Hasil hitung cepat Pilkada serentak pada 27 Juni lalu ditanggapi beragam oleh para analis, media, politikus, partai politik, dan pemerhati Indonesia dari luar negeri. Salah satu yang menonjol adalah berita utama The Jakarta Post yang menyebut bahwa Jokowi Menang, PDIP Kalah.Â
Adapun media-media asing masing terbelah dua: menyatakan bahwa Pilkada serentak dimenangkan koalisi partai pendukung Jokowi, dan yang mengulas menguatnya kepercayaan diri partai oposisi bahwa mereka bisa mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019.
Bukan tanpa alasan hasil Pilkada 2018 ini dikaitkan dengan Pilpres 2019. Pasalnya, Pilkada yang berlangsung di 171 daerah ini diikuti 152 juta pemilih. Sementara, Pilpres 2019 diperkirakan akan diikuti 190 juta pemilih. Kedua, provinsi dengan jumlah pemilih terbesar juga turut ikut Pilkada serentak, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Ketiga, rentang waktu antara Pilkada serentak dan Pilpres 2019 sudah sangat dekat.
Walau tidak menang, perolehan suara di Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat partai oposisi, Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kian percaya diri. Mereka berhasil menjungkalkan prediksi lembaga suvei di kedua provinsi tersebut. Selain itu, strategi dan mesin politik keduanya terbukti bekerja secara efektif di provinsi krusial tersebut. Â
Sementara PDIP disebut kalah terutama karena kalah di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Meski demikian, mereka masih menang di Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.
Karena partai-partai umumnya berkoalisi di tiap daerah, agak sulit menentukan siapa sebenarnya pemenang utama dalam Pilkada serentak. Masing-masing bisa mengklaim kemenangan.
Namun yang sangat jelas, PDIP kalah di dua dari tiga provinsi berpenduduk terbesar, yakni Jawa Timur dan Jawa Barat. Hal ini setidaknya memberikan pelajaran mahal untuk Jokowi. Pertama, dia tak bisa mengandalkan PDIP sepenuhya dalam Pilpres 2019.
Sebaliknya, walau dekat dengan PDIP, Jokowi harus terlihat meyakinkan dan dekat dengan partai pendukung pemerintah yang lain. Hal ini terbukti efektif dalam kasus Jawa Timur di mana Khofifah Indar Parawansa langsung menyatakan hanya akan mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019.Â
Selain itu, belajar dari Pilpres 2014, Jokowi harus bisa menanggalkan citra "capres boneka" yang diembuskan oposisi. Dia juga tak semestinya dikerdilkan sebagai "petugas partai". Sebab, isu semacam ini berpotensi akan digoreng kembali oleh oposisi pada Pilpres 2019.
Pelajaran mahal lainnya bagi Jokowi adalah dia harus memilih wakil presiden yang tak bisa diserang dengan isu agama. Dengan kata lain, kadar keislamannya harus meyakinkan. Sudah banyak ahli yang mengatakan bahwa isu agama dan etnis akan dieksploitasi ke level tertinggi di Pilpres 2019. Sebab, strategi yang meniru Pilkada Jakarta ini terbukti sukses, utamanya di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Khusus di Jawa Barat, Jokowi harus mengocok ulang strateginya. Saat Pilpres 2014, dia kalah melawan Prabowo di provinsi ini. Di Pilkada serentak, rakyat Jawa Barat terbukti tak banyak berubah, walaupun Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur di daerah ini, berupa jalan tol dan bandara Kertajati. Jokowi belum berhasil memenangkan hati rakyat Jawa Barat.