"manusiawi tho" cukup diplomatis Nana menjawab.
     "Bukannya dulu kamu yang mengajarkan aku untuk tidak mudah termakan cinta?",
    "Makan tuh cinta..." ledeknya sembali tergelak untuk yang kesekian kalinya.
    Kalau saja bukan Mentari yang mentraktirnya sore itu, ingin rasanya Nana angkat kaki , berlalu pergi meninggalkan aneka  makanan yang menggugah selera.
    Baper, terbawa perasaan dengan kalimat cibiran tak akan menyelesaikan masalah. Toh dia bertekad tidak  akan memberitahu apa yang tengah dia rasakan beberapa bulan terakhir. Beruntung, jiwa liar Mentari  lekas mengalihkan pembicaraan dari tema cinta menjadi gosip terhangat seputar cekcok rumah tangga kalangan sosialita.
    Nana mendengarkan cerita teman yang kerap memberinya traktiran  hanya sebatas masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sembari mengunyah smoked salmon salad with peanut sauce yang rasanya lebih mirip gado-gado dengan tambahan irisan salmon yang tak seberapa banyak.
    Kalau saja hidup ini harus berkaca dari cerita para sosialita, apa jadinya dunia. Anggap saja kisah mereka itu layaknya drama ala layar kaca. Benar tidaknya kisah bukan hal yang patut dipikirkan apalagi ditiru dalam kehidupan nyata. Ditengah asyik membicarakan polah para sosialita, Tari mengeluarkan Ipad andalannya. Wajahnya mendadak serius sembari menghentikan cerita kelompok penikmat gaya hidup. Tangannya menyerahkan Ipad kepada Nana.
"Apa nih?" gesit tangan nana menyambar Ipad dan mengusap layarnya.
"Coba buka file foto, cocok gak sama aku?" suaranya datar.
Nana menduga, Mentari hanya ingin memperlihatkan aneka tas, baju , atau sepatu branded yang sedang ia incar untuk kemudian dibeli melalui online shop.
"Yang mana sih?" Tanya Nana sembari terus mengoperasikan benda kekinian dengan sentuhan jari di layarnya.