Mohon tunggu...
Tamariah Zahirah
Tamariah Zahirah Mohon Tunggu... Penulis - Guru di SMPN 3 Tambun Utara

Menulis salah satu cara menyalurkan hobi terutama dalam genre puisi dan cerpen. Motto : Teruslah menulis sampai kamu benar-benar paham apa yang kamu tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Guru di Rumah

28 November 2022   01:11 Diperbarui: 28 November 2022   01:12 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MEMBANGUN AKHLAK DENGAN PRESTASI 

Karya : Zahirah Zahra

Jumlah Kata : 2390 kata

"Baiklah ... Saatnya di penghujung acara cerdas cermat. Kami akan mengumumkan siapa saja yang berhak membawa piala kemenangan," ucap panitia sekaligus pembawa acara perlombaan dengan lantang. Disambut tepuk tangan meriah dan euforia kebahagiaan para peserta dan supporter.  

"Pemenangnya adalah ... juara pertama diraih oleh Rizki Ananda dari SDIT AL-FIDA. Juara kedua oleh Nazwa Qoirrun Nisa dari SD BUDI LUHUR dan juara ketiga diraih oleh Fathin dari SDIT NURUL ILMI. Silakan naik ke panggung kehormatan, untuk menerima penghargaan," seru pembawa acara, disambut oleh teriakan histeris pendukung mereka.  

Haru bercampur bahagia, di antara mereka menyaksikan moment itu, dengan bangga mampu membawa nama baik sekolah. Namun ada juga yang bersedih, karena pulang membawa kekecewaan. Menangis dan berpelukan saling memberi kekuatan. 

"Semangat ... Fawaz. Kamu jangan menyerah. Ini adalah sebuah perlombaan, kalah menang sudah biasa. Kamu harus kuat," ucap Bu Salma, selaku guru dan wali kelas Fawaz. 

"Insyaallah, Bu," ucap Fawaz sambil menahan air mata, tak ingin terlihat cengeng di hadapan gurunya. Bu Salma, dengan setia mendampingi Fawaz dari awal hingga akhir perlombaan. 

"Maafkan Fawaz, Bu. Belum bisa membawa harum nama sekolah. Mungkin Fawaz harus lebih tekun belajar lagi," ucap Fawaz penuh sesal, ia mencoba menepis rasa itu tatkala ingat kata-kata Bu Salma sebelumnya. 

"Tidak apa-apa, Fawaz. Kamu itu luar biasa, kamu hebat. Hanya saja keberuntungan belum berpihak."

Kata-kata Bu Salma sedikit membawa angin segar dan semangat ketika Fawaz merasa terpuruk. Seketika terbesit dalam ingatan, sosok perempuan yang selama ini dirindukannya dalam segala hal. 

"Bunda, seandainya ada di sini. Mungkin Fawaz lebih kuat dan Fawaz bisa berada di atas panggung itu menerima piala kejuaraan. Fawaz rindu sosok bunda yang dulu," ucap batin Fawaz. 

Akhirnya ia tak mampu lagi membendung air matanya. Segala benteng pertahanan yang kokoh seketika telah roboh, hanya karena mengingat bundanya, yang kerap menciptakan kerinduan. Rindu ada di dekatnya ketika ia butuhkan. 

"Ah, bunda terlalu sibuk. Mana mungkin memikirkan aku? Apalagi ada bersamaku saat ini," sesal Fawaz. 

***

"Bun ... kapan kita jalan-jalan seperti dulu lagi? Fawaz butuh hiburan, suntuk di rumah terus, nih," celetuk Fawaz. 

Deggg....

Seketika kata-kata itu bagai belati, menusuk jantung Rini seorang ibu muda yang bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan asing. Kesibukannya yang padat, sering sekali tak bisa menyempatkan diri untuk sekadar bersantai bersama keluarga. Kata-kata Fawaz tidak serta merta membuatnya mati, namun hatinya teramat nyeri ketika terlontar dari lisan Fawaz, buah hatinya yang polos. Usianya baru beranjak sembilan tahun. Tapi kadang ucapannya mampu membuat Rini terperangah. 

Sebuah fakta yang harus Rini terima, meski menyisakan pahit. Rini menatap lekat wajah teduh yang kerap menghapus lelah dan gundahnya selama ini. Ia menyusuri sepenggal harap, yang tersimpan di lubuk jiwanya, meski yang terucap hanyalah aksara tak terbaca bagi Fawaz. 

"Sayang, Bunda lagi cari uang untuk jajan kamu dan kakak Sahnaz. Nanti kalau bunda tidak kerja, siapa yang kasih makan kalian?"ucap Rini pelan, berharap Fawaz mengerti. 

"Ahh ... Bunda! Urusin kerjaan terus, anak sendiri terabaikan," ucap Fawaz tanpa basa-basi. 

Betapa kagetnya Rini mendengar ucapan monohok itu. Rini berpikir Fawaz akan mengerti, ketika ia berkata jujur. Entah kenapa akhir-akhir ini Fawas sering melontarkan kata-kata pedas. Apa mungkin itu adalah bentuk sebuah kritikan untuknya? Namun Fawas belum mengerti bagaimana seharusnya berucap yang baik. 

"Fawaz, kenapa kamu bicara seperti itu, Sayang? Dulu kamu tidak seperti ini," ucap Rini dengan mata berkaca-kaca.  

Fawaz berlari kecil, menuju pintu gerbang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hari sudah memasuki sore. Kebiasaan Fawaz bermain bersama teman-temannya, saat petang tiba. 

"Tak biasanya Fawaz tanpa izin keluar rumah. Kenapa dia berubah sekarang?" tanya batin Rini.

Bertahun-tahun Rini bekerja membanting tulang menghidupi kedua anaknya, Fawaz dan Sahnaz yang masih duduk di bangku sekolah. Dari yang dahulu hanya sebagai karyawan biasa, kini perusahaan telah mempercayakannya sebagai kepala bagian, karena ketekunannya dalam bekerja. Tapi ia harus dituntut untuk bisa profesional di tengah keluarga yang masih butuh perhatiannya. Tidak mudah menjadi single parent, harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Jika ditanya mana yang lebih prioritas? Jawabannya adalah sama, hingga Rini kerap dilema mana yang pantas didahulukan.

Sejak kepergian suaminya beberapa tahun lalu, karena mengalami sakit keras. Itu hal terpahit yang Rini alami sepanjang hidup. Hampir saja Rini terpuruk, dan ingin rasanya menyerah. Namun Rini menyadari masih ada amanah tertinggal, apa pun keadaannya Rini harus kuat demi mereka, buah hati yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya. Senyum mereka yang mampu membangkitkan dirinya dari rasa ketakutan. 

****

Dalam kesendirian malam, Rini bersimpuh memohon kekuatan. Biarlah tak perlu ada yang tahu seberapa banyak air mata tertumpah, cukup Allah tempat berkeluh-kesah. Rini percaya Allah bersamanya. Perlahan membuka lembaran kitab suci yang terlihat lusuh, karena jarang tersentuh. Ah, mungkin kesibukan tak sebanding dengan kesungguhan Rini pada-Nya. Rini lena mengejar dunia, hanya untuk sebuah kesenangan. Namun melupa ada hal yang lebih berharga yaitu menggapai rida-Nya. 

"Ya Allah ... berikanlah petunjuk untukku. Aku gamang menentukan sikap. Apakah harus keluar dari pekerjaan, demi anak-anakku? Aku ingin mendidik mereka menjadi anak-anak yang saleh dan salehah. Sesuai keinginan almarhum suamiku," ucap Rini lirih di tengah perbincangan dengan Tuhan. 

Air mata mengalir deras, membasahi sebentang sajadah panjang, dalam penghambaan diri yang paling sunyi. 

