***
Monitor di ruang ICU mengalun nyaring seiringan detak jantung Sintia. Kini, ia terbaring lemah di ranjang dan infus di tangan kanannya. Kepala penuh dengan perban dan oksigen yang masih membantu jantungnya memompa darah. Di ujung lorong, Yanti berlari dengan hati-hati dan menghindari orang dan perawat yang lalu-lalang. Wajah yang berbalut sedih dan khawatir terpancar dari matanya yang mulai berkaca-kaca.Â
"Pasien atas nama Sintia Rezka Amar, dimana sus?" tanyanya kepada suster yang membawa troli pakaian kotor.Â
"Sudah dipindah di ruang ICU. Ibu bisa ke lantai 4." ucapnya ramah.
"Baik, terima kasih."Â
Suster itu tersenyum dan meninggalkan Yanti yang masih menggenggam kekhawatiran di hati dan kepalanya. Takut anak semata wayangnya meninggal atau kritis. Ketika pintu lift terbuka, Yanti langsung berteriak memanggil nama Sintia. Saat ingin memasuki ruang ICU, ia dihadang oleh satpam dan tidak dipersilakan masuk.Â
"Maaf ibu, bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk." ujar satpam tegas.Â
"Saya ingin bertemu dengan anak saya!" suara Yanti tak kalah keras. Semua orang yang sedang menunggu pasien di ruang tunggu melihat Yanti berteriak-teriak dan memaksa untuk masuk ICU.Â
"Ibu mohon tenang, ini rumah sakit. Ibu silakan duduk dulu, ibu ingin bertemu dengan pasien atas nama siapa?" satpam itu mendudukkan Yanti di kursi ruang tunggu.Â
"Sintia Rezka Amar, Pak. Tolong saya, saya ingin bertemu dengan anak saya. Saya khawatir, pak."
"Baik, anak ibu ada di ruang ICU. Dokter Niko sedang memeriksa keadaanya sekarang. Ibu tidak usah khawatir. Jika sudah selesai diperiksa, dokter Niko akan memanggil ibu." satpam bernama Frid itu mencoba menenangkan Yanti.Â