Mohon tunggu...
Tammy Siarif
Tammy Siarif Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Pengamat Kesehatan

Saya adalah seorang dokter, dan Manager di Rumah Sakit Swasta di Bandung, juga sebagai dosen di Perguruan Tinggi Kota Bandung. dan sekaligus sebagai pemerhati kesehatan,

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hak Pasien untuk Pendapat Kedua (Second Opinion)

21 Juli 2018   08:20 Diperbarui: 21 Juli 2018   08:24 3432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pendahuluan.

Pada saat seorang pasien telah didiagnosa oleh seorang dokter dan memerlukan tindakan medis, dan ternyata pasien tersebut merasa ragu atau kurang yakin dengan diagnosa atau tindakan medis tersebut, Ada pasien yang tetap menyerahkan sepenuhnya proses pengobatan penyakit yang akan diterima kepada dokter yang sudah merawatnya, mereka adalah  pasien bersifat paternalistic. 

Tetapi ada sebagian pasien yang berupaya untuk mencari dokter lain (pendapat kedua -- second opinion) untuk mendapatkan sudut pandang lain dari dokter kedua, serta memastikan bahwa diagnosa dan tindakan medis atas dirinya sudah benar dan tepat untuk selanjutnya pasien dapat memutuskan apakah akan menyetujui pengobatan atau tindakan medis atas dirinya.  Biasanya keadaan seperti ini muncul ketika pasien dihadapkan pada atau didiagnosa sebagai:

Penyakit yang prevalensinya rendah.

Penyakit yang sedang diobati tetapi gejalanya masih sering timbul (recurrent).

Penyakit yang dalam pengobatan tetapi gejalanya tidak pernah hilang.

Penyakit yang mempunyai banyak alternatif tindakan.

Penyakit yang prognosanya kurang baik.

Penyakit yang memerlukan tindakan yang beresiko.

Penyakit yang memerlukan pengobatan jangka panjang atau seumur hidup.

Penyakit yang pengobatanannya masih dalam penelitian.

  • Penyakit yang pengobatanannya tidak atau belum direkomendasikan oleh Institusi kesehatan baik nasional maupun internasional.

Penyakit yang mempunyai banyak kemiripan gejala dengan penyakit lainnya.

  • Penyakit yang memerlukan pemeriksaan penunjang medis berbiaya besar.
  • Kebiasaan dokter yang sering memberikan obat-obatan termasuk  antibiotika yang
  • berlebihan. 

Mencari pendapat kedua (second opinion) adalah hak pasien yang sudah diatur pada:

Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 huruf (b) :

  • Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.

Undang Undang no. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 poin h : Setiap pasien memiliki hak: meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit.

Permenkes No 4/2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. Ps 17 ayat (2) huruf h:  meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada Dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

Hak Pasien untuk Pendapat Kedua

Banyak pasien (bahkan juga dokter) mempunyai pemahaman yang kurang tepat tentang hak mendapatkan pendapat kedua.  Pasien beranggapan bahwa yang dimaksudkan dengan mencari pendapat kedua adalah: pasien yang merasa kurang yakin dengan diagnosa atau tindakan medis yang akan dilakukan dokter pertama, akan mencari dokter lain dan memeriksakan diri kepada dokter tersebut (dokter kedua), atau dengan berbekal semua dokumen hasil pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan oleh dokter pertama, pergi ke  dokter kedua,  lalu "mengadukan" hasil analisa pemeriksaan dokter pertama kepada dokter kedua, tanpa sepengetahuan dokter pertama.  

Hal seperti ini dilakukan pasien, selain ketidakpahaman tentang pendapat kedua, juga karena pasien kuatir, apabila berterus terang kepada dokter pertama, akan menyinggung  perasaan dokter pertama, seakan pasien tidak percaya akan kemampuannya dan meragukan hasil diagnosanya, bahkan pasien takut, apabila kelak dokter tidak lagi mau mengobati penyakitnya.

Jika hasil analisa pemeriksaan dokter pertama dan kedua sama, mungkin tidak akan menimbulkan permasalahan, tetapi bagaimana jika seandainya pendapat dokter pertama berbeda dengan dokter kedua?  Karena dalam dunia kedokteran perbedaan pendapat antar dokter adalah hal yang biasa dan bukan hal yang ditabukan. Perbedaan pendapat antara dokter pertama dan kedua akan menimbulkan permasalahan baru bagi pasien, perbedaan pendapat bisa timbul apabila keahlian atau kompetensi dokter pertama, berbeda dengan dokter kedua, yang akan menyebabkan sudut pandang yang berbeda pula dalam mengatasi suatu penyakit, misal antara dokter spesialis saraf dengan dokter spesialis bedah saraf, sementara pasien kurang memahami keahlian dan kompetensi antara dokter pertama dan dokter kedua.

