"Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta yang tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan (Indonesia)," ujar Tan Malaka.

Hal serupa juga dituturkan oleh Harry A Poeze, seorang peneliti asal Belanda yang meghabiskan sebagian besar hidupnya hanya untuk meneliti tentang Tan Malaka.

Dalam bukunya ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’  Poeze menuliskan pernyataan SK Trimurti (Mantan Menteri Perburuhan era Sukarno), istri Sayuti Melik (Pengetik naskah Proklamasi) mengenai Tan Malaka dan alasannya tak pernah menikah hingga akhir hayat.

"Ia (Tan Malaka) tidak kawin karena perkawinan akan membelokannya dari perjuangan."

"Ia bersikap penuh hormat terhadap perempuan. Ia juga tak pernah berbicara tentang perempuan dalam makna seksual. Dari sudut ini, ia seorang yang bersih," kata SK Trimurti.

Menurut Harry A Poeze, setidaknya ada empat wanita yang sempat singgah di hati Tan Malaka.

Perempuan-perempuan tersebut yakni Syarifah Nawawi, Fenny Struijvenberg, Carmen, AP, dan Paramitha Abdurrachman.

Syarifah Nawawi adalah teman sekelas Tan Malaka waktu bersekolah di Bukittinggi.

Sementara Fenny Struijvenberg adalah gadis Belanda, mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya waktu Tan bersekolah di Belanda.

Lalu Carmen, ia adalah gadis Filipina yang sempat dekat dengan Tan Malaka saat pelarian Tan di Filipina.

Dan yang terakhir adalah Paramitha Abdurrachman, Paramitha dikenal Tan saat dirinya pertama kali muncul lagi ke publik pada tahun 1945.

Bumi Manusia | 5 Juni 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun