Di malam yang sunyi, Sania menuruni anak tangga dengan perlahan. Kedua orang tuanya sedang duduk santai di depan televisi di ruang keluarga.
"Ayah, Bunda. Sania ingin berbicara sesuatu." Sania merasa gugup dan takut melihat sorotan tajam Ayahnya.
"Eh, kamu belum tidur ya. Kemari sayang, sini duduk dekat Bunda." Sari menarik tangan mungil anaknya mengarahkan untuk duduk di dekatnya.
"Apa yang mau kamu sampaikan kepada kami, sayang?" Sari mengelus rambut hitam Sania.
Sania menyampaikan bahwa Boy akan datang menemui Sania dan keluarga. Dan menyampaikan bahwa Boy akan segera melamarnya. "Apa! siapa Boy itu? Ketemu sama Ayah Bunda pun belum pernah. Berani-beraninya ingin melamar kamu. Tidak, Ayah tidak akan pernah setuju kamu menikah dengannya." Joko berdiri dengan geram dan melontarkan kata-kata yang menyayat hati anak semata wayangnya. Sari mencoba menenangkan suaminya dengan mengedipkan mata.
Ayahnya menghembuskan napas panjang. "Baik, Ayah akan restui pernikahan kamu dengan Boy. Tapi ingat. Jika ada masalah diantara kalian, jangan harap Ayah membantu menyelesaikan masalah kamu." Joko pergi meninggalkan Sania dan Sari. Sania memeluk erat Bunda. Kesedihannya tidak dapat dibendung lagi. Bendungan air mata pecah berisi partikel kesedihan dan kebahagian bercampur.
17 September 2017, bertepatan pada hari sabtu. Pernikahan Sania dan Boy akhirnya terlaksana. Pernikahan kedua pasangan bahagia ini bertepat di sebuah gedung. Acara  pernikahan sangatlah mewah. Sania terlihat cantik dengan gaun pernikahan berwarna putih. Dan Boy tampak tampan berjas warna hitam. Di muka panggung pengantin, terdapat kue pernikahan yang besar bertingkat tiga terpampang anggun di depan pengantin. Sekeliling ruangan terdapat deretan bunga tiruan yang dipasang rapi menghiasi hari bahagia mereka. Sama dengan hatinya yang sedang berbunga-bunga, Sania sekarang merasa bahwa dia akan hidup bahagia bersama Boy.
Pria yang baru dikenal selama seminggu itu ternyata tidak menyakitinya. Boy sangat perhatian kepada Sania. Boy adalah pribadi yang sangat ramah di mata Sania. Dia sangat bersyukur kepada Tuhan, telah mempertemukannya dengan pangeran yang terbaik. Semua tamu undangan hadir memenuhi ruangan resepsi. Deva dan Ratna pun hadir, mereka tidak menyangka bahwa Sania akan menikah dengan cepat. Sania optimis dengan keputusannya. Deva terlihat tidak bergairah menatap wajah Sania. Dia berharap semoga Sania bahagia bersama pasangannya. Acara pernikahan dihadiri oleh kerabat terdekat. Tema-teman dari kantor banyak yang hadir. Teman-teman mempelai pria terlihat berbondong-bondong datang dengan antusias menyalami kedua mempelai.
Pintu masuk gedung mengeluarkan beberapa orang berpakaian serba hitam dan terlihat beringas. Sania dan tamu undangan memperhatikan gerak mereka yang semakin cepat menuju panggung pengantin. Tangan kekar dan wajah beringas menyambar dan membekuk kedua tangan Boy. Boy meronta-ronta. Sania terlihat panik dan ingin merebut suaminya dari genggaman polisi.
"Maaf, Ibu. Silakan datang ke kantor polisi untuk informasi lebih lanjut." perintah polisi yang berambut gondrong. Tidak jauh dari pemandangan penangkapan Boy. Polisi juga meringkus Ratna. Sania sangat terkejut. Dia tidak habis pikir, di hari sakralnya akan berakhir seperti ini. Sania lunglai dan jatuh terduduk. Sari yang mengetahui anaknya sedang berduka, langsung memeluknya. Deva melihat sahabatnya yang sedang sedih, mencoba untuk menenangkannya.
"Maafin Sania, Bun. Kenapa semuanya jadi seperti ini. Lalu, siapa yang akan membayar semuanya ini, Bunda." Suaranya terdengar serak karena isakan tangis. Bukan jumlah yang biasa, pernikahan mereka menghabiskan dana sampai miliaran. Hati Sania sangat hancur. Kekacauan di hari bahagianya sama sekali dia tidak harapkan. Para tamu undangan terlihat bingung seperti menonton drama secara langsung. Beberapa teman kantor Sania, diam-diam membicarakannya.