Aneka dalih dia keluarkan. Mulai dari sahur di akhir waktu sesaat sebelum imsak lebih afdol. Sahur bagusnya akhir-akhir waktu biar tidak mudah awet. Saya pun manggut-manggut.
Ketika pembeli lain yang kebanyakan adalah mahasiswa kos-kosan sudah mulai tidak terlihat dalam antrian, Dedy lekas mendekat meja hidang. Diambilnya nasi banyak-banyak layaknya hendak dimakan bertiga. Matanya lincah menatap aneka sayur dan lauk yang ditata sedemikian rupa.
Kaget, ketika yang diambilnya hanya kuah opor ayam saja dan sepotong gorengan lengkap dengan remah-remah tepungnya. Kami menyebutnya dengan remukan.Â
"Ente ngirit nemen Jon" senggol Budi yang sudah mengambil sepotong ikan cuwe, telor dadar dan sayur kangkung.
Kalem Dedi berlalu setelah membayar Porsi makan yang laka-laka. Sumringah wajahnya menatap gundukan nasi menjulang tinggi. Tanpa lauk yang memadai. Geleng-geleng kepala hanya itu yang saya bisa.
Benar saja belum habis makanan dalam piring, imsak tiba. Saat kami memilih untuk mengakhiri makan, berbeda halnya dengan Dedi yang berkilah bahwa jika tanggung sedang makan baiknya dihabiskan..jangan takut batal. Hajar Bae, katanya.
Dalam perjalanan pulang setelah sahur di warung akhirnya Dedi membuka rahasia,. Â Kenapa dia mengambil makan prasmanan untuk sahur belakangan. Terang saja karena dia tidak ingin jadi pusat perhatian dengan porsi yang tidak wajar. Terlebih lauk dan sayurnya tidak seimbang. Rupanya itu strategi dia agar mendapat harga miring. Hemat saat sahur itu artinya berbuka puasanya nanti sedikit mewah. Subsidi silang katanya.
ya..ya..ya..semoga cerita ini lucu jika dibaca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H