***

Semenjak kekalahannya dalam ajang cerdas cermat tingkat kecamatan, Fawas terlihat murung dan semangat belajarnya mulai menurun. Ternyata kejadian itu membuat Fawaz down. Rini, ibunya, mulai menyadari perubahan yang ada pada Fawaz. Sesekali dia menengok kamar Fawaz, terlihat murung dan kerap bermain game online untuk mengusir rasa kekecewaan. Padahal sebelumnya Fawaz tidak seperti itu. Ada raut sedih dan sesal membingkai di wajah cantiknya. Ibu muda yang selalu terlihat tegar dan bersemangat bekerja demi dua buah hatinya, Fawaz dan Sahnaz. 

Rini mencoba mendekati Sahnaz yang duduk beralaskan permadani berwarna biru dengan motif bunga-bunga. Sahnaz asyik menonton televisi kesukaannya drama korea, sambil memegang cemilan ringan untuk mengganjal perutnya. Perlahan-lahan ia memasukkannya ke dalam mulut, hingga tak menyadari toples berisi cemilan hampir kosong. Sejak tadi Rini mengamati dari kursi ruang tamu, di mana ia duduk dan kerap menyandarkan lelahnya selepas pulang bekerja. 

"Sahnaz ... " suara lirih Rini tak membuyarkan konsentrasi Sahnaz. Hingga mengulang panggilan beberapa kali.

"Sahnaz ...." ucap Rini, terpaksa harus menepuk bahu Sahnaz. 

"Eh ... iya, Bunda," jawab Sahnaz kaget, baru menyadari ada bundanya menghampiri. 

"Hmmm ... asyik benar kamu, Sayang. Sampai tidak menyadari keberadaan bunda," canda Rini. 

"Iya, Maaf. Ada apa, Bunda?" tanya Sahnaz.

"Kamu tahu tidak, apa yang terjadi pada Fawaz? Akhir-akhir ini tampak murung."

"Ouh iya. Fawaz pernah bercerita dua Minggu lalu habis mengikuti lomba cerdas cermat, tapi dia belum cerita apakah dia menang atau tidak? Coba tanya wali kelasnya, soalnya yang mengantar wali kelasnya, Bun," jawab Sahnaz. 

Setelah mendengar cerita dari Sahnaz, beberapa hari kemudian Rini menemui Bu Salma di sela senggang pekerjaannya. Ia baru tahu kabar kekecewaan Fawaz atas kegagalannya menang di lomba cerdas cermat itu. Rini merasa bersalah karena tidak bisa hadir memberi semangat, bahkan ia tak tahu kalau Fawaz mengikuti lomba itu. Rini mencoba menahan air mata di hadapan Bu Salma. Tidak ingin terlihat lemah, meski sejujurnya hati ibu mana yang tega melihat anaknya terpuruk. 

***

Akhirnya, Rini memantapkan niat untuk mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya. Setelah melakukan sharing kepada atasan dan juga mencoba salat istikarah, meminta petunjuk Allah. Mungkin ini terlalu konyol. Kenapa? Karena dengan mudahnya Rini melepaskan apa yang sudah dalam genggaman. Padahal banyak yang memimpikan posisi ini di luar sana. Semoga keputusan ini yang terbaik. 

Kini, hari-hari yang Rini lalui hanya mengabdikan diri sepenuhnya untuk keluarga. Rini percaya setiap tetes peluh menuai berkah. Karena di sini banyak ladang pahala yang mampu ia bawa sebagai bekal hidup. Jenuh? Tentu tidak. Rini berusaha untuk menjadi penerang dalam kegelapan, ketika anak-anaknya butuh tuntunan. 

Harapan terbesar Rini mungkin sama dengan orang tua lainnya. Ingin melihat mereka bahagia dunia akhirat. Mereka adalah investasi akhirat yang membawa orang tua menuju rumah keabadian surga. Apalagi setelah itu, Rini kembali melihat keceriaan pada wajah polos keduanya. Kehidupan mereka sudah mulai terarah menjadi lebih baik, dan lebih disiplin waktu. Meski pun Rini harus berjuang keras, membangun dari nol. 

Dengan berbekal ilmu yang Rini dapat dari beberapa majlis. Berusaha mempraktikan setiap materi yang didapat. Bagaimana cara mendidik anak di rumah? Bagaimana cara menjadi ibu yang baik? Bahkan Rini kerap mengikuti berbagai seminar online Parenting, mengenalkan cara mendidik anak dan memberi renungan bagi orang tua. Setiap anak memiliki keistimewaan masing-masing, jangan samakan anak yang satu dengan anak yang lainnya. Oleh sebab itu sebagai orang tua seharusnya mampu mengenali karakter anaknya dan terus bersabar mendidik ke arah yang lebih baik. Karena anak itu ibarat kertas polos yang putih, tergantung kita ingin mewarnainya dengan apa. 

"Fawas ... Sahnaz, ayo bangun, Sayang!" ucap Rini lirih. Sibuk membangunkan kedua anaknya, sebelum masuk waktu Subuh. Rini mengetuk perlahan pintu kamar mereka yang saling berdekatan. Berharap ada respon yang cepat.  

Tok ... tok ... tok....

"Iyaa, Bunda," ucap Fawaz. Mereka telah berdiri di ambang pintu kamar, sambil mengucek mata yang masih berat untuk dibuka. 

"Salat Subuh, Sayang. Fawas dan Sahnaz tidak boleh malas ya? Salat sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang muslim," ucap Rini tegas dan mencoba menyelipkan pesan positif. 

"Baik, Bunda," ucap keduanya serempak. 

"Fawaz ... jangan lupa kamu salat berjamaah di masjid ya. Sementara bunda dan kakak Sahnaz tetap di rumah," pesan bunda yang kesekian kalinya. 

"Kenapa harus salat di masjid, Bunda?" tanya Fawaz polos. 

"Karena salat di masjid itu wajib untuk laki-laki yang sudah baliq dan berakal. Pahalanya lebih banyak dibandingkan di rumah. Bayangkan saja jika kamu melakukan di rumah hanya 1 derajat sedangkan di masjid 27 derajat.

"Terus kita di rumah, berarti hanya dapat 1 derajat donk. Yah, gak adil donk!" ucap Sahnaz mendadak sedih. 

"Hussttt ... Sahnaz. Istighfar sayang. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Itu sudah menjadi ketetapan Allah. Tapi kamu gak boleh sedih. Ada pahala terbaik untuk wanita-wanita yang salat di rumah. Itu sebanding dengan lelaki yang salat di masjid. Bunda akan ceritakan satu kisah di zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam," ucap Rini. 

"Dahulu ... ada istri dari Abu Humaid As-Sa'idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa salam, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali salat berjamaah bersamamu." Beliau lantas menjawab,

"Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi)."

"Ouh begitu, Bun. Aku baru paham. Terima kasih penjelasannya," ucap Sahnaz. 

"Itulah gunanya kita belajar dan saling mengingatkan, Sayang."

"Tapi ... aku kan masih kecil, Bunda. Belum wajib salat di masjid, kan?" Fawaz terus bertanya. 

"Iya. Tapi itu untuk melatih dan membiasakan kamu, kalau tidak dari sekarang, kapan lagi? Lagi pula ada hadist Rasulullah yang mengatakan, bahwa anak tujuh tahun sudah harus dilatih untuk salat. Seperti ini bunyi hadist yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari datuknya berkata : Rasulullah SAW, bersabda : " Suruhlah anak-anak kecil kamu melakukan sembahyang pada ( usia ) tujuh tahun, dan pukullah mereka ( bila lalai ) atasnya pada ( usia ) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur ".

Semoga kalian mengerti ya, sayang."

"Terima kasih, Bunda. Insyaallah kami mengerti," ucap Fawaz dan Sahnaz serempak. 

"Ouh iya, satu lagi. Jangan lupa laksanakan salat dua rakaat sebelum subuh. Karena banyak sekali keutamaan salat qobliyah subuh, salah satunya lebih baik dari dunia dan isinya. Sungguhlah merugi jika kita melewati waktu-waktu itu." 

Fawas dan Sahnaz tertunduk diam, masih mendengarkan dengan setia nasihat bundanya. Dan mereka pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badan, bersiap-siap melaksanakan salat Subuh. 

***

"Anak-anak Bunda sini, Sayang!" seru Rini dari beranda rumahnya seusai menjalankan salat Maghrib. Kedua anaknya perlahan menghampiri. 

"Ayo kita, mengaji bersama. Dulu itu menjadi kebiasaan ayah kalian, semasa hidupnya. Setiap salat Magrib pasti kita dikumpulkan di beranda ini. Ayo kita hidupkan kembali!" Rini memberi semangat untuk anak-anaknya. Keduanya pun sudah siap memegang Al-Qur'an di tangan dan mulai membaca perlahan-lahan. 

Suara syahdu lantunan ayat suci menggema di rumah penuh kebahagiaan itu, menyejukkan hati setiap yang mendengarnya. Ada makna tersirat di setiap ayat yang tertulis. Hanya orang-orang yang memiliki keikhlasan hati dan keimanan yang kuat, mampu memaknainya lebih dalam, sehingga bergetar setiap kali disebut nama-Nya. 

Suara Fawaz dan Sahnaz terdengar begitu merdu, dan bacaannya sudah terlihat rapi. Mungkin karena di sekolahnya lebih dominan mengajarkan Tahfiz dan baca tulis Al-Qur'an. Tidak sia-sia Rini memasukkan kedua anaknya di sekolah yang mengutamakan pendidikan akhlak dan agama. 

***

MasyaAllah sungguh indah pelajaran yang diberikan oleh Rini kepada anak-anaknya. Setiap tingkah laku dan ucapan mereka selalu diiringi dengan nasehat yang baik, serta mengacu kepada dalil religi. Semua berkat kerja kerasnya menimba ilmu di mana saja. Kesungguhannya ingin menjadi orang tua yang salehah begitu terlihat. Apalagi kini ia sudah mantap memakai hijab syar'i dan menanggalkan kesibukan duniawi yang selama ini kerap melalaikannya. 

Pilihan hidup yang Rini ambil ternyata telah menuntunnya ke jalan yang Allah ridai. Secara tidak langsung memberikan kedamaian di hatinya. Rini tak lagi berpikir bagaimana masa depannya dan anak-anaknya? Alhamdulillah Allah memberikan jalan di setiap kesulitan yang ia hadapi. Hingga sampai detik ini Rini masih bisa menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Usaha mandiri yang dirintisnya selepas keluar dari perusahaan, berbekal uang pesangon yang didapatkannya berjalan lancar. Rini sekarang lebih banyak waktu untuk keluarganya. Anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang percaya diri dan memiliki akhlak yang baik, karena selalu ada bunda yang hebat di sampingnya. 

Satu tahun kemudian ....

"Selamat, ya Fawaz. Kamu berhasil meraih juara pertama lomba MTQ se-provinsi. Prestasi yang luar biasa, kamu telah membawa harum nama sekolah SDIT MENARA KUWAIT dan provinsi Jawa Barat," ucap Kepala Sekolah Bapak Deni Wahyudin, S.Sos.I

Fawaz hanya mengangguk, sembari tersenyum puas. Sesekali ia menatap ke arah bundanya yang duduk di depan panggung dengan mata berkaca-kaca. Kebahagiaan yang tak ternilai dengan apa pun, melihat Fawaz berhasil meraih juara pertama. Prestasi yang selama ini Fawaz mimpikan, kini telah menjadi kenyataan. Berkat kegigihannya belajar dan mendapat bimbingan dari bundanya. Belum lagi seminggu lalu Sahnaz mendapat prestasi lulusan terbaik tahun ini, di SMP Islam AL-AZHAR tempatnya 3 tahun menimba ilmu. 

MasyaAllah Tabarakallahu...

"Lihatlah, Ayah! Anak-anak kita telah berhasil membuatmu bangga. Semoga kamu mendapatkan kenikmatan yang tak terbatas di surga-Nya, karena meninggalkan anak-anak yang saleh dan salehah," ucap Rini pelan sambil menahan air mata kebahagiaan, sebelum naik ke panggung, karena diminta panitia untuk mendampingi Fawaz. 

*TAMAT*

Bekasi, 03 September 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun