"Kalian sudah berkomitmenkah?" Nana  mengeluarkan kalimat agar kembali menguasai keadaan. Perlahan ia biarkan layar Ipad memudarkan foto sosok lelaki itu. Dan menghilang dari pandangan matanya dalam sepersekian menit.
Nana berdehem, menghilangkan suaranya yang tercekat sedari melihat foto lelaki dengan balutan gaya casual, berkacamata, dan dah ahhhh, Ia sengaja merusak konsentrasinya terhadap sosok lelaki yang ia kenal dengan nama Bintang Anugerah. Lelaki dalam foto yang tersimpan secara digital di Ipad Mentari.
Hatinya merutuk, namun mulutnya mengeluarkan helaan nafas sembari  mengembalikan Ipad pada sang pemilik.
"Ganteng...seleramu banget" suara Nana terdengar lebih berat dari biasanya, memberi komentar tanpa berani menatap perempuan yang berhadapan dengannya.
"aku ke toilet sebentar ya Ri...", pamit Nana lekas menghalau sudut matanya yang mulai basah.
Beruntung, toilet sepi hingga tangis Nana kian menjadi. Bagaimana mungkin ia jatuh hati pada lelaki yang sama. Ia tak seberani Mentari, terlebih kepada Bintang  yang selama ini terbentang jarak dengannya.
Puas menumpahkan air mata, Nana membasuh wajah dengan air dari wastafel. Mengelapnya dengan tissue dan mendongakkan kepala menatap langit-langit toilet yang dikelilingi oleh kaca.
   Padahal kali pertama Nana bertemu Bintang, ada puisi yang kerap membayang. Dan setelah pertemuan itu Purnama dan Bintang sesekali saling menyapa melalui pesan singkat.  Tak jarang Purnama iseng menghujani Bintang dengan untaian kata yang menurutnya sempurna untuk sebuah rasa.
   Kini  realita berkata lain, Nana harus kembali mereguk sisi lain dari makna cinta . Pantas saja, sudah lebih dari 13 Purnama, Bintang terkesan enggan membalas sapa darinya. Seiring hadirnya Mentarikah?
   Setelah hati dan perasaannya tenang, Nana melangkah keluar kembali menemui Mentari. Belum sempat Nana duduk di kursi yang ia tinggal tadi, tangan Mentari melambai sembari memanggil sebutan mas. Nana refleks memutar posisi badannya. Sosok itu muncul, menyibak kerinduan akan tegur sapa meski tak harus bertemu raga.
  Terlambat Nana untuk menghindari tragedi hati. Mentari menyambut kekasih hati dengan sebuah pelukan dan gelayut manja. Sementara Nana meyakinkan diri agar tetap sadarkan diri, menggerakkan kaki. Tangannya berpegang pada sudut meja, mengatupkan bibir rapat-rapat, menghalau gemuruh jiwa.