Mohon tunggu...
Tamariah Zahirah
Tamariah Zahirah Mohon Tunggu... Penulis - Guru di SMPN 3 Tambun Utara

Menulis salah satu cara menyalurkan hobi terutama dalam genre puisi dan cerpen. Motto : Teruslah menulis sampai kamu benar-benar paham apa yang kamu tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Guru di Rumah

28 November 2022   01:11 Diperbarui: 28 November 2022   01:12 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Fawaz, kenapa kamu bicara seperti itu, Sayang? Dulu kamu tidak seperti ini," ucap Rini dengan mata berkaca-kaca.  

Fawaz berlari kecil, menuju pintu gerbang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hari sudah memasuki sore. Kebiasaan Fawaz bermain bersama teman-temannya, saat petang tiba. 

"Tak biasanya Fawaz tanpa izin keluar rumah. Kenapa dia berubah sekarang?" tanya batin Rini.

Bertahun-tahun Rini bekerja membanting tulang menghidupi kedua anaknya, Fawaz dan Sahnaz yang masih duduk di bangku sekolah. Dari yang dahulu hanya sebagai karyawan biasa, kini perusahaan telah mempercayakannya sebagai kepala bagian, karena ketekunannya dalam bekerja. Tapi ia harus dituntut untuk bisa profesional di tengah keluarga yang masih butuh perhatiannya. Tidak mudah menjadi single parent, harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Jika ditanya mana yang lebih prioritas? Jawabannya adalah sama, hingga Rini kerap dilema mana yang pantas didahulukan.

Sejak kepergian suaminya beberapa tahun lalu, karena mengalami sakit keras. Itu hal terpahit yang Rini alami sepanjang hidup. Hampir saja Rini terpuruk, dan ingin rasanya menyerah. Namun Rini menyadari masih ada amanah tertinggal, apa pun keadaannya Rini harus kuat demi mereka, buah hati yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya. Senyum mereka yang mampu membangkitkan dirinya dari rasa ketakutan. 

****

Dalam kesendirian malam, Rini bersimpuh memohon kekuatan. Biarlah tak perlu ada yang tahu seberapa banyak air mata tertumpah, cukup Allah tempat berkeluh-kesah. Rini percaya Allah bersamanya. Perlahan membuka lembaran kitab suci yang terlihat lusuh, karena jarang tersentuh. Ah, mungkin kesibukan tak sebanding dengan kesungguhan Rini pada-Nya. Rini lena mengejar dunia, hanya untuk sebuah kesenangan. Namun melupa ada hal yang lebih berharga yaitu menggapai rida-Nya. 

"Ya Allah ... berikanlah petunjuk untukku. Aku gamang menentukan sikap. Apakah harus keluar dari pekerjaan, demi anak-anakku? Aku ingin mendidik mereka menjadi anak-anak yang saleh dan salehah. Sesuai keinginan almarhum suamiku," ucap Rini lirih di tengah perbincangan dengan Tuhan. 

Air mata mengalir deras, membasahi sebentang sajadah panjang, dalam penghambaan diri yang paling sunyi. 

***

Semenjak kekalahannya dalam ajang cerdas cermat tingkat kecamatan, Fawas terlihat murung dan semangat belajarnya mulai menurun. Ternyata kejadian itu membuat Fawaz down. Rini, ibunya, mulai menyadari perubahan yang ada pada Fawaz. Sesekali dia menengok kamar Fawaz, terlihat murung dan kerap bermain game online untuk mengusir rasa kekecewaan. Padahal sebelumnya Fawaz tidak seperti itu. Ada raut sedih dan sesal membingkai di wajah cantiknya. Ibu muda yang selalu terlihat tegar dan bersemangat bekerja demi dua buah hatinya, Fawaz dan Sahnaz. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun