Paradigma Madilog pada hakikatnya membangun karakter bangsa Indonesia dalam masyarakat modern untuk mendedogmatisasi kepercayaan yang bertumpu pada 'kaya' maupun 'miskin' adalah pemberian Tuhan—Madilog menawarkan cara hidup yang lebih radikal, membongkar kepercayaan kolot (berhala pemikiran), kemiskinan pun kekayaan bukanlah campur tangan Tuhan atau intervensi hal-hal mistik melainkan ia (kemiskinan) lahir kerena relasi sosial yang dikotomi dan hegemonik. Kapitalisme.
Tan Malaka dan Konsistensi Perjuangannya
Sekembalinya ke tanah air dari sekolahnya di Belanda (1913-1919), Tan Malaka melibatkan diri beraktivitas politik bersama Serikat Pekerja yang selanjutnya berkamuflase menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Desember 1921. Tan Malaka mulai rewel (jadi pemberontak) pada kolonial akhirnya ia diasingkan ke Belanda.
Tan Malaka getol melakukan perlawanan meskipun dalam pengasingan ia tetap berjuang dengan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, sebuah partai kladenstin yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia (khususnya Sumatra dan Jawa) selama dekade berikutnya, meskipun masih berada di Cina selatan sampai 1937 dan setelah itu lebih sering bersembunyi di Singapura. Di tengah pendudukan Jepang pada 1942, Tan Malaka secara sembunyi-sembunyi kembali ke tanah air. Dia kemudian melakukan perjalanan melalui Sumatra ke Banten dan bekerja sebagai juru tulis di sebuah tambang batu bara di Banten selatan.
Tetap bergerilya untuk Indonesia, bahkan perjuangan menegakan dan memerdekakan kedaulatan martabat bangsa tidak berhenti sampai Indonesia merdeka, perjuangannya masih tetap membara pasca Revolusi Indonesia dan Proklamasi 1945 yang dinilainya terlalu buru-buru tanpa pemikiran yang matang.
Suatu malam pada sebuah pertemuan yang dihadiri Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan K.H. Agus Salim—Tan Malaka yang datang tanpa diundang tiba-tiba berkata lantang: “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan? Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku… Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen...!” (Baca: Tan Malaka, Menuju Merdeka 100%)
Menurut Tan Malaka, kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti sebuah kemerdekaan, bangsa tidak pernah merdeka (kemerdekaan sejati) sampai kapanpun apabila ini tidak segera diperbaiki. Merdeka yang Bung Karno dkk. ciptakan adalah merdeka yang hanya bagi para pemimpinnya dan tidak untuk kelas bawah, olehnya kemerdekaan yang mereka ciptakan bukan merdeka yang sebenar-benarnya atau 100 persen.
Pada pecahnya Revolusi tahun 1945, Tan Malaka menentang kebijakan yang yang terlalu hati-hati dari kepemimpinan Republik Indonesia, yakni Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia lebih menyukai mobilisasi massa sebagai bentuk perubahan revolusioner. Tan Malaka menjadi tokoh sentral dalam Persatuan Perjuangan radikal menuntut 'kemerdekaan 100 persen'.
Tan Malaka dan Riwayat Percintaannya
Berbeda dengan Bung Karno, Kamerad Tan Malak rupanya melajang seumur hidupnya.
Tan Malaka dikabarkan hidup membujang hingga akhir hayatnya. Ia dikenal sebagai seorang revolusioner yang kesepian. Meski begitu bukan berarti dia tidak pernah punya hubungan asmara dengan perempuan.