"Negeriku menumbuhkan konglomerat dan mengikis habis kaum melarat...rata-rata pemimpin negeriku dan handai taulannya terkaya di dunia." Gus Mus dalam puisinya Negeriku.
-------------------------------------
Beberapa catatan 'ku tertumpuk di atas meja di samping buku-buku bacaan--yang parkir rapi seperti serdadu berbaris di jalanan kala menjemput pribumi di masa hindia--ditemani segelas kopi, dua batang rokok, juga Notebook, aku sudah siap memainkan keyboard, tapi apa yang harus ku tulis? Pertanyaan itu menyasar ke pikiran.
Sedang aku masih berpikir, dalam kepala hanya beberapa hal terlintas: Marsinah, Munir, Papua, Konawe, juga perkara-perkara pelanggaran HAM lainnya seperti di berita-berita memgabarkan kematian 6 anggota FPI, semua campur aduk dalam kepala. Tapi mau memulai dari mana? Lagi-lagi tanya terngiang.
Jari-jari lengan milik ku sudah berbaring di atas tombol-tombol keyboard, siap menggerayangi papan itu, mengetik beberapa kalimat untuk memicu kerja akal supaya terus mengalir kata-kata dari dalam kepala.
Tapi ketika sudah siap memulai, tibalah semua yang campur aduk itu menjadi satu kata impian yang tak jua kunjung aku temukan dalam kehidupan 'ku di tanah ini: Demokrasi.
***
Berkian kali Memikirkan hal itu, memang membuat kepala ku hampir pecah--seperti tertimpa beban berat yang jatuh dari atas bufet--namun, tetiba aku hendak beranjak sebentar, pintu rumah diketok dari luar.
"Tok, tok, tok." Bunyi ketukan pintu. "assalamualaikum" suara menyusul kemudian.
"Waalaikumsalam, siapa"
"Saya, Al"
"Oww, kirain siapa, sini masuk"