Tema: Cerita Seputar Ramadan (Fiksi)
Karya: Tamariah ZahirahÂ
Ramadan kali ini menyisakan perih di sudut hati Alika. Ramadan telah datang menghampiri, disambut dengan senyum seindah purnama yang memancarkan kilau nan berseri. Namun berkali-kali kenang datang mengetuk pintu ingatan. Menerobos masuk tanpa permisi, hati terbiar digeluti rindu tak berkesudah, pupus memeluk raga yang telah pulang.Â
Alika termenung sambil memandangi mukena berwarna dasar putih. Berbahan katun halus dihiasi dengan renda bermotif bunga mawar biru di sepanjang tepi kain. Ia mensesapi wanginya, masih sama ketika setahun lalu ibunya mulai giat menjahitnya untuk Alika. Hingga kini masih tersimpan rapi di lemari.Â
"Terima kasih, Ibu. Mukena ini menjadi kado terakhir yang aku terima di hari ulang tahunku," ucap lirih Alika, sambil mengelus mukena yang sengaja ia keluarkan dari tempat penyimpanan.Â
Ada rinai membendung di pelupuknya mengingat begitu besar perjuangan sang ibu untuk merampungkannya. Terlintas sesal di hati. "Ah, seandainya aku tak meminta dibuatkan mukena, mungkin ibu masih ada saat ini bersamaku," Â
"Ibu maafkan, Alika. Alika sayang, Ibu. Alika ingin pergi bersama ibu. Alika kini sebatang kara."Â
Hiks ... hiks ... hiks. Â
Tangis Alika pun akhirnya pecah.Â
Terbayang wajah lelah dan tak berdaya ibunya, saat di sepertiga malam yang buta, kala Alika tak sengaja terbangun mendengar suara desah napas ibunya yang amat kencang.Â
"Ibu kenapa?!" tanya Alika kaget.Â
"Muka ibu pucat sekali. Ayo bu bersandar, Alika bantu." Alika sibuk membenarkan posisi duduk ibunya, agar terasa lebih nyaman.Â
"Alika, ambilkan ibu air, Nak! Ibu haus sekali." Alika bergegas menuju dapur.Â
Setelah Ibu Julaeha merasa lega, barulah ia berbicara kepada Alika.Â
"Alika, anak ibu yang solehah. Mukenanya sudah selesai, moga kamu suka. Ibu jahit dari tangan sendiri, kamu harus pakai untuk salat," pinta Ibu Julaeha lirih. Sesekali ia menarik napas menahan rasa sakit.Â
Siang malam Ibu Julaeha begadang demi mencipta pelangi di lengkung bibir Alika yang mungil. Alika ingin sekali dibuatkan mukena baru motif mawar biru sebagai kado ulang tahunnya yang jatuh pada bulan Desember tahun lalu. Padahal Alika sudah mengingatkan ibu untuk tidak memaksakan diri melanjutkannya jahitan jika tidak sanggup. Karena ia tahu kondisi ibunya tidak sebaik dulu saat sehat.Â
"Bu, maafkan Alika, ya. Sudah membuat ibu repot. Alika menyesal," keluh Alika dengan raut muka sedih sambil memijat kaki Bu Julaeha yang sejak tadi diluruskan.Â
"Tidak apa-apa, Alika. Ibu senang melakukan ini. Lagi pula mukena yang sering kamu pakai salat sudah lusuh sekali. Mumpung ibu masih bisa membuatnya. Insyaa Allah  Ramadan tahun ini sudah bisa kamu pakai untuk salat tarawih," terang Bu Julaeha.Â
Semenjak Pak Faisal meninggal 3 tahun lalu, kehidupan Bu Julaeha dan Alika berubah drastis. Tidak ada lagi yang menafkahi keduanya. Bu Julaeha tak ingin meminta belas kasihan orang lain. Ia berusaha bekerja walau kondisinya sering sakit-sakitan. Meski ada beberapa tetangga yang begitu peduli pada mereka, sesekali memberi bantuan.
Bu Julaeha kadang menjadi kuli cuci meski gajinya tidak sesuai harapan, yang penting bisa menyambung hidup. Bahkan Alika gadis remaja yang harusnya menikmati masa-masa indah bersama teman-temannya harus rela berjualan kue di pasar. Alika lebih memilih memilih tidak melanjutkan sekolah. Â
Malam itu menjadi malam terakhir Alika  melihat wajah ibunya, siapa yang mengira ajal datang tiba-tiba, apalagi melihat kondisi Ibu Julaeha sudah lebih baikan menurut Alika malam itu. Tapi ternyata kondisinya makin parah. Ibu Julaeha mengalami masuk angin duduk hingga lari ke area jantung. Alika berusaha meminta bantuan ke tetangga, namun nyawa ibunya tak dapat diselamatkan.Â
***
Alika melangkahkan kaki ke masjid yang hanya berjarak 50 meter dari rumahnya, untuk melaksanakan salat tarawih. Ia memakai mukena baru yang dijahit  mendiang Ibu Julaeha.Â
Nampak bahagia sekaligus sedih setiap kali memandangi mukena yang dipakainya, seakan jejak-jejak tangan lembut dan aroma khas ibunya masih lekat menempel. Alika langsung membayangkan wajah ibunya yang terlihat penuh keikhlasan. Namun Alika percaya ia sudah jauh lebih bahagia berkumpul bersama ayahnya.Â
Di tengah jalan Alika bertemu dengan Pak Ustaz Hildan. Ia teman baik Alm. Pak Faisal, ayah Alika semasa hidup. Selama ini Ustaz Hildan orang yang begitu peduli dengan Alika dan ibunya.
Ustaz Hildan menawarkan Alika untuk mondok di pesantren NURUL IMAN Â miliknya. Ustaz Hildan khawatir dengan kondisi Alika jika sendirian di rumah.Â
"Masya Allah, terima kasih Ustaz Hildan. Berkah Ramadan Allah memberikan kabar baik. Saya sedang tidak bermimpi, kan?" tanya Alika masih tak percaya.Â
"Tidak, Alika. Sebenarnya ini amanah dari ayahmu. Ia pernah berpesan, jika telah tiada, minta tolong titip Alika. Keinginan terbesarnya adalah kamu bisa menjadi seorang hafizah," terang Ustaz Hildan.Â
Alika menangis mendengar penuturan Ustaz Hildan. Ia berjanji akan memenuhi keinginan ayahnya. Belajar sungguh-sungguh menjadi penghapal Alquran. Berharap kelak Alika bisa memakaikan mahkota untuk ayah dan ibunya di surga. Aamin
Bekasi, 27 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H