Karya: Tamariah ZahirahÂ
Lala sedang asyik membaca sebuah buku di perpustakaan. Banyak buku yang sudah dibacanya untuk bahan skripsi sebagai syarat kelulusan mendapat gelar Sarjana. Â
Seperti biasa Lala selalu menelpon kedua orang tuanya yang tinggal di desa. Meminta doa restu setiap melakukan apa pun. Karena bagi Lala restu orang tua sangat penting.Â
Namun, beberapa hari belakangan Lala sering lupa menelpon orang tuanya karena sibuk. Pernah sesekali ibunya menelpon balik. Lala hanya menjawab seperlunya, dan ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan.Â
"Pak, kenapa Lala sekarang berubah sikapnya?" tanya Bu Surti kepada suaminya dengan nada sedih.Â
"Mungkin Lala sibuk, Bu. Dia kan sedang mempersiapkan banyak hal terkait masa akhir perkuliahannya. Kita maklumi saja," jawab Pak Joko mencoba menenangkan Bu Surti.Â
"Tapi sebelumnya tidak seperti ini sikap Lala. Dia anak yang sangat berbakti sesibuk apa pun."
Bu Surti menyimpan kekecewaan, namun berusaha ditepisnya, karena Bu Surti takut akan mempersulit hidup Lala. Berusaha dengan ikhlas menyikapi perubahan Lala.Â
***
Sudah berbulan-bulan lamanya, Lala tak memberi kabar kepada orang tuanya. Keangkuhan mulai merajai hatinya, terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga tak membutuhkan bantuan dan doa dari siapa pun.Â
Hari ini sidang skripsi dimulai, dengan pedenya Lala memasuki ruang sidang ketika namanya dipanggil. Berpakaian seragam putih hitam dengan dilengkapi dasi kupu-kupu berwarna senada. Parasnya cantik, menambah pesona yang terpancar dari wajahnya.Â
Sudah ada di dalam sana, tiga orang Dosen duduk berjejer dengan tatapan yang tajam, seakan tak sabar memberondonginya berbagai pertanyaan yang sulit.Â
"Duhh, Gusti, kenapa jadi panas dingin begini? Yang aku hadapi baru manusia. Bukan Tuhan atau Presiden," ucap batinnya dibalut rasa tak menentu.Â
Lala mencoba menenangkan diri. Terkadang untuk menghilangkan rasa grogi, memainkan dasi yang menempel di dadanya.Â
"Tadi perasaan saat di luar, aku begitu sangat tenang. Kenapa di sini gugup? Heiii, Lala ... fokus ... fokus ... Ini penentuan masa depanmu!"Â
Lala mencoba menyemangati diri. Meski tetap saja didera rasa takut yang tiba-tiba datang menyergap. Takut tak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan.Â
"Lala ... Apa anda sudah siap?"Â
DeggÂ
Pertanyaan itu membuat dadanya semakin berdebar kencang.
"I ... iya. InshaAllah sa ... saya siap," jawab Lala gugup.Â
"Jelaskan pada kami, mengapa penelitian ini penting dilakukan?"
Mendadak Lala blank, tak ingat apa yang harus dijawabnya. Padahal dalam skripsi sudah ada beberapa gambaran jawaban atas pertanyaan dosen. Akhirnya Lala menjawab sebisanya.Â
"Sangat penting, Pak. Untuk syarat kelulusan saya mendapat gelar Sarjana."
Pak Dosen hanya mengangguk kepala, sambil sesekali menulis catatan pada buku yang dipegangnya.Â
"Jelaskan alasan melakukan penelitian ini dan mengapa tertarik mengangkat hal tersebut dalam penelitian?" tanya Dosen lain.
"Waduh! Pertanyaan tingkat dewa," celoteh batinnya.Â
Biasanya Dosen Penguji akan menilai logika berpikir mahasiswa dari alasan dan cara menjawab pertanyaan tersebut. Bila jawaban dirasa tidak masuk akal atau mahasiswa kesulitan menguraikan alasan, tentunya mengurangi penilaian.
Lagi-lagi Lala hanya menjawab sebisanya, untuk menutupi rasa gugupnya. Padahal materi ini sudah dipelajarinya semalam. Mendadak hilang dalam ingatan.Â
Setelah beberapa pertanyaan diajukan. Dosen penguji mempersilakan Lala untuk meninggalkan ruangan. Tanpa memberikan catatan penting. Lala benar-benar down seakan perjuangannya sia-sia. Dia sadar sidang ini gagal.Â
***
Di kamar kost berukuran 35 meter persegi, jam dinding menunjukkan pukul 20.00, Lala merebahkan badannya di sebuah kasur kecil. Dia terlihat tak bersemangat, masih memikirkan sidang siang tadi.
"Ahh, Betapa bodohnya aku!" umpat dirinya.Â
Teringat pada sosok kedua orangtuanya, yang setia menunggu kabarnya. Air matanya bercucuran membasahi pipi. Kemudian diambilnya handphone yang tergeletak di sebelahnya. Lala mencoba menelpon mereka. Berkali-kali tak mendapat jawaban.Â
Kring ... kring ... kring ....
Keempat kalinya, barulah mendapat jawaban.Â
"Assalamualaikum , Pak. Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" Maafkan Lala baru bisa menghubungi kembali."
"Lala ... kamu ke mana aja, Nak? Ibu kamu sampai sakit memikirkanmu."Â
"Ya Allah, maafkan Lala, Pak, Bu. Lala anak yang tak tahu diri. Lala mau bicara sama ibu, Pak. Boleh?"
Pak Joko menyodorkan handphone-nya kepada Bu Sutri.Â
"Ibu, Lala minta maaf. Lala sudah membuat hati ibu kecewa. Lala terlalu sombong hingga lupa meminta doa restu. Akhirnya sidang skripsi Lala berjalan tidak sesuai harapan."
Lala menangis sejadi-jadinya, ibunya hanya diam. Namun tak berapa lama, kata-kata keluar dari bibirnya.
"Ibu sudah maafkan kamu, Sayang. Jangan ulangi lagi yah. Bagaimana pun rida Allah ada pada rida orang tua. Apa pun yang kamu lakukan ibu selalu rida, tetapi mungkin Allah menegurmu dengan caranya."Â
"Makasih, Ibu. Lala janji tidak akan mengulanginya. Akan berusaha menjadi anak yang berbakti."
Lala menutup percakapan ditelpon dengan perasaan lega bercampur haru. Ada keinginan besar dalam hati Lala untuk membuat ibu dan bapaknya bangga. Tentunya dengan restu dan keridaan orang tuanya terutama ibu. Â
Bekasi, 16 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H