Untuk mencari dan memilih dokter atau sarana pelayanan kesehatan  adalah  hak pasien, tetapi itu bukan yang dimaksud dengan hak pasien untuk mendapatkan pendapat kedua seperti yang diamanatkan oleh undang-undang.

Pemahaman tentang hak pasien untuk pendapat kedua yang benar adalah:  pasien akan meminta kepada dokter yang sudah memeriksa dan membuat diagnosa bagi dirinya  (dokter pertama) agar mencarikan dokter lain yang memiliki keahlian dan kompetensi yang sama untuk bisa memberikan pendapat kedua, dan dokter pertama secara sukarela akan memberikan pengantar atas analisa dan pandapatnya disertakan pula semua dokumen hasil pemeriksaan penunjang pasien kepada dokter kedua, yang mempunyai keahlian dan kompetensi yang sama dengan dokter pertama.  

Berdasarkan surat pengantar tersebut, maka dokter kedua akan mempelajari, melakukan analisa dan membuat kesimpulan tentang  diagnosa atau tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien, jadi kesimpulan yang diambil oleh dokter kedua, bukan hanya berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dokumen pemeriksaan penunjang saja, tetapi juga dengan mempertimbangkan alasan mengapa dokter pertama membuat dignosa dan menentukan tindakan medis terhadap pasien tersebut.  

Apabila dokter kedua dari hasil pemeriksaan dan analisanya   melihat adanya perbedaan pendapat dengan hasil analisa dokter pertama, (karena  perbedaan pendapat antara dokter pertama dan kedua dalam mengobati penderita adalah hal yang biasa terjadi),  maka dokter kedua akan menghubungi dokter pertama untuk membicarakan tentang perbedaan tersebut. Apabila sudah ada kesepahaman, maka dokter kedua akan menyerahkan atau mengembalikan semua dokumen hasil pemeriksaan penujang dan hasil analisa dokter kedua kepada dokter pertama.

Jadi pada proses mendapatkan pendapat kedua, ada kerjasama dan komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter pertama dengan dokter kedua, sehingga pasien mendapat keuntungan yang besar dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik. Proses tersebutlah  yang dimaksudkan sebagai hak pasien untuk pendapat kedua, seperti yang dijamin oleh undang-undang.

Perbedaan Hak Pasien untuk Pendapat Kedua dengan Rujukan

Kalau dokter pertama menyampaikan hasil analisanya  kepada dokter kedua, bukankah prosedur tersebut yang biasa dikenal sebagai rujukan atau konsul dari dokter pertama kepada dokter kedua?   Ada perbedaan yang cukup mendasar antara  pendapat kedua dengan rujuk.  Pada pendapat kedua inisiatif awal ada pada pasien, sementara rujuk inisiatif datang dari dokter pertama;  pendapat kedua didapat dari dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi yang sama, sedang rujuk bisa dilakukan kepada  dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sama atau berbeda.

Pendapat Kedua sebagai Hak Pasien.

Bagaimana jika dokter pertama merasa tersinggung sehingga tidak mau memberikan pengantar dan dokumen pemeriksaan penunjang pasien kepada dokter kedua pada saat pasien meminta untuk bisa mendapatkan pendapat keduanya ?

Pendapat kedua adalah hak pasien yang diberikan undang-undang. Hak itu suatu yang penting bagi seseorang dan harus dilindungi oleh hukum (Teori Kepentingan Rudolp Von Jhering). Menurut Sudikno Mertokusumo, hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. 

Perlindungan atas hak pasien untuk pendapat kedua sudah diberikan oleh peraturan perundangan yang ada, memang pada aturan hukum tersebut tidak ada sanksi yang jelas untuk dokter yang tidak memenuhi keinginan pasien untuk mendapatkan hak pendapat kedua, namun secara etika, seorang dokter harus bisa menghormati hak- hak pasien, dan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk bisa mendapatkan hak pendapat kedua (second  opinion),  walaupun  dengan risiko  pasien akan pindah rawat ke dokter kedua.

Kalau diperhatikan maka hasil ahir (end point) baik dari pendapat kedua maupun rujuk adalah pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik, dan ini sesuai dengan hak pasien yang diatur dalam undang-undang.  Tetapi cara mendapatkan hak atas pelayanan yang terbaik itu yang berbeda, apabila hak atas pelayanan kesehatan terbaik didapatkan melalui rujukan, maka hak pasien tersebut didapat karena adanya hubungan terapetik antara dokter dan pasien (hak sekunder), seperti yang tertuang dalam UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 51 huruf b yang menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

Sementara hak untuk mendapatkan pelayanan terbaik melalui hak pasien untuk pendapat kedua, adalah  hak yang melekat sebagai manusia (hak primer), sesuai dengan : UUD 45 hasil amandemen dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28H ayat (1) : setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memproleh pelayanan kesehatan.

Hak Pasien untuk Pendapat Kedua bagi Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Pasien peserta JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK), maka pembiayaan untuk pelayanan kesehatannya  akan tunduk dan patuh kepada  aturan BPJSK, apabila pasien tidak bersedia untuk mengikuti prosedur yang sudah ditentukan, maka pembiayaannya tidak dapat di klaim kan kepada BPJSK.

Bagi pasien peserta JKN yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, selain harus mengikuti regulasi rumah sakit dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, juga harus mematuhi regulasi  kepesertaan pasien sebagai peserta JKN yang diatur oleh Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan BPJSK, sehingga upaya pasien memperoleh hak pendapat kedua dari dokter lain baik didalam maupun diluar rumah sakit, bukan hanya menjadi tanggung jawab dokter dan rumah sakit, tetapi seharusnya juga menjadi tanggungjawab BPJSK.

Pada kenyataannya, Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional tidak sejalan dengan norma yang diatur oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,  khususnya dalam hal hak pasien untuk pendapat kedua, dimana proses pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta JKN, adalah pelayanan yang sesuai dengan alur rujukan berjenjang, tidak ada regulasi BPJSK  yang mengatur tentang hak pasien untuk pendapat kedua,  Sehingga hak pasien peserta JKN untuk pendapat kedua, saat ini pembiayaannya tidak dapat dibayarkan oleh BPJSK,  karena regulasi pembiayaan untuk pemenuhan hak pasien untuk pendapat kedua tidak diatur oleh regulasi yang dikeluarkan BPJSK, sehingga pasien yang menghendaki pendapat kedua bisa dimintakan kepada dokter pertama, tetapi pembayaran pelayanan yang diberikan oleh dokter kedua, bukan menjadi beban BPJSK melainkan menjadi beban pasien.  Keadaan serupa juga bisa terjadi pada pasien pengguna jaminan asuransi kesehatan lainnya, tergantung pada kesepakatan awal antara pasien dengan pihak asuransi.

Pendapat Kedua pada Proses Peradilan 

Pendapat kedua sebagai hak pasien, berbeda dengan permintaan pendapat kedua dari hakim pengadilan pada saat memeriksa perkara dimana terdakwa tidak bisa dihadirkan dalam persidangan dengan alasan sakit berdasarkan surat keterangan dokter. Selama ini KUHAP hanya mengatur surat keterangan dokter dengan alasan terdakwa sakit, dengan surat keterangan dokter tersebut bisa menjadi alat bagi terdakwa untuk mangkir dalam pemeriksaan  atau persidangan.

Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum melakukan pemeriksaan ulang (second opinion), untuk mendapatkan kepastian apakah terdakwa layak atau tidak layak disidangkan di pengadilan (unfit to stand trial ).  Apabila hasil pendapat kedua menyatakan: bahwa  terdakwa menderita sakit yang bersifat permanen,  sehingga terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, maka persidangan akan dihentikan.  

Alasan sakit tidak hanya terjadi pada pemeriksaan pengadilan tingkat pertama, tetapi juga dalam proses penyidikan untuk mangkir dalam pemeriksaan agar masa tahanannya habis, sehingga mau tidak mau majelis hakim harus mengeluarkan terdakwa demi hukum.

Menyadari bahwa keadaan sakit bisa menjadi alat yang cukup ampuh bagi terdakwa untuk menghindari persidangan, maka untuk menghindari atau mengantisipasi penyimpangan dalam proses penilaian medis dan second opinion, pada bulan Juni 2012, KPK bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menandatangani Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) perihal penilaian medis dan second opinion terhadap tersangka, terdakwa dan saksi, yang perkaranya ditangani KPK.

Pada MoU tersebut, KPK dapat meminta IDI untuk :

  • menunjuk dokter atau dokter spesialis melakukan kajian dan memberikan keterangan tertulis mengenai kelayakan medis saksi, tersangka, atau terdakwa guna kepentingan proses penyidikan atau persidangan (fit to be questioned or fit to be stand trial).
  • menunjuk dokter atau dokter spesialis melakukan kajian dan memberikan keterangan tertulis terhadap saksi, tersangka, atau terdakwa yang menolak memberi keterangandengan alasan sakit tanpa ada surat keterangan dan diagnosis dari dokter.
  • menunjuk dokter atau dokter spesialis untuk memberikan pendapat berdasarkan data atau hasil pemeriksaan kesehatan dokter sebelumnya untuk kepentingan penilaian medis. Secara tertulis dokter yang ditunjuk IDI juga memberikan penjelasan atas surat keterangan hasil penilaian medis dan second opinion itu untuk kepentingan KPK.

Bandung, 20 Juli 2018.

Tammy J. Siarf, dr; SH; MHKes

Staf Pengajar Hukum Kesehatan.

Fakultas Hukum-Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun