Mohon tunggu...
Tamba Togap Tambun
Tamba Togap Tambun Mohon Tunggu... Pegawai Perbankan -

Lakukan yang terbaik selagi kita bisa

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menyoal Implementasi AEOI di Indonesia

31 Agustus 2018   16:00 Diperbarui: 1 September 2018   16:25 3165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: icoservices.com

Negara yang tergabung dalam G20 bersama Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) melakukan kesepakatan untuk melaksanakan strandar transparansi dan pertukaran informasi secara otomatis yang disebut dengan istilah Automatic Exchange of Information (AEoI).

Pertukaran informasi tersebut dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan dari negara tempat menyimpan kekayaan kepada negara asal wajib pajak yang bertujuan mencegah praktik penghindaran pajak dan meningkatkan penerimaan negara atas pajak.

Sampai saat ini sudah terdapat 100 negara yang sepakat menjalankan secara efektif tahun 2018. Keterbukaan tersebut menggunakan sistem common reporting standar (CRS) atau standar pelaporan bersama.

Tergabungnya Indonesia dalam mewujudkan AEoI sebagai upaya pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan setelah selesainya program amnesti pajak hingga 31 Maret 2017 lalu.

Menurut data yang dirilis pada situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perihal pencapaian amnesti pajak, perolehan dana tebusan sebesar Rp 114 triliun atau 69 persen, deklarasi harta sebesar Rp 4.880 triliun atau 122 persen dan repatriasi dana sebesar Rp 146 triliun atau 14,6 persen.

Secara keseluruhan pencapaian amnesti pajak masih dibawah target yang telah ditentukan meskipun Indonesia menjadi negara perolehan tertinggi di dunia. Jika kita evaluasi perolehan amnesti pajak tersebut ternyata masih sebagian harta WNI di luar negeri yang ikut amnesti pajak dan sebagian lagi WNI belum mengungkap dan memulangkan hartanya ke Indonesia.

Dapat disimpulkan kalau selama ini para pengemplang pajak sangat leluasa menikmati keuntungan hartanya yang mereka tempatkan di negara-negara yang menerapkan bebas pajak (tax haven).

Ada juga kemungkinan kenapa belum diungkapnya semua harta WNI di luar negeri karena regulasi amnesti pajak yang bersifat kesukarelaan, bukan keharusan dan bukan paksaan menjadi celah bagi pengemplang pajak untuk tidak membuka keberadaan harta mereka.

Namun ke depan tidak seperti itu lagi, dunia internasional telah menyuarakan keterbukaan informasi secara otomatis. Semangat transparansi atau keterbukaan informasi terus dipropagandakan untuk melacak jejak para pemain pajak.

Kalau diibaratkan, pelaksanaan AEoI sama halnya seperti menghadirkan dektektif Sherlock Holmes berwujud sistem yang akan mendeteksi, menyelidiki dan mengungkap semua data-data keuangan warga negara secara internasional dan kemudian informasi tersebut akan dipertukarkan secara terintegrasi kepada negara asal wajib pajak sehingga setiap negara akan mengetahui jumlah harta warga negaranya dan ditempatkan di negara mana saja harta tersebut.

Tentu hal ini bukanlah kabar baik bagi para pengemplang pajak sebab harta mereka yang selama ini ditutup-tutupi di negara lain akan dibuka kepada negara asalnya.

Mereka tidak lagi leluasa menikmati harta dan keuntungan yang tidak dikenai pajak. Nah, yang perlu sikapi sekarang adalah bagaimana kesiapan Indonesia untuk mewujudkan AEoI? Penulis akan mencoba memaparkan mengenai realitas saat ini dan langkah pemerintah Indonesia berperan dalam keterbukaan dan pertukaran informasi keuangan.

Realitas

Upaya implementasi AEoI di Indonesia tidak semudah yang diperkirakan karena harus mempersiapkan regulasi dan kajian lainya. Adapun kondisi yang dihadapi saat ini antara lain: Pertama persoalan regulasi, merujuk kepada UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan pada pasal 40 ayat (1), di sana jelas disampaikan bahwa perbankan wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan jumlah simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, peradilan perkara pidana maupun perdata dan tukar-menukar informasi antar bank.

Undang-undang tersebut bagaikan termbok penghalang keterbukaan informasi nasabah perbankan untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis antar negara.

Menyikapi itu, tepatnya tanggal 6 April 2017 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 16/SEOJK.03/2017 Tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan dalam Rangka Pertukaran Informasi Secara Otomatis Antarnegara dengan Menggunakan Standar Pelaporan Bersama (Common Reporting Standard).

Terbitnya Surat Edaran tersebut seolah memberi sinyal bahwa pemerintah begitu serius mempersiapkan payung hukum keterbukaan informasi dan dimungkinkan juga akan segera dilakukan revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 demi memperlancar terlaksananya AEoI.

Kedua, bicara kepentingan.Tujuan utama dilakukannya pertukaran informasi adalah untuk mencegah praktek transfer pricing atau praktik penghindaran pajak.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing negara mempunyai kepentingan untuk menarik investor asing agar menyimpan dana di negara mereka. Sebab banyak negara yang bergantung kepada dana asing terkhusus negara yang memiliki tarif pajak yang relatif kecil. Fakta membuktikan banyak WNI yang menempatkan hartanya di berbagai negara tax haven (surga pajak).

Menurut lembaga riset internasional Mc Kinsey, harta WNI yang berada di luar negeri diperkirakan mencapai Rp 3.250 triliun. Angka tersebut belum seberapa dibandingkan taksiran Kementerian Keuangan yang lebih dari Rp 11.000 triliun. Sehingga jika kita kaji lebih dalam, angka tersebut hampir setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2015 yang mencapai Rp 11.540 triliun.

Ini menjadi bukti begitu banyak WNI di luar negeri yang belum memulangkan hartanya ke Indonesia. Dana WNI ditempatkan diberbagai negara seperti Singapura, Hong Kong, Makau, Labuan, Luksemburg, Swiss, Panama dan negara tax haven lainnya.

Terwujudnya AEoI dianggap menjadi salah satu instrumen jitu dalam melakukan reformasi perpajakan internasional, namun masih miliki kendala dalam mengungkap harta warga negara secara utuh sebab informasi yang dipertukarkan antar negara yakni hanya sebatas data keuangan perbankan, sementara itu, harta WNI di luar negeri tidak hanya berupa dana di bank namun juga aset non-bank seperti properti, bisnis, hingga kepemilikan saham.

Meskipun demikian setidaknya dunia internasional sudah bergerak lebih cepat dengan melakukan keterbukaan dan pertukaran informasi keuangan secara terintegrasi.

Langkah Pemerintah

Indonesia harus segera melakukan langkah strategis dalam mempersiapkan pelaksanaan AEoI. Mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus tetap tergabung dalam pelaksanaan regulasi tersebut dan diwajibkan untuk memenuhi regulasi domestik paling lambat 30 Juni 2017.

Jika tidak, terdapat beberapa konsekuensi penting yang akan ditanggung oleh Indonesia apabila tidak segera memenuhi komitmen AEoI dengan terancam dikategorikan sebagai negara non-cooperative jurisdiction. 

Istilah ini ditujukan bagi negara-negara yang tidak mau bekerjasama atau masih memberi kesempatan bagi setiap orang bermain pajak atau membahayakan negara lain karena berpotensi krisis. Selain itu, Indonesia hanya berperan sebagai pemberi informasi kepada negara lain namun tidak bisa mendapatkan informasi dari negara lain tersebut.

Maka langkah strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain; pertama, melakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan agar regulasi Indonesia tidak kontradiksi dengan regulasi yang terdapat dalam AEoI dan jika regulasi hukum lainnya yang masih berseberangan harus segera dilakukan penyesuaian sejauh tidak mengganggu kestabilan nasional.

Kedua, mengingat berharganya informasi keuangan yang rentan dengan kepentingan dana pihak asing, pemerintah Indonesia harus tegas menyuarakan pada forum yang terlibat penyelenggaraan AEOI dengan menetapkan Memorandum of Understanding (MoU) yang terperinci dan sanki yang tegas bagi negara pelanggar agar setiap negara memegang teguh komitmen keterbukaan dan pertukaran informasi yang akurat dan tidak melakukan manipulasi informasi hanya untuk kepentingan negara tertentu.

Sebagai penutup penulis menyampaikan bahwa pelaksaan AEoI ini sebagai langkah mencegah praktek transfer pricing dan meningkatkan penerimaan negara atas pajak. Untuk itu, setiap negara yang tergabung di dalamya harus bergandeng tangan karena terlaksananya AEoI sebagai bukti dunia Internasional telah sunguh-sungguh menjunjung transparansi informasi.

Penulis adalah Pegawai Perbankan

Alumnus Ekonomi Pembangunan FEB USU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun