"Saya tidak mengerjakan PR yang membosankan itu." jawab Abizar santai membuat seisi kelasnya tercengang dan emosi Bu Evelyn meledak.
"Keluar kamu sekarang!"
***
"Andera, tunggu aku piket sebentar ya," pinta Sintia memelas.Â
"Yah, sorry Sin. Gua nggak bisa, ada les musik. Lain kali ya, bye."
Setiap Senin Sintia harus piket membersihkan kelas sebelum pulang dan lebih apesnya lagi, ia harus piket dengan Abizar.Â
"Sintia, duluan ya." senyum Rani mengembang ketika sapu di tangannya mendarat di tempat semula. Merasa takut dengan Abizar, Sintia ingin kabur dan seketika langsung dihadang oleh Abizar.
"Urusan kita belum selesai,"Â
Merasa ada kesempatan untuk kabur, Sintia menabrak Abizar dan lari, tapi kali ini tidak berhasil. Tangan Abizar menarik lengan Sintia dan jari-jari kuatnya mencengkram kerah baju Sintia.
"Ma...aa...fiiin aku, semalem aku lu...pa...nger...ja....iiiin..." Sintia terbata-bata mengucapkan kata maaf kepada anak hitam di depannya. Abizar di mata Sintia disebut sebagai anak hitam. Abizar tidak pernah berhenti menghantui Sintia dengan perbuatannya yang kasar dan suka membuli. Karena tidak ada seseorang yang bisa membuat Sintia aman, ia terus mengikuti permintaan Abizar untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.Â
"Nggak ada kata maaf buat babu kaya lo!" emosi yang sudah menyelubungi dada Abizar, tanpa ada rasa bersalah dia melempar Sintia ke bawah dari ujung anak tangga. Melihat darah segar yang mulai mengalir dari kening Sintia, Abizar menjadi takut dan kabur meninggalkan tubuh yang pingsan tak berdaya akibat ulahnya.Â