Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Indonesia Dalam Petak Monopoli Internasional (1)

22 Januari 2016   14:55 Diperbarui: 22 Januari 2016   16:46 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok.Pri Permainan Monopoli"][/caption]Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar atau membaca kata Monopoli?. Sistem ekonomikah? atau??. Monopoli dalam tulisan ini sedikit banyak akan menyelisik asyiknya bermain monopoli. Sudah tidak asing bukan?.

Permainan monopoli merupakan salah satu mainan kesukaan saya sewaktu kecil. Bermula ketika saya, anak kampung yang berteman dengan seorang anak tunggal dari keluarga kaya yang rumahnya disebut denga rumah gedong

Dalam ingatan saya, tak sengaja waktu itu saya diajak bermain oleh shinta, sebutlah demikian namanya. Padahal waktu itu saya sedang mencari "dluwang permen", istilah yang digunakan untuk menyebut plastik pembungkus permen. Pada zaman itu, dluwang permen menjadi uang-uang-an yang digunakan oleh kebanyakan anak-anak kampung ketika bermain pasar-pasaran. Siapa yang banyak memiliki dluang permen yang terbuat dari plastik warna warni itu dianggap kaya raya. 

Tak heran bila anak-anak pada jaman itu memiliki gigi yang gerupis akibat banyak memakan permen demi mendapatkan bungkus yang banyak yag disimpan dan ditata dalam dompet mainan. salah satu permen yang waktu itu bungkusnya banyak dikoleksi adalah permen sugus yang dibungkus satuan. 

Bila ada bungkus permen yang jarang dimiliki kebanyakan anak-anak, maka dluwang permen itu bernilai tinggi. seperti uang dollar saja. Maka dari itu, saya termasuk anak yang sering mencari dluwang permen yang berbeda dengan yang kebanyakan dimiliki oleh anak-anak lain. Salah satu caranya adalah dengan mencari lingkungan diluar perkampungan yang kami huni.

Pada saat berburu dluwang permen itulah, saya masuk ke rumah yang berhalaman luas, ada taman dan tampak ada anak yang usianya terpaut sekitar 2-3 tahun sedang asyik bermain boneka di teras rumah yang tampak megah. Melihat kedatangan saya, Shinta yang sedari tadi bermain sendirian tampak senang dan melambaikan tangan meminta saya mendekat.

Dalam hitungan menit, terjadilah keakraban antara ala anak-anak meski berbeda asal lingkungannya. Sebut saja anak kampung vs anak gedongan. Meski berasal dari keluarga kaya, Shinta anaknya baik dan tidak sombong. Dia mengeluarkan semua mainannya. Satu mainan yang menarik perhatian saya waktu itu adalah kotak yang kemudian oleh Shinta disebut dengan monopoli

Melihat saya membolak-balikkan kotak monopoli, Shinta pun mengajak saya bermain monopoli. Ia membuka kotak yang berisi kertas dengan gambar berwarna-warni. Tumpukan kertas berwana Hijau yang tertulis sebagai dana umum. Sementara tumpukan lain berwarna merah diberi nama kesempatan. Ada 2 dadu, Pion yang berwarna kuning, hijau, merah, biru, Uang-uang-an kertas yang terlihat bagus seperti uang sungguhan (sangat berbeda jauh dengan uang dluwang permen yang dimiliki anak kampung seperti kebanyakan selama ini). 

Saya baru kelas 2 SD waktu itu. Sedikit lancar membaca. Sementara Shinta masih TK Nol Besar Katanya, namun sudah lihai dalam menerangkan permainannya. 

"Aku Ora Bisa dolanane, Piben sih?" ucapku waktu itu

Shinta yang memang menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari di rumahnya, menjawab ucapanku yang berbahasa Tegal. 

Aku melongo, mendengarkan penjelasan Shinta cara bermain monopoli. Dia menerangkan dengan bahasa Indonesia sesekali bercampur dengan bahasa Tegal.

Usianya lebih muda. Berbeda pula lingkungan tempat tinggalnya. Namun Monopoli itu nyatanya menjadi perantara pertemanan kami. Kami pun larut dalam permainan selama berjam-jam. Hingga terdengar suara perempuan dari dalam rumah besar itu

"Adekk...kamu lagi ngapain di depan?" Perempuan cantik itu keluar dari pintu depan 

melihatku bersama anaknya ia lalu tersenyum lega

"Ada temannya kok ga dibuatkan minuman?!" Siapa namanya?!" suara itu terdengar ramah

"Uut Bu.." jawabku, yang memang itulah nama panggilan kecil

belum sempat Shinta yang asyik bermain monopoli itu berbincang dengan ibunya, perempuan itu kembali masuk.

Tak lama, membawakan 2 gelas sirup dan biskuit dalam kaleng.

"Ini diminum dulu sama dimakan kue nya"

"kalo sudah, mainannya besok dilanjut lagi ya..sudah sore, mbak ut sama dek Shinta harus mandi dulu"

Halus perempuan itu meminta kami menyudahi permainan monopoli.

Seingatku Shinta waktu itu sempat merajuk. Buru-buru aku berjanji besok akan datang lagi bermain monopoli.

Dan sore itupun aku menjadi anak kecil yang girang bukan kepalang. Berteman dengan anak gedongan. Merasakan permainan yang jarang dipunyai anak Kampung. Meneguk segelas syrup dingin dan mengunyah biskuit dalam kaleng yang oleh sebagian orang kampung hanya ada saat lebaran. 

Ringan langkah kaki kecilku saat itu pulang ke rumah menuju kampung yang tak tak seberapa jauh dari rumah-rumah gedong di belakang Kodim. 

Monopoli...monopoli...monopoli

mulutku komat-kamit menyebut berulang ulang nama permainan itu. Tak berharap lupa selepas meninggalkan rumah Shinta.

Masih beberapa puluh meter sebelum sampai dirumah. Yu Sul, Um Kodir, langsung menunjuk nunjuk ke arahku sambil berkata ala Tegalan

"Heh..digoleti manene kowen", artinya kamu dicari mamamu

Dan benar saja, begitu sampai di kebun samping rumah, emak langsung ngelus dada

" Ya Allah..Sing endi bae kowen Utt..digoleti mana mene ora ketemu", Artinya  Ya Allah kemana saja kamu Ut, dicari kesana kemari tidak ketemu. Meski berasal dari Jawa Timur, namun setelah menikah dengan bapak yang asli Tegal, bahasa Tegal sudah begitu dominan dalam percakapan.

"Dolanan Monopoli nang umahe Shinta"(*)jawabku sedikit takut dimarahi

Monopoli apa? Shinta sapa?! Wajah Ibu penuh selidik

"Wis...Wis..aja digayami, wis sore gagiyan dikongkong adus, Cepetan wis pan maghrib" (**) suara bapak tiba-tiba muncul dari belakang memupus rasa takutku dimarahi Ibu.

Seketika, Ibu melunak dan menyuruhku mandi sambil mengambilkan baju ganti..

sambil mandi..pikiran dan mulutku tak henti dengan girang menyebut monopoli...monopoli...monopoli

meski siang itu aku kurang begitu mengerti tentang permainan monopoli yang sudah aku nikmati bersama Shinta

 ______

dluwang : bungkus

(*) mainan monopoli dirumahnya shinta

(**) sudah--sudah jangan dimarahi, sudah sore cepat sana disuruh mandi, sudah hampir maghrib

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun