Mohon tunggu...
Mario Tando
Mario Tando Mohon Tunggu... Penulis - Activist

Human Interest

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gus Dur dan Surat untuk Penguasa

30 Januari 2019   11:25 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gus Dur dan Surat untuk Penguasa

(Kekuasaan itu Sementara, Cinta Kasih itu Abadi)

Gus..

Aku rindu kamu Gus..

Dulu, aku diberi cerita oleh para tetuaku, hidup sebagai orang Tionghoa di Indonesia begitu sulit, seringkali di diskriminasi karena berbeda. Walau kulitku hitam, tapi aku tak mampu menyamar dengan mata sipitku.

Dulu, aku diberi cerita oleh para tetuaku, hidup sebagai umat Khonghucu di Indonesia begitu berat, seringkali di diskriminasi karena jumlah yang sedikit. Bahkan, ingin menikah saja Negara tak mau mengakui.

Ada apa dengan kaum ku?

Mengapa dengan Tionghoa dan Khonghucu?

Memang aku bisa memilih untuk dilahirkan?

Jika bisa, aku hanya ingin memohon kepada Tuhan, agar aku dilahirkan jadi orang Islandia, karena menurut Indeks Pembangunan Manusia yang dirilis PBB disana Negeri yang paling damai dan tentram diantara negeri-negeri lainnya.

Tapi, ternyata itu semua hanya mimpi. Aku lahir di tanah yang kucinta Indonesia, saat ini dan selama-lamanya, dengan segala dinamika kehidupan yang ada. Karena aku teringat sabda Kong Zi; bahwa tanah air harus dijaga, dari generasi ke generasi. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.

Dinamika yang begitu kompleks, saat ternyata sejak dulu dan sampai saat ini masih terasa aku sebagai Tionghoa mendapat segelintir diskriminasi.

Saat ternyata sejak dulu dan sampai saat ini masih terasa aku sebagai Khonghucu mendapat sekelumit diskriminasi.

Ternyata, dinamika kehidupanku saat ini masih sama dengan apa yang diceritakan tetuaku!

Aku selalu dinasehati orangtuaku, bahwa aku tak boleh bicara terlalu keras, walau mungkin itu sebuah kebenaran.

Aku selalu diperingati orangtuaku, bahwa aku tak boleh meluapkan emosi atas hak-hak ku yang kurasa masih dianggap sebelah mata oleh negara, walaupun itu hanya berupa guratan tinta.

Begitulah Negeriku, aku sadar lahir dan hidup dengan predikat minoritas ganda. Tapi apa aku tak boleh berteriak atas hak-hak ku? Sementara aku dituntut melakukan kewajiban yang sama dengan orang lain, tetapi mengapa tidak dengan hak-hak ku?

Aku diminta membayar pajak atas segala apa yang kupunya, karena pajak melekat pada apapun yang aku beli.

Aku diminta berbangsa, berbahasa, dan ber tanah air satu yaitu Indonesia; aku pun sudah menjiwai hal itu.

Aku diminta Cinta Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika; rasanya aku sudah merasuki diriku dengan hal itu.

Aku tak minta apa-apa, aku hanya ingin hak-hak yang melekat pada diriku diperhatikan. Ada keadilan yang sama dalam hidup sebagai umat manusia.

Aku ingin berceritera, dulu Tuhan mengutus orang yang begitu luar biasa di Negeriku Indonesia.

Dia tak pernah takut dibenci walaupun berbeda, karena dia meyakini apa yang diperjuangkan adalah sebuah kebenaran.

Dia tulus tanpa pamrih, berjuang untuk orang-orang yang dilihatnya terdiskriminasi.

Terlebih, kami terdiskriminasi tanpa alasan yang jelas, sesuatu yang tak pernah bisa masuk logika.

Gus, sampeyan masih perhatikan Negeri ini?

Sampeyan masih peduli dengan kami yg tak berdaya ini?

Diskriminasi itu muncul lagi Gus, sebelumnya padahal orang-orang setelah mu berjalan melanjutkan perjuanganmu Gus.

Aku harus berceritera kepada Siapa Gus?

Presiden ku yang ke-5, baik sekali; menjadikan salah satu hari raya agamaku menjadi libur nasional, entah untuk yang lain, tapi bagiku itu hari raya keagamaan, karena ternyata Kitab Suci yang kuyakini tersurat ritual dan upacara dalam menyambut hari itu.

Presiden ku yang ke-6, juga sungguh baik sekali; meneruskan karya mu sehingga kami hampir bisa sejajar dengan yang lain. Meneruskan apa yang telah kau mulai, hingga kami benar-benar bisa mencantumkan kolom agama di KTP masing-masing. Kami juga bisa menikah dengan tenang, tidak perlu takut harus berganti agama, dan Negara mengakui itu. 

Bahkan detik-detik terakhir dia memberikan angin segar kepada umat Khonghucu yang sudah kenyang di diskriminasi dengan goresan tinta yang melekat pada Inpres No. 14 tahun 1967, dia memberikan kepercayaan sebuah hadiah Dirjen, Eselon 1 di Kementerian Agama, yang membuatku tentu bisa berkembang sama seperti kawan-kawanku yang lain. Dengan itu, mungkin aku bisa lebih baik lagi menjaga tanah air tercinta secara bersama-sama.

Sesungguhnya aku amat bahagia saat menyambut hadirnya Presiden ke-7, karena yang aku lihat dia lahir dari rahim rakyat. Dia bukan 'siapa-siapa', tapi bisa jadi 'apa-apa'. Aku optimis, dia bisa menjaga kami yang kecil ini, mencoba menutup segala diskriminasi, mengakui kami ada, mencintai semua rakyatnya tanpa terkecuali dengan memberikan keadilan bagi semua, termasuk aku yang Khonghucu.

Kesan pertama, aku sungguh kaget ketika beliau mencabut kembali hadiah Dirjen yang pernah diberikan oleh Presiden sebelumnya. Tapi tak apalah, aku tak mau berburuk sangka. Mungkin belum waktunya bagi kami, untuk dapat berkembang secara utuh, mendapat keadilan seperti kawan kawan yang lain. Aku paham, semua butuh waktu.

Tapi belakangan aku mulai berfikir, ternyata kami rasanya tak dianggap, apalagi diperhatikan.

Berkali-kali kami mengundang beliau dalam sebuah hajatan besar yang dahulu kuncinya diberikan kepada kami oleh Engkau Gus.

Iya betul, kunci itu bernama Imlek Nasional. Betulkan waktu itu kau percayakan kunci itu kepada kami Gus?

Aku yakin Engkau tidak sembarang memberi kunci itu Gus.

Sekarang, kunci itu tidak lagi asli Gus.

Banyak sekali duplikatnya, bahkan Presiden ku tak lagi mampu membedakan mana yang asli mana yang duplikat.

Kami tak ingin memonopoli kunci yang kau berikan Gus, semua berhak dan diundang untuk masuk ke ruang kebahagiaan itu. Tapi bagi kami, kunci itu sakral Gus, karena bagi kami di dalamnya bukan sekadar ruang kebahagiaan, tapi penuh dengan ruang-ruang spiritualitas yang kami yakini.

Itu saja ceritaku Gus. Aku pasrah, aku tak tau lagi harus berbuat apa. Terlebih aku dengar Presiden ku sendiri memberikan Kunci duplikat itu kepada kawan-kawan nya, dan akan hadir dalam ruang kebahagiaan bernama Imlek Nasional yang diadakan pada tanggal 7 Februari 2019 nanti.

Padahal kami juga ada acara menuju ruang yang sama Gus, tapi ini bukan sekadar ruang kebahagiaan bagi kami, penuh dengan ruang-ruang spiritualitas. Dulu Engkau pernah percayakan Kunci asli untuk membuka ruang itu.

Iya betul, Engkau beri kepada MATAKIN. Saat dimana aku yakin Engkau tau dahulu semua pihak menjauhi, memusuhi ruang itu Gus, hanya kami yang bertahan menuju ruang itu, Ruang Imlek Nasional.

Sudah Gus..

Aku sudah pasrah, mungkin Presiden ku sibuk, dia juga sering di sesati informasi, dia mungkin tak punya waktu untuk membuka catatan sejarah yang ada di Indonesia.

Biar Gus, mungkin kami memang tak dianggapnya ada, bahkan sekedar untuk melihat kami pun beliau tak mau. Tak apa Gus, KEKUASAAN kan tak selamanya. Tapi CINTA KASIH dan KEPEDULIAN terhadap kami pasti akan berbalas dan selalu terjaga. Sama seperti kami masih mencintaimu Gus, menghormatimu dengan begitu tulus, menjunjungmu dengan begitu tinggi.

Aku rindu kamu Gus,

Semoga tenang dan damai disisi Tuhan Yang Maha Esa Gus.

#Tan (Umat Khonghucu Pinggiran)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun