Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penantian Cinta Seorang Pelukis

14 Maret 2017   20:03 Diperbarui: 14 Maret 2017   20:45 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu aku perlahan melepaskan pakaian Intan, dan kulumat tubuhnya yang penuh aroma sensualitas. Setelahnya kami berdua melepaskan gairah libido yang menguasai kami. Aku dan Intan terus hanyut dalam asmara selama beberapa menit—hampir sejam.

***

Setelah pertemuan beberapa hari lalu. Hari ini Intan akan berangkat ke luar negeri untuk menempuh pendidinkannya. Tadi sempat dia menelpon—menyuruhku untuk mengikutinya ke bandara, namun karena sibuk dengan lukisan-lukisanku yang belum selesai, aku tidak sempat memenuhi keinginan Intan, dan hanya mengiriminya pesan lewat ponsel

‘sayang, maaf aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, pemesannya hari ini ambil pesanannya. Hati-hatilah di negeri seberang, aku akan selalu setia menunggu dan selalu merinduimu. Kekahihmu Adi’.

Setelah mengiriminya pesan, aku menunggu balasan, namun tiada gemuruh pesanku terbalas. Aku lalu melanjutkan lukisan yang sudah di pesan itu. Memainkan kuas di atas kanvas putih nan pekik, tanpa berpikir hal apapun—hanya lukisan cepat terselasiakan, itu yang ada di kepalaku.

Dalam keseharian yang penuh kerinduan. Dengan ponsel, aku selalu mengirimi Intan pesan, tapi tiada satupun pesanku di gubris olehnya. Hatiku menjadi tak karuan. Lantas aku hanya menyibukkan diriku dengan melukis tanpa jeda waktu—waktu yang ku punya hanya makan dan mandi, sampai-sampai tak sempat menunaikan tugasku sebagai seorang teis.

Hari-hari aku ditemani kuas mungil dan kanvas putih bersih yang nantinya akan kukotori dengan berbagai cat. Saat keasikan memilih warna untuk mengotori kanvas, tiba-tiba aku teringat akan Intan, namun enggan untuk menelpon maupun mengirimi pesan. Sudah terlalu amat sering aku mengabarinya, namun tak ada balasan.

Aku lantas pasrah dan tidak mengharapkan kehadiran Intan. Aku tak tahu apa penyebabnya sehingga Inta sudah tidak pernah mengabari atau pun membalas pesan yang aku kirim kepadanya sejak keberangkatannya samapi sudah hamper 3 tahun ini.

Sejenak aku beranjak dari depan kanvas dan masuk ke dalam rumah dan membaringkan diriku  di atas serambi. Lalu mengingat masa-masa dimana Intan menelponku dan segera ingin bertemu, dan ternyata itulah hari terakhir aku berjumpa dengannya. Kuliarkan ingatanku pada masa itu—masa ketika aku dan Intan larut dalam cinta yang hampir memakan waktu sejam. Namun itu sudah berlalu, mungkin Intan sudah tidak lagi mengharapkanku.

Aku pun mencoba melepaskan segala kehidupanku tentang Intan. Dan berniat menghabiskan semua pesanan lukisan yang sedang aku kerjakan, lalu pergi berkelana bagai bigsu yang tiada tempat persingghan—hanya goa-goa yang menjadi tempat meditasi mereka. Berjalan dan terus berjalan tanpa berhenti untuk mengingatnya, bagai bohemian yang kehidupannya seperti di zaman nomaden. Lalu ku kuburkan semua ingatanku tentang Intan pada gubuk yang selalu menjadi saksi bisu cinta kami, gubuk yang hampir setiap hari menemani kemesraan aku dan Intan. Lalu berlalu dan tak berpaling lagi ke masa-masa indah itu, sangat menyakitkan dan mengiris hati. Dan sejak itulah aku tak lagi mengingat tentang Intan.

Ambon, 18 Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun