Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penantian Cinta Seorang Pelukis

14 Maret 2017   20:03 Diperbarui: 14 Maret 2017   20:45 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : http://funreadingemails.blogspot.co.id

Adi, seorang pelukis tak ternama. Dan Intan, seorang wanita anak pengusaha sohor. Ia sangat di cintai Adi. Mereka berdua adalah sepasang kekasih yang selalu menghabiskan waktu bersama. Suka, duka, mereka jalani dengan penuh kebahagiaan. Tiada yang mampu memisahkan, kecuali maut atas kehendak tuhan, itu janji mereka berdua. Namun pada akhirnya Adi dan Intan harus berpisah atas keinginan orang tua intan. Ayah Intan ingin menyekolahkannya ke luar negeri.

Sebelum berpisah ada sebuah janji yang mereka kukuhkan menukik kedasar hati mereka berdua. Janji yang membuat mereka berdua dalam kerinduan berkepanjangan. Tanpa jeda waktu, Adi, seorang yang sangat setia menunggu kedatangan pacar yang dicantainya, harus rela hidup dalam kesendirian tanpa di dampingi kekasihnya.

Dan pada suatu ketika janji yang sudah mereka ikrarkan sebagai dasar kesetian cinta, walau jarak yang memisahkan, dan rentang antara samudra, menjadi janji sumpa serapah yang membuat Adi kecewa. Penantian dirinya atas Intan tak ada kepastian. Ia lalu memilih pergi dan berlalu, serupa debu yang berhamparan tiada henti--Mencari kehidupan baru yang menjanjikan kehidupan lebih baik tanpa harus mengingat masa-masa ketika masih bersama Intan. Ia lalu pergi menguburkan semua kisah cintanya dengan Intan pada sebuah gubuk yang selalu mereka berdua habiskan waktu.

***

Kala itu, dengan keindahan alam pagi hari, aku duduk pada sebuah dipan yang terletak di depan rumah, ditemani segelas kopi hangat yang tergeletak diatas meja depan dipan. Menebarkan pandangan ke arah pegunungan nan begitu indah, hamparan pegunungan yang pabila siapa saja memandang, tak akan melepaskan pandangan darinya. Sungguh mempesona ciptaan tuhan yang menghamparkan keindahannya.

Saat keseriusanku memandang alam yang mempesona indah sembari menyeduh segelas kopi, konsentrasiku terganggu oleh ponsel yang kuletakkan di atas meja—berdering. Intan menelponku, Ia ingin bertemu, nadanya begitu mendesak. Suara yang tak seperti biasanya, ada sesuatu yang harus ku dengarkan darinya. Tanpa basa basi, aku pun bergegas menemuinya. Kami berjanjian untuk bertemu pada sebuah gubuk—gubuk  mungil yang setiap harinya menemani kemesraan aku dan intan—gubuk yang menjadi saksi bisu cinta kami berdua—gubuk yang selalu menjadi tempat peraduan cinta.

Aku dengan tampang seadanya, mengenakan baju oblong, celana jeans yang sudah hampir seminggu tak di cuci, dan sandal jepit berwarna biru. Menelusuri jalanan seperti biasanya, maklum aku hanyalah anak yang lahir dari keluarga sederhana, pekerjaan hanya sebagai pelukis yang tak ternama. Makanya hanya dengan stile yang tidak terlalu modis. Sementara berjalan menelusuri jalanan yang tidak terlalu pelik. Dengan suasana riang tanpa bertanya dalam hati, apa yang akan disampaikan Intan nanti kalau bertemu? Mendengar Intan ingin bertemu, kebehagianku menguasai diriku.

Di depan gubuk Intan sudah ada lebih dulu—perempuan dengan perawakkan yang begitu cantik, bergaya feminim, dan menggenggam ponsel di tangannya, sudah menungguku sedari tadi. Aku memandang dari jarak yang lumayan jauh, Intan belum melihatku, dia bagai orang yang tidak sabar untuk bertemu, dengan padangan yang begitu nanar  liar, seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Aku mendekati gubuk itu. Saat melihatku, Intan menatap penuh tanda tanya dengan mata yang berkaca. Aku masih memandangnya. Ada kesedihan yang ingin menyeruak dari wajahnya.

Aku mendekati Inta, kami bertatapan tanpa suara dan gerakan apapun. Gerak kami seakan terkena sengatan listrik, menghentikan kami denga spontan. Beberapa menit kemudian suara seduh-sedan Intan membising di telingaku. Mata yang tadinya berkaca, kini membanjiri bulir-bulis air di pipinya yang halus dan lembut itu. Tak tahan melihat air mata yang terus-menerus mengalir—membasahi  wajahnya yang cantik. Aku lalu mendekatinya, menggenggam tangannya, dan menentengnya masuk kedalam gubuk untuk menenangkan diri. Di dalam gubuk terdapat serambi, kayunya sudah nampak lapuk. Aku dudukkan intan diatas serambi, sementara aku duduk didepannya dengan beralaskan tanah lalu menyandarkan kepalaku di pahanya.

Sekitar 15 menit berseduh-sedan, kini bising isak Intan mulai menghilang. Ia lalu memanggil namaku dengan suara yang terdengar serak. Aku lantas mengangkat kepala dan memandangnya lamat-lamat, tanpa mengucap sepata kata pun. Intan melakukan hal yang sama sepertiku. Kami saling bertatapan, tatapan yang menyimpan sebuah teka-teki. ‘Ada apa sebanarnya’, aku berdesah dalam hati.

Tiba-tiba, ‘Di’… Intan kebali memanggilku dengan sura seraknya lagi. Aku hanya memandang wajahnya yang penuh kesedihan, tanpa beruara sedikit pun. Tapi, Intan terus mendesah namaku dengan suara serak yang sama.

‘Sebenarnya ada apaIntan, tiba-tiba kau menelponku seakan ada sesuatu yang mendesak’, aku bertanya sembari merangkul tangannya. Seraya menatap lamat-lamat Intan yang masih berisak.

‘Ada sesuatu yang harus aku smapaikan, namun aku tidak sanggup menyampaikannya’.

Setelah menyampaikan perkataan itu, Intan lalu meledakkan tangisnya, memecahkan suasana gubuk yang penuh keheningan dan tanda tanya. ‘Apa yang hendakIntan sampaikan, hingga kekasihku ini terus bersedih sedari tadi’. Aku bingung dalam desah tanyaku.

‘Apa yang membuatmu sedih seperti iniIntan’.

‘Papaku’… setelah menyebut kata itu, suara tangis Intan semakin menguasai gubuk.

‘Kenapa papamu’.

Aku masih bertanya, dan tak sabar menunggu jawaban dari Intan atas pertayaanku. Semakin dia bersedih, aku semakin penasaran, sebenarnya apa yang papa Inta sampaikan pada kekasihku ini hingga dia bersedih tanpa henti—kesedihan yang tak kunjung surut.

Sementara itu, aku yang sedari tadi menggenggam tangan Intan, lantas memeluknya dengan penuh kasih. Lalu menenangkannya.

‘Apa yang papamu samapaikan sayang, sampai membuatmu terus bersedih seperti ini’. Aku mengulangi pertayaanku yang sebelummnya sudah ku tanyakan.

‘Aku bingung Adi, harus memulainya dari mana’ Ucap Intan dalam kesedihan.

Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan sementara diriku hanya bisa menenangkannya agar dia mau memulai pembicaraannya.

‘Tadi pagi, setelah terjaga dari tidurku semalam, aku membersihkan diriku dan bergegas kerumah tamanku. Lalu papaku menelpon dan menyuruhku pulang. Aku lalu bergegas meninggalkan rumah temanku.

Kemudian dia melanjutkan, ‘Dirumah papa mengatakan padaku, aku akan di sekolahkan ke luar negeri. Aku tersontak kaget. Sebelum bertanya kenapa harus ke luar negeri, papa menghilang meninggalkanku tanpa mendengar perkataan apapun dariku. Setelah mendengar perkataan papa, aku teringat akan dirimu, lantas aku berlari ke kamarku membaringkan diriku dengan penuh kesedihan dan kebencian di atas serambiku. Aku lantas mengambil ponsel dari saku dan menelponmu dengan segera, untuk menemuimu disini dan menyapaikan ini kepadamu.

Setelah mendengar apa yang Intan sampaikan, mulutku terkatup seperti terjahit benang—tanpa suara, aku hanya memandang selamat-lamat mungkin ke araha wajah Intan yang penuh keheningan dan kesedihan.

‘aku tidak ingin berpisah darimu Adi, tidak bisah. Jauh darimu akan membunuhku di perantaun. Sungguh aku tak ingin jauh dan berlalu sedikitpun darimu’Intan melanjutkan bicaranya.

Setelah ucapan itu, aku semakin bingung dan tak tahu apa yang harus ku perbuat, aku hanya bisa memeluk Intan seerat-eratnya dan tak ingin melepaskan pelukanku dari kekasihku ini sembari berucap dalam hati: ‘Oh tuhan, cobaan apa yang kau berikan dalam hubunganku denganIntan’

Dalam pelukanku, Intan merasa tenang, itu yang di ucapnya. Dan perlahan kami berdua hanyut dalam keheningan gubuk mungil ini. Lalu kami berdua membaringkan tubuh di atas serambi lapuk itu.

‘tenanglah sayang aku tak akan jauh darimu, tapi kita harus berpikir tentang masa depan kita berduaIntan. Kau lihat sayang, aku hanyalah lelaki biasa yang tak memiliki pekerjaan, apa yang akan kau makan nantinya bila kita membina rumah tangga?’bisikku kepada intan

Mendengar bisikanku, Intan lalu bangun dari serambi dan menatapku seraya berkata ‘tidak Adi, aku tidak ingin berpisah denganu, dan itu tak mungkin, aku tak sanggup’.

Aku berdiri mengikutinya dan memeluknya. 

‘Tenanglah sayang, aku tidak akan pergi meninggalkanmu’ Dengan tenang, aku meyakini Intan (dan kami berdua kembali larut dalam perasaan cinta).

Kemudian aku menarik Intan ke serambi, lantas melepaskan rasa cinta yang telah menguasai kami berdua. Aku memeluknya dalam keadaan berbaring diatas serambi. Perlahan mendekatkan wajahku pada Inta dan mengecupkan bibir Intan, sesaat kami berdua terangsang dengan suasana yang penuh campur aduk antara cinta, kasih, sayang, rindu dan sedih.

Lalu aku perlahan melepaskan pakaian Intan, dan kulumat tubuhnya yang penuh aroma sensualitas. Setelahnya kami berdua melepaskan gairah libido yang menguasai kami. Aku dan Intan terus hanyut dalam asmara selama beberapa menit—hampir sejam.

***

Setelah pertemuan beberapa hari lalu. Hari ini Intan akan berangkat ke luar negeri untuk menempuh pendidinkannya. Tadi sempat dia menelpon—menyuruhku untuk mengikutinya ke bandara, namun karena sibuk dengan lukisan-lukisanku yang belum selesai, aku tidak sempat memenuhi keinginan Intan, dan hanya mengiriminya pesan lewat ponsel

‘sayang, maaf aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, pemesannya hari ini ambil pesanannya. Hati-hatilah di negeri seberang, aku akan selalu setia menunggu dan selalu merinduimu. Kekahihmu Adi’.

Setelah mengiriminya pesan, aku menunggu balasan, namun tiada gemuruh pesanku terbalas. Aku lalu melanjutkan lukisan yang sudah di pesan itu. Memainkan kuas di atas kanvas putih nan pekik, tanpa berpikir hal apapun—hanya lukisan cepat terselasiakan, itu yang ada di kepalaku.

Dalam keseharian yang penuh kerinduan. Dengan ponsel, aku selalu mengirimi Intan pesan, tapi tiada satupun pesanku di gubris olehnya. Hatiku menjadi tak karuan. Lantas aku hanya menyibukkan diriku dengan melukis tanpa jeda waktu—waktu yang ku punya hanya makan dan mandi, sampai-sampai tak sempat menunaikan tugasku sebagai seorang teis.

Hari-hari aku ditemani kuas mungil dan kanvas putih bersih yang nantinya akan kukotori dengan berbagai cat. Saat keasikan memilih warna untuk mengotori kanvas, tiba-tiba aku teringat akan Intan, namun enggan untuk menelpon maupun mengirimi pesan. Sudah terlalu amat sering aku mengabarinya, namun tak ada balasan.

Aku lantas pasrah dan tidak mengharapkan kehadiran Intan. Aku tak tahu apa penyebabnya sehingga Inta sudah tidak pernah mengabari atau pun membalas pesan yang aku kirim kepadanya sejak keberangkatannya samapi sudah hamper 3 tahun ini.

Sejenak aku beranjak dari depan kanvas dan masuk ke dalam rumah dan membaringkan diriku  di atas serambi. Lalu mengingat masa-masa dimana Intan menelponku dan segera ingin bertemu, dan ternyata itulah hari terakhir aku berjumpa dengannya. Kuliarkan ingatanku pada masa itu—masa ketika aku dan Intan larut dalam cinta yang hampir memakan waktu sejam. Namun itu sudah berlalu, mungkin Intan sudah tidak lagi mengharapkanku.

Aku pun mencoba melepaskan segala kehidupanku tentang Intan. Dan berniat menghabiskan semua pesanan lukisan yang sedang aku kerjakan, lalu pergi berkelana bagai bigsu yang tiada tempat persingghan—hanya goa-goa yang menjadi tempat meditasi mereka. Berjalan dan terus berjalan tanpa berhenti untuk mengingatnya, bagai bohemian yang kehidupannya seperti di zaman nomaden. Lalu ku kuburkan semua ingatanku tentang Intan pada gubuk yang selalu menjadi saksi bisu cinta kami, gubuk yang hampir setiap hari menemani kemesraan aku dan Intan. Lalu berlalu dan tak berpaling lagi ke masa-masa indah itu, sangat menyakitkan dan mengiris hati. Dan sejak itulah aku tak lagi mengingat tentang Intan.

Ambon, 18 Januari 2017

catatan :
buat temanku Adi, carilah cinta yang baru.
dan untuk sahabat kompasiana, aku baru belajar buat cerpen ni. mohon bimbingannya yah

Oleh : Tanah Beta (A.M)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun