Ya, kelima perempuan itu telah bersahabat sejak lama, Jidah, Aliyah, Sarimen, Maesaroh dan Turili. Persahabatan mereka itu sudah memasuki generasi kelima. Konon Para sesepuh mereka meninggalkan surat wasiat, bahwa harta warisan mereka memang tidaklah cukup untuk tujuh turunan, namun komitmen mewariskan persahabatan pada anak, cucu,cicit, canggah,wareng, udhek-udhek, gantung siwur itulah menjadi bagian peninggalan prasasti kertas melalui baris kata-kata yang disebut prosa lama yang terus-menerus dipegang teguh oleh anak keturunan mereka.
Tak mau kalah dengan Jidah yang tampak menenangkan Aliyah dengan kata-kata mendalam, Sarimen langsung mengusap air mata Aliyah dari pelupuk matanya yang sembab dengan tangan kekarnya karena dulu dia sempat berlatih barbel. Sontak tangis Aliyahpun semakin menjadi, cucuran air matanya deras membasahi pipi. Melihat hal itu, Maesaroh merasa dirinya perlu turut ambil bagian, tangannya pun mengelus rambut lepek Jidah. Lengkaplah sudah derita Aliyah diantara sahabat dekatnya. Tangisnya makin menjadi setelah tangan bekas mengupas bawang milik Sarimen mendarat di pelupuk matanya. Bagaimana tidak?rasa perih bercampur aroma bawang menusuk indera mata dan rongga hidung yang menampung cairan yang tak terbendung. Ditambah dengan rambut yang diusap tangan Maesaroh yang juga bekas bawang. Mahkota perempuan itupun layaknya siap dipemanggangan, ketika minyak sayur bertemu dengan aroma bawang entah seperti apa rasanya. Penderitaan Aliyah pun belum berakhir manakala celoteh panjang lebar dari Jidah yang bermaksud menenangkan justru menjadi perantara percikan buih-buih tipis dari mulut jidah berpindah ke wajah Aliyah.
Sungguh Aliyah sudah membulatkan tekad menyeruak dari kepungan ketiga sahabatnya, Ia teringat penggalan puisi  sesepuh kampung ini yang bernama Eyang Buyut Rangga :
....
Bosan Aku dengan penat,
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika Ku sendiri
....
Pada Zaman dahulu Eyang Buyut Rangga merupakan tokoh tersohor sewaktu mudanya. Beliau memenangkan kontes menulis puisi tanpa sengaja, bahkan beliau enggan menjadi figur yang terkenal. Eyang Buyut Rangga konon merupakan sosok pendiam, misterius dan penggemar karya-karya puisi hebat yang sudah ada terlebih dahulu. Beliau bahkan sempat belajar ke luar negeri. Eyang buyut Rangga inilah yang kemudian melahirkan silsilah keturunan di kampung ini. Jidah merupakan wareng menantu, sebab Jidah menikah dengan keturunan kelima dari Eyang Buyut Rangga yang bernama Dayat.
Bahkan Perjodohan antara Dayat dan Jidah tidak terjadi begitu saja, masing-masing mereka mewarisi sejarah kedekatan. Jidah merupakan salah satu keturunan kelima dari Eyang Buyut Putri Mucintah yang menurut kisahnya sempat dekat dengan Eyang Buyut Rangga. Jadi merupakan hal yang wajar Dayat menikah dengan Jidah yang bernama lengkap Mujidah sebab diantara mereka terdapat benang merah asmara pada silsilah keturunan sebelumnya.
Â
Ah...Aliyah seakan menelusur silsilah perempuan yang kini masih saja berdiri di depannya sembari menghamburkan percikan ludah akibat terlalu lama dia berkata-kata. hal itu muncul dalam benaknya sembari ingin segera mengakhiri kerumunan dasyat dari para sahabatnya.Â
 Tiba-tiba datang tak diundang sosok lugu cenderung wagu dengan wajah tersipu malu sembari mendekap binatang peliharaanya yang  berbulu. Dia pun berkata :