Mohon tunggu...
Tamariah Zahirah
Tamariah Zahirah Mohon Tunggu... Penulis - Guru di SMPN 3 Tambun Utara

Menulis salah satu cara menyalurkan hobi terutama dalam genre puisi dan cerpen. Motto : Teruslah menulis sampai kamu benar-benar paham apa yang kamu tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putri Tidur

19 September 2022   20:34 Diperbarui: 19 September 2022   20:40 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema : Putri Tidur 

Judul : SENTUHAN KASIH UNTUK YANG TERSISIH

Karya : Tamariah Zahirah 

Genre : Cerpen 

Jumkat : 1447 Kata 

Suara denting Bel sekolah berbunyi. Pertanda pembelajaran jam pertama segera dimulai. Bu Zahra memasuki ruang kelas IX.3. Wajahnya tampak cerah semringah, mengalahkan mentari pagi yang masih malu-malu menampakkan senyumnya. Sigap berdiri di depan kelas, tak pernah bosan menebar senyum kepada semua murid yang hadir. Lalu mempersilahkan ketua kelas memimpin doa untuk memulai pembelajaran. 

Ibu Zahra duduk di kursinya, sambil mengecek kehadiran siswa dan mengisi agenda kegiatan guru. Dalam satu pekan, dua kali Bu Zahra berkesempatan tatap muka di kelas IX.3. Bukan perkara lelah baginya, karena itu sudah menjadi komitmen dan kewajibannya mendidik anak-anak Bangsa. 

Bu Zahra dikenal guru yang ramah. Hampir jarang sekali marah saat di kelas, kecuali murid-muridnya sudah melampaui batas. Sikap ramah inilah yang membuat mereka merasa nyaman untuk berbagi cerita. Celoteh polos dan riang mereka menjadi hiburan tersendiri bagi Bu Zahra di kala lelah. 

"Assalamu'alaikum ... apa kabar semuanya hari ini?" tanya Bu Zahra sambil mempersiapkan materi ajar. Sesekali matanya tertuju ke arah murid-murid untuk memastikan kesiapan mereka menerima pembelajaran. 

"Wa'alaikum salam ... alhamdulillah baik, Bu," ucap semua murid serempak. 

"Siapa yang tidak hadir hari ini?" 

"Nania, Ibu," jawab Fitrah datar, sedatar wajahnya yang tanpa ekspresi. Hanya sorot mata yang tajam, tak henti memperhatikan gerak-gerik Bu Zahra. 

"Nania lagi ... Nania lagi. KBM sudah berjalan hampir dua bulan di kelas IX semester 2 ini. Nania hanya beberapa kali mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Itu pun selalu tidur di jam pelajaran ibu. Duhhh Gusti." Bu Zahra terlihat bingung. Apa sebenarnya yang menyebabkan Nania sering tertidur di kelas? Tidak ada satu pun murid yang tahu. 

"Hallo ... kenapa semua diam?" sapa  Bu Zahra, membuyarkan seisi kelas yang sedari tadi senyap bagaikan kuburan. Mungkin masih pagi, jiwa mereka belum menyatu dengan raganya. Atau mungkin tertinggal di rumah,  bentar lagi on the way menyusul ke sekolah. (Hehe, gaje) 

Perlahan Bu Zahra bangkit dari tempat duduknya. 

"Wali kelas kalian, Bu Nisa sudah tahu masalah Nania?" tanya Bu Zahra lagi. 

"Sudah, Bu," jawab Astuti, sekretaris kelas yang wajahnya manis semanis gula jawa. 

"Tanggapan wali kelas bagaimana, As?"

"Kemarin, Bu Nisa sudah mendatangi rumah Nania. Tapi rumahnya tampak sepi. Menurut warga setempat Nania ada di dalam, namun tertidur pulas.  Setelah itu saya tidak tahu informasi selanjutnya," ucap Astuti. 

"Oh begitu. Ok ... kita lanjutkan pembelajaran hari ini saja, ya! Silakan kalian buka buku paket Bahasa Indonesia halaman 45. Kalian pelajari terlebih dahulu, jika ada hal yang tidak mengerti boleh dicatat. Pertanyaan itu akan kita jadikan bahan diskusi hari ini," terang Bu Zahra. 

Tiba-tiba terdengar suara bernada pelan. Mengucapkan salam dari arah pintu kelas yang memang dibiarkan selalu terbuka. 

"Assalamu'alaikum...." ucap gadis manis, yang tak lain adalah Nania. Kedatangannya memang ditunggu Bu Zahra sejak tadi. 

"Wa'alaikum salam ...." ucap semua murid serempak, tak terkecuali Bu Zahra. 

"Silakan masuk, Na!" perintah Bu Zahra. 

"Terima kasih, Ibu. Maaf, saya terlambat. Soalnya...." Nania tidak melanjutkan kata-katanya. Ekspresi wajahnya mendadak berubah murung. 

"Yasudah ... kamu duduk dulu, ya! Nanti kalau sudah tenang, kamu boleh bercerita pada ibu," perintah Bu Zahra dengan lembut, memberikan sedikit ketenangan kepada Nania. 

Nania bergegas menuju kursi yang masih kosong. Seperti biasa Nania duduk di baris paling belakang. Lalu Nania bergabung dalam diskusi kelompok.  Baru beberapa menit diskusi berjalan. Tiba-tiba anak-anak dikejutkan oleh dengkuran Nania yang keras.

Grookkkk ... grookkkk. 

Semua mata tertuju pada Nania, yang sedang tertidur pulas. Melipat tangan di atas meja sebagai bantalan kepalanya. 

"Waduh enak benar ya, si Nania. Kita sedang diskusi dia malah tertidur. Dikira lagi ngedongeng kali ya." celoteh Elang Musafir, ketua kelompok yang bertanggung jawab jalannya diskusi. 

"Namanya juga Putri Tidur alias pelor," ucap Edap bernada nyinyir.

"Pelor? Apa itu?" tanya Sari Ayu polos. 

"Nempel Molor." 

Semua tertawa mendengar celoteh Edap. Tiba-tiba pikiran jailnya muncul. Edap merogoh handphone yang tersimpan dalam tasnya. 

Cepret ... cepret....

Dua kali terdengar suara saat mengambil gambar dari kamera. Selang beberapa detik sudah tersimpan dalam galeri, dua foto Nania yang sedang tertidur pulas. Sementara yang lain sedang asyik menyelesaikan tugas diskusinya. 

"Lumayan, buat kenang-kenangan. Siapa tahu nanti ada yang kangen masa-masa kek gini," celetuk Edap tanpa beban. 

Bu Zahra yang mendengar ada suara gaduh di belakang, seketika menghampiri. 

"Ada masalah apa, Elang? Bagaimana sudah selesai diskusinya?"

"Belum, Bu. Kami sedang mencatat kesimpulan akhir diskusi," ucap Elang, sambil melirik ke arah Nania. 

"Hei ... banguunnn! Ada Bu Zahra." Elang yang persis duduk di sebelah Nania, terpaksa harus menginjak kaki Nania keras-keras untuk membangunkannya, agar tak ada kecurigaan Bu Zahra. 

"Aww ... " Nania kaget. Bu Zahra sudah berdiri di sampingnya. 

"Ada apa, Na?" 

"Tidak a ... pa-apa, Bu. Hanya tadi seperti ada bu_aya yang menginjak kaki saya," jawab Nania gugup. 

"Kamu tidur lagi di kelas, Na? Di sini mana ada bu_aya. Jangan-jangan kamu bermimpi," tampik Bu Zahra. 

"Benar, Bu. Saya tidak bercanda. Tadi ada bu_aya darat yang menginjak kaki saya," ucap Nania sambil cemberut. 

"Ada-ada saja kamu, Na. Yasudah lanjutkan diskusi kalian." Bu Zahra  berbalik badan, untuk mengecek kegiatan diskusi kelompok lain. 

Elang pura-pura masih sibuk menulis resume hasil diskusi kelompok. Nyatanya semua tugas sudah rampung. Sesekali dia melirik wajah jutek Nania, sambil mengejek dengan ekspresi muka jelek. 

"Awas kamu, El!" Ancam Nania. 

***

Pulang sekolah Nania dipanggil Bu Zahra untuk menghadap. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Bu Zahra, terkait jarang sekali Nania hadir saat jam pelajaran Bahasa Indonesia. Sebagai guru mata pelajaran, Bu Zahra perlu mengetahui alasannya langsung dari mulut Nania sebelum semua terlambat. Tentunya persentasi kehadiran sangat mempengaruhi kelulusan. 

"Bu Zahra, memanggil saya?" tanya Nania. Wajahnya terlihat lelah dan suntuk. Dalam kecamuk, sebuah kasur dan bantal empuk membayang di pelupuk. Sesekali mulutnya spontan menguap, efek rasa kantuk yang teramat. 

"Duduk, Na!" perintah Bu Zahra.

Nania duduk di depan Bu Zahra yang terlihat begitu tenang. Pandangan mata Bu Zahra begitu teduh. Menyiratkan kedamaian setiap kali Nania menatap balik dan enggan rasanya berpaling. Namun Nania sadar, siapa Nania. Hanya seorang murid yang banyak kekurangan, sering menciptakan keresahan di hati para guru. 

"Bu Zahra boleh tanya, Na?"

"Boleh, Bu."

"Kamu masih ingin sekolah di sini?" Pertanyaan Bu Zahra begitu menusuk hati Nania. Nadanya memang lembut, tetapi terdengar tendensius. 

"Masih, Ibu." jawab Nania singkat. 

"Mau berjanji demi ibu untuk datang sekolah lebih giat lagi?" tanya Bu Zahra bernada tegas. 

"Saya tidak bisa janji, Bu. Tapi akan berusaha lebih baik lagi," jawab Nania ragu. 

"Kenapa? Ibu yakin kamu bisa berubah. Seserius apakah masalahmu, Na? Sehingga kamu begitu pesimis," desak Bu Zahra, membuat Nania gugup. 

"Sudah hampir dua bulan, ibu saya sakit keras. Saat ini sedang menjalankan perawatan di rumah sakit. Namun belum ada perubahan apa pun. Tidak ada yang menjaga ibu, kecuali saya. Ayah sudah lama meninggal. Saya masih terlalu kecil untuk menanggung ujian seberat ini. Tuhan tidak adil!" umpatnya penuh emosi. Nania tak bisa lagi membendung air mata, terlalu dalam kesedihan yang dirasakannya. 

"Ya Rab, jadi seperti itu keadaannya." 

Bu Zahra sejenak terdiam sambil mengamati wajah polos gadis yang terkenal "tukang tidur" di kelasnya. Berpikir bagaimana Nania bisa menjalankan hari-hari dengan sabar, banyak yang belum tahu masalahnya. Mereka hanya berpikir buruk tentang Nania. Bahkan ia kerap tersisih. 

"Na, kamu tidak boleh seperti itu. Jika Allah memilihmu saat ini,  karena Allah tahu kamu kuat dan hebat. Jangan menyerah, Sayang. Demi ibumu," pesan Bu Zahra. Ada rinai membendung, menganak sungai di pelupuknya. Bu Zahra mencoba untuk tidak menumpahkannya di depan Nania. Bu Zahra tahu betul apa yang dirasakan Nania saat ini. 

"Maafkan saya, Bu Zahra. Seringkali tidak masuk sekolah, karena setiap malam harus menjaga, Ibu. Otomatis ketika pagi, saya dalam keadaan mengantuk berat. Kadang bablas tertidur sampai siang hari. Sore hingga pagi, saya harus ke rumah sakit menjaga ibu kembali. Jujur saya tidak pernah mengharapkan situasi seperti ini. Saya ingin seperti dulu, bisa sekolah dengan giat. Adakah solusi untuk masalah saya, Bu Zahra?" Nania  sesenggukan, sambil menundukkan wajahnya. 

Bu Zahra menghampiri Nania, lalu merenggangkan kedua tangan.  Memberikan kehangatan pada tubuh mungil Nania. Nania semakin nyaman bersandar di bahu Bu Zahra. Rasanya tak ingin melepas pelukannya. 

"Sabar ya, Na. Nanti ibu akan sampaikan masalahmu ke pihak sekolah. Semoga ada jalan keluar yang terbaik. Berdoa terus untuk kesembuhan ibumu. Semoga Allah memberikan mukjizat." 

"Aamiin ... terima kasih, Bu Zahra sudah mau mendengar keluh kesah saya." 

"Sama-sama, Nania." 

Bu Zahra menyodorkan sebuah kotak berisi nasi plus lauk-pauk kepada Nania. Ia tahu Nania pasti belum makan.

"Loh, apa ini, Bu?" Nania menolak, menepis dengan telapak tangannya.  

"Hanya nasi. Ini untuk kamu! Tadi ada guru yang syukuran ulang tahun. Kebetulan Bu Zahra sudah makan. Diterima, ya!" Bu Zahra membujuk Nania, dan meraih tangan mungil gadis itu untuk menerima pemberiannya. 

"Baik, Bu. Terima kasih sekali lagi. Saya pamit pulang.  Assalamualaikum," ucap Nania sambil menyalami tangan Bu Zahra. 

Bu Zahra mendoakan Nania pelan, di sela mengusap kepalanya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Perhatian dan ketulusan Bu Zahra sangat membekas di hati Nania. Sedikit banyak telah membuat Nania tersadar, bahwa ia tidak sendiri. 

TAMAT 

Bekasi, 19 September 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun