Hak Pasien untuk Pendapat Kedua bagi Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Pasien peserta JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK), maka pembiayaan untuk pelayanan kesehatannya  akan tunduk dan patuh kepada  aturan BPJSK, apabila pasien tidak bersedia untuk mengikuti prosedur yang sudah ditentukan, maka pembiayaannya tidak dapat di klaim kan kepada BPJSK.
Bagi pasien peserta JKN yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, selain harus mengikuti regulasi rumah sakit dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, juga harus mematuhi regulasi  kepesertaan pasien sebagai peserta JKN yang diatur oleh Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan BPJSK, sehingga upaya pasien memperoleh hak pendapat kedua dari dokter lain baik didalam maupun diluar rumah sakit, bukan hanya menjadi tanggung jawab dokter dan rumah sakit, tetapi seharusnya juga menjadi tanggungjawab BPJSK.
Pada kenyataannya, Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional tidak sejalan dengan norma yang diatur oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Â khususnya dalam hal hak pasien untuk pendapat kedua, dimana proses pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta JKN, adalah pelayanan yang sesuai dengan alur rujukan berjenjang, tidak ada regulasi BPJSK Â yang mengatur tentang hak pasien untuk pendapat kedua, Â Sehingga hak pasien peserta JKN untuk pendapat kedua, saat ini pembiayaannya tidak dapat dibayarkan oleh BPJSK, Â karena regulasi pembiayaan untuk pemenuhan hak pasien untuk pendapat kedua tidak diatur oleh regulasi yang dikeluarkan BPJSK, sehingga pasien yang menghendaki pendapat kedua bisa dimintakan kepada dokter pertama, tetapi pembayaran pelayanan yang diberikan oleh dokter kedua, bukan menjadi beban BPJSK melainkan menjadi beban pasien. Â Keadaan serupa juga bisa terjadi pada pasien pengguna jaminan asuransi kesehatan lainnya, tergantung pada kesepakatan awal antara pasien dengan pihak asuransi.
Pendapat Kedua pada Proses PeradilanÂ
Pendapat kedua sebagai hak pasien, berbeda dengan permintaan pendapat kedua dari hakim pengadilan pada saat memeriksa perkara dimana terdakwa tidak bisa dihadirkan dalam persidangan dengan alasan sakit berdasarkan surat keterangan dokter. Selama ini KUHAP hanya mengatur surat keterangan dokter dengan alasan terdakwa sakit, dengan surat keterangan dokter tersebut bisa menjadi alat bagi terdakwa untuk mangkir dalam pemeriksaan  atau persidangan.
Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum melakukan pemeriksaan ulang (second opinion), untuk mendapatkan kepastian apakah terdakwa layak atau tidak layak disidangkan di pengadilan (unfit to stand trial ).  Apabila hasil pendapat kedua menyatakan: bahwa  terdakwa menderita sakit yang bersifat permanen,  sehingga terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, maka persidangan akan dihentikan. Â
Alasan sakit tidak hanya terjadi pada pemeriksaan pengadilan tingkat pertama, tetapi juga dalam proses penyidikan untuk mangkir dalam pemeriksaan agar masa tahanannya habis, sehingga mau tidak mau majelis hakim harus mengeluarkan terdakwa demi hukum.
Menyadari bahwa keadaan sakit bisa menjadi alat yang cukup ampuh bagi terdakwa untuk menghindari persidangan, maka untuk menghindari atau mengantisipasi penyimpangan dalam proses penilaian medis dan second opinion, pada bulan Juni 2012, KPK bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menandatangani Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) perihal penilaian medis dan second opinion terhadap tersangka, terdakwa dan saksi, yang perkaranya ditangani KPK.
Pada MoU tersebut, KPK dapat meminta IDI untuk :
- menunjuk dokter atau dokter spesialis melakukan kajian dan memberikan keterangan tertulis mengenai kelayakan medis saksi, tersangka, atau terdakwa guna kepentingan proses penyidikan atau persidangan (fit to be questioned or fit to be stand trial).
- menunjuk dokter atau dokter spesialis melakukan kajian dan memberikan keterangan tertulis terhadap saksi, tersangka, atau terdakwa yang menolak memberi keterangandengan alasan sakit tanpa ada surat keterangan dan diagnosis dari dokter.
- menunjuk dokter atau dokter spesialis untuk memberikan pendapat berdasarkan data atau hasil pemeriksaan kesehatan dokter sebelumnya untuk kepentingan penilaian medis. Secara tertulis dokter yang ditunjuk IDI juga memberikan penjelasan atas surat keterangan hasil penilaian medis dan second opinion itu untuk kepentingan KPK.