Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Hasil Pilkada Serentak, Pelajaran untuk Jokowi

3 Juli 2018   08:05 Diperbarui: 3 Juli 2018   08:49 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil hitung cepat Pilkada serentak pada 27 Juni lalu ditanggapi beragam oleh para analis, media, politikus, partai politik, dan pemerhati Indonesia dari luar negeri. Salah satu yang menonjol adalah berita utama The Jakarta Post yang menyebut bahwa Jokowi Menang, PDIP Kalah. 

Adapun media-media asing masing terbelah dua: menyatakan bahwa Pilkada serentak dimenangkan koalisi partai pendukung Jokowi, dan yang mengulas menguatnya kepercayaan diri partai oposisi bahwa mereka bisa mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019.

Bukan tanpa alasan hasil Pilkada 2018 ini dikaitkan dengan Pilpres 2019. Pasalnya, Pilkada yang berlangsung di 171 daerah ini diikuti 152 juta pemilih. Sementara, Pilpres 2019 diperkirakan akan diikuti 190 juta pemilih. Kedua, provinsi dengan jumlah pemilih terbesar juga turut ikut Pilkada serentak, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Ketiga, rentang waktu antara Pilkada serentak dan Pilpres 2019 sudah sangat dekat.

Walau tidak menang, perolehan suara di Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat partai oposisi, Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kian percaya diri. Mereka berhasil menjungkalkan prediksi lembaga suvei di kedua provinsi tersebut. Selain itu, strategi dan mesin politik keduanya terbukti bekerja secara efektif di provinsi krusial tersebut.  

Sementara PDIP disebut kalah terutama karena kalah di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Meski demikian, mereka masih menang di Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.

Karena partai-partai umumnya berkoalisi di tiap daerah, agak sulit menentukan siapa sebenarnya pemenang utama dalam Pilkada serentak. Masing-masing bisa mengklaim kemenangan.

Namun yang sangat jelas, PDIP kalah di dua dari tiga provinsi berpenduduk terbesar, yakni Jawa Timur dan Jawa Barat. Hal ini setidaknya memberikan pelajaran mahal untuk Jokowi. Pertama, dia tak bisa mengandalkan PDIP sepenuhya dalam Pilpres 2019.

Sebaliknya, walau dekat dengan PDIP, Jokowi harus terlihat meyakinkan dan dekat dengan partai pendukung pemerintah yang lain. Hal ini terbukti efektif dalam kasus Jawa Timur di mana Khofifah Indar Parawansa langsung menyatakan hanya akan mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019. 

Selain itu, belajar dari Pilpres 2014, Jokowi harus bisa menanggalkan citra "capres boneka" yang diembuskan oposisi. Dia juga tak semestinya dikerdilkan sebagai "petugas partai". Sebab, isu semacam ini berpotensi akan digoreng kembali oleh oposisi pada Pilpres 2019.

Pelajaran mahal lainnya bagi Jokowi adalah dia harus memilih wakil presiden yang tak bisa diserang dengan isu agama. Dengan kata lain, kadar keislamannya harus meyakinkan. Sudah banyak ahli yang mengatakan bahwa isu agama dan etnis akan dieksploitasi ke level tertinggi di Pilpres 2019. Sebab, strategi yang meniru Pilkada Jakarta ini terbukti sukses, utamanya di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Khusus di Jawa Barat, Jokowi harus mengocok ulang strateginya. Saat Pilpres 2014, dia kalah melawan Prabowo di provinsi ini. Di Pilkada serentak, rakyat Jawa Barat terbukti tak banyak berubah, walaupun Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur di daerah ini, berupa jalan tol dan bandara Kertajati. Jokowi belum berhasil memenangkan hati rakyat Jawa Barat.

Tahun depan, Pilpres akan digelar berbarengan dengan Pemilihan Legislatif. Kita tahu, Undang-Undang Pemilu mensyaratkan adanya ambang batas parlemen bagi partai yang hendak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Undang-undang mengatakan, partai atau koalisi partai harus memperoleh 25% suara sah nasional atau 20 % kursi di DPR. Karena Pilpres dan Pileg tahun ini digelar serentak, maka yang dijadikan acuan adalah hasil Pileg 2014.

Jokowi belum berhasil memenangkan hati rakyat Jawa Barat.

Ini artinya, kemungkinan re-match antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo sangat mungkin terjadi. Atau kalaupun Gerindra dan PKS rela mencalonkan Amien Rais, calon yang bertarung kemungkinan tak lebih dari dua.

Bisa saja muncul calon ketiga jika Demokrat dan PAN serta PKB bersepakat untuk memunculkannya, namun sampai saat ini peluangnya masih sangat kecil. Peluang koalisi ketiga partai tersebut sempat terlihat membesar tatkala elite PKB mengisyaratkan ancaman akan keluar dari koalisi jika Jokowi tak memilih Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres. Namun, ancaman itu belum terlihat meyakinkan sampai sekarang.

Yang semakin tidak dapat tempat dari perkembangan politik terakhir justru Gatot Nurmantyo. Dari kubu oposisi, tak ada tanda-tanda bahwa mereka rela menyerahkan tiket pencapresan kepada orang di luar partai. PAN malah semangat mencalonkan Amien Rais. Gerindra bersikukuh mendorong Prabowo. Sementara Partai Demokrat fokus mendongkrak popularitas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Yang semakin tidak dapat tempat dari perkembangan politik terakhir justru Gatot Nurmantyo

Memang, keseriusan Amien Rais menjadi capres masih patut diragukan. Kita belum melihat ada gerakan apa pun terkait pencapresannya. Bukan tak mungkin, aksi Amien Rais hanya pengecoh saja. Bisa jadi, dia akan mundur di tengah jalan pencalonan atau di detik-detik akhir. Kita punya preseden sejarah ketika Yusril Ihza Mahendra mundur di detik-detik terakhir Pilpres 1999 yang dimenangkan Gus Dur.

Kalaupun Amien Rais mundur, rasanya Gatot akan sulit diterima pihak oposisi. Dia tak cocok berpasangan dengan Prabowo Subianto karena sama-sama berlatar belakang militer. Bagaimana jika Jokowi memilih Gatot? Rasanya peluangnya juga sangat kecil dan bisa jadi blunder besar. 

Pertama, jangan lupa bahwa Jokowi memberhentikan Gatot sebelum masa pensiunnya karena terbukti secara terbuka seperti tak takut membangkang kepada Presiden. Kedua, dia lebih mencitrakan diri dekat dengan kelompok islam garis keras ketimbang moderat. 

Keempat, Jokowi membutuhkan pendamping dari kelompok islam, dan stoknya cukup melimpah. Cak Imin adalah salah satu kandidat yang popularitasnya terus naik dan juga didukung banyak ulama. Masih ada pula Chairul Tanjung yang selain dekat dengan semua kelompok juga piawai dalam bidang ekonomi.

Kalaupun Amien Rais mundur, rasanya Gatot akan sulit diterima pihak oposisi.

Semua calon memang harus memilih pasangan secara hati-hati. Sebab, Pilpres dan Pileg yang digelar serentak membawa konsekuensi lain, yaitu tidak ada yang tahu siapa yang akan mendominasi kursi di DPR. Tentu agar aman, presiden dan wakil presiden terpilih harus menguasai mayoritas kursi di DPR.

Bagi Jokowi, tampaknya tak ada pilihan terbaik selain memilih calon yang dekat dengan umat islam. Tapi, calon tersebut juga harus mampu mendongkrak perolehan suara secara signifikan untuk mengerem laju oposisi. Dengan kondisi tersebut, tak ada opsi terbaik bagi Jokowi selain memperkuat koalisinya, dan tak lagi sepenuhnya bergantung kepada PDIP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun