"Bunda, seandainya ada di sini. Mungkin Fawaz lebih kuat dan Fawaz bisa berada di atas panggung itu menerima piala kejuaraan. Fawaz rindu sosok bunda yang dulu," ucap batin Fawaz.Â
Akhirnya ia tak mampu lagi membendung air matanya. Segala benteng pertahanan yang kokoh seketika telah roboh, hanya karena mengingat bundanya, yang kerap menciptakan kerinduan. Rindu ada di dekatnya ketika ia butuhkan.Â
"Ah, bunda terlalu sibuk. Mana mungkin memikirkan aku? Apalagi ada bersamaku saat ini," sesal Fawaz.Â
***
"Bun ... kapan kita jalan-jalan seperti dulu lagi? Fawaz butuh hiburan, suntuk di rumah terus, nih," celetuk Fawaz.Â
Deggg....
Seketika kata-kata itu bagai belati, menusuk jantung Rini seorang ibu muda yang bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan asing. Kesibukannya yang padat, sering sekali tak bisa menyempatkan diri untuk sekadar bersantai bersama keluarga. Kata-kata Fawaz tidak serta merta membuatnya mati, namun hatinya teramat nyeri ketika terlontar dari lisan Fawaz, buah hatinya yang polos. Usianya baru beranjak sembilan tahun. Tapi kadang ucapannya mampu membuat Rini terperangah.Â
Sebuah fakta yang harus Rini terima, meski menyisakan pahit. Rini menatap lekat wajah teduh yang kerap menghapus lelah dan gundahnya selama ini. Ia menyusuri sepenggal harap, yang tersimpan di lubuk jiwanya, meski yang terucap hanyalah aksara tak terbaca bagi Fawaz.Â
"Sayang, Bunda lagi cari uang untuk jajan kamu dan kakak Sahnaz. Nanti kalau bunda tidak kerja, siapa yang kasih makan kalian?"ucap Rini pelan, berharap Fawaz mengerti.Â
"Ahh ... Bunda! Urusin kerjaan terus, anak sendiri terabaikan," ucap Fawaz tanpa basa-basi.Â
Betapa kagetnya Rini mendengar ucapan monohok itu. Rini berpikir Fawaz akan mengerti, ketika ia berkata jujur. Entah kenapa akhir-akhir ini Fawas sering melontarkan kata-kata pedas. Apa mungkin itu adalah bentuk sebuah kritikan untuknya? Namun Fawas belum mengerti bagaimana seharusnya berucap yang baik.Â