Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembunuhan

18 Desember 2020   11:49 Diperbarui: 18 Desember 2020   19:43 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Di depan rumah pak RT, orang-orang kumpul beramai-ramai setelah mendengar kabar kematian 4 warga akibat dibunuh orang tidak dikenal. Riuh pertanyaan tertumpah ruah di halaman sekitar rumah itu.

"Ada apa?"

"Ada apa?"
Pertanyaan itu terus berulang-ulang.

Awalnya, seorang lelaki 37 Tahun, bertudung, membahui cangkul, di tangannya tergenggam golok, ia mengenakan pakaian compang-camping--baju dan celana yang biasa Ia kenakan ketika hendak jalani aktivitas keseharian--berjalan menuju tempat mengais isi lambung perutnya dan keluarga tercinta, Denis.

Dalam perjalanan itu, Ia memulai aktivitas dengan riang, berjalan sembari bersiul, sesekali mendesis lagu kesukaannya: "Fatwa Pujangga".  

Ia terus berjalan sambil bernyanyi, tak lama nada suaranya mulai perlahan  menurun tidak sekeras seperti awal memulai nyanyian, saat itu, Ia berhenti sejenak, perjalanannya tergaggu oleh bercak darah di atas bebatuan jalanan.

Ia berjongkok di situ, lalu dipandanginya bercak itu lamat-lamat seakan tak percaya itu darah; ia mengulurkan tangannya, jemarinya memggerayangi ruas jalan, menyentuh bercak itu, lalu jari-jari itu, Ia parkirkan di depan cuping hidung, aroma amis masuk menembus ubun-ubun.

"Ini darah" katanya pada diri sendiri.

Ia terus mengulangi perkataan itu,

"Ini darah" katanya berulang kali sambil berdiri.

Melihat hal itu, ia coba membuang pandang ke depan, ternyata darah yang ia sentuh tidak hanya di situ saja. Di depannya bercak-bercak darah itu membentuk barisan, "sepertinya ada sesuatu, aku lihat dulu," batinnya.

Denis mengikuti petinjuk darah itu, berjalan terus, terus dan terus, darah itu membawanya ke semak belukar, Ia masuki belukar itu dengan rasa tidak nyaman, degup jantungnya mulai terasa kencang--pukulan dalam dadanya membuat dia jadi ragu ikuti arah itu, tapi diberanikan dirinya.

Di tengah belukar itu, Denis berdiri sejenak menenangkan dirinya, kemudian ia berjalan lagi, dan lagi, Ia dapati sebatang pohon yang sudah roboh dipenuhi darah membentang di dalam semak-semak itu, Ia beranikan dirinya maju selangkah demi selangkah, dan ...

Di tempat tujuan itu, Ia tersentak, terguncang oleh kepanikan yang mulai menghiasai diri, saat itu, Ia melihat sesuatu yang tidak bisa Dia ucapkan dengan kata-kata, bahkan ketika mulutnya berkomat-kamit, tak ada bunyi yang keluar, bebas dari kungkungan tenggorokannya.

Namun ketika kepanikan terus menggucangnya, suara keras muntah dari mulutnya akibat ketakutam menghampiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun