Mohon tunggu...
Safitri Yuhdiyanti
Safitri Yuhdiyanti Mohon Tunggu... Guru - Pegiat pendidikan dan sosial

-Long life education-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahkota Cantik

13 Agustus 2020   00:15 Diperbarui: 13 Agustus 2020   00:14 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang gadis perempuan yang berambut pirang dan  berkulit putih dengan segera menaruh sepatu bututnya yang tampak lusuh dengan  warna yang sudah memuudar di pojok kamar.  Usianya kurang lebih 16 tahun.  Matanya yang nampak sipit dengan pipi yang kemerah-merahan menambah cantik saat dipandang.  Ia tetap setia menutupkan hijab untuk menutupi auratnya.  Banyak teman laki-laki yang mendekatinya, namun ia berusaha menjaga jarak.

Ia berjalan sambil mengendap-endap keluar dari kamarnya.  Setelah beberapa melangkah, ternyata di depan ruang tamu sudah duduk seorang bapak sambil membaca koran kesayangannya.  Ditemani secangkir minuman yang masih tercium wangi aroma kopi dan masih mengebul asapnya.  Rupanya kopi baru saja dibuat.

"Aduh, ada Bapak, pasti aku tidak boleh keluar," gumamnya.

"Erma, kamu sudah pulang,  kok Bapak tidak melihat kamu masuk?" kata Bapak sambil menyeduh kopi panasnya.

"Eh, iya maaf Pak, tadi Erma lewat pintu belakang, " jawab Erma sambil menunduk.

"Ya, sudah sana itu baju di luar sudah kering, segera diangkat nanti keburu hujan," kata Bapak.

"Baik Pak, aku akan angkat jemurannya,"  sahut Erma sambil berjalan agak cepat ke samping rumah.

Erma adalah anak pertama, dia memiliki adik laki-laki yang masih berusia 10 tahun.  Lima tahun yang lalu ibunya Erma sudah meninggal dunia saat melahirkan anak yang ke tiga.    Penyebab kematian ini karena ibunya terpeleset saat mau ke kamar mandi.  Dengan pendarahan yang hebat ternyata mengantarkannya kembali kepada Sang Penguasa.  Demikian pula bayi yang dikandungnya  tidak bisa tertolong lagi.

Erma sepulang sekolah tidak langsung ke rumah.  Dia menjadi pelayan di sebuah toko penjual baju.  Dia memanfaatkan waktu sepulang sekolah untuk mencari tambahan penghasilan untuk membiayai sekolah.  Untung saja rumah Erma tidak terlalu jauh jaraknya dengan toko.  Namun bapaknya tidak mengetahui hal ini.  Erma sengaja menyembunyikan.  Apabila bapak tahu, tentu tidak akan diperbolehkan. 

Sementara penghasilan bapak dari jasa sol sepatu tidaklah seberapa. Kadang untuk makan saja, bisa hanya untuk sarapan pagi dan sore saja.  Belum lagi tunggakan biaya sekolah Erma dan adiknya.  Semua kebutuhan tidak bisa terpenuhi jika Erma tidak bekerja.

Saat malam hari, Erma dibantu bapak membungkusi makanan ringan untuk dijual di kantin sekolah. Harganya pun tidaklah mahal hanya Rp 2.000,00 per bungkus.   Erma memasukkan makanannya. Bapak membungkusnya dengan cara melipat plastik lalu mendekatkannya pada nyala api  lilin.  Erma menjual sehari bisa mencapai 50 bungkus. Alhamdulillah, Erma berpegang pada kata-kata bapak," Siapa yang mau berusaha, pasti Allah akan memberi kemudahan dan rezekinya."

Bapak bekerja dari jam 08.00 sampai waktu memasuki asar.  Bapak menaiki sepeda dan di belakangnya ada  sekotak peralatan sol sepatu.  Bapak bekerja berkeliling menawarkan jasa.  Pernah Bapak memiliki lapak di pojok pasar, tapi karena ada perluasan pasar, akhirnya bapak tergusur.

Sejak kecil Erma termasuk anak yang penurut dan rajin mengaji di sebuah taman pendidikan Al Quran dekat rumahnya.  Setiap malam selepas magrib, Erma dan teman-temannya mengaji menghafal ayat-ayat suci Al Qur`an.  Bersama Kyai Gufron anak-anak kecil itu bersemanagt sekali mendengar petuah dan mengulang bacaan Al Quran.  Setiap malam Jumat adalah jadwal menyetorkan hafalan.  Kyai Gufron dengan sabar menyimak mereka.

"Erma, suaramu bagus, bacaan Al Quranmu juga sesuai hukum bacaan Al Quran, kamu saya doakan agar bisa menamatkan hafalan 30 juz Al Qur`an," pesan Kyai Gufron.

"Iya Kyai, terima kasih atas bimbingannya dari awal hingga saya bisa menghafal banyak," kata Erma.

"Seorang penghafal Al Qur`an nantinya saat di akhirat akan memberikan sebuah mahkota untuk kedua orang tuanya, jadilah anak yang sholihah," lanjut Kyai Gufron.

 Di pojok sekolah, Erma menyendiri sembari menunggu bel sekolah tiba.  Al Quran kecil selalu tak lupa ada di tasnya.  Erma tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada.

"Ya, Allah, mudahkan hambaMu ini untukmenghafal kalamMu," pinta Erma.

Keinginan Erma untuk menuntaskan hafalannya tidak surut walaupun di tengah kesibukan sekolah dan mencari tambahan penghasilan untuk membantu bapaknya.  Erma dengan tekun menjelang tidur menghafal Al Qur`an.  Surat demi surat sudah terlampaui hingga kurang beberapa surat lagi untuk sampai khatam 30 juz.

"Bapak, ada waktu sebelum tidur untuk menyimak bacaan Erma?" tanya Erma.

"Iya, Bapak makan dulu, kamu siap-siap saja mengulang, supaya nanti lancar," kata Bapak.

30 menit sudah berlalu, Erma selesai menyetorkan hafalannya.  Tinggal besok disetorkan ke Kyai Gufron.  Erma genap sudah menyelesaikan hafalannya 30 juz.

Banyaknya harta tidak menjadi ukuran kemuliaan di hadapan Allah SWT.  Semua tergantung kadar keimanan, harta banyak tempatkanlah di tangan, jangan di hati.  Bila harta sudah berpindah maka kita tidak akan merasa berat hati.  Itulah pesan Kyai Gufron sebelum menyimak setoran hafalan anak-anak. 

Waktu menunjukkan jam empat pagi.  Erma yang biasanya bangun paling awal, ternyata masih meringkuk di kamar. 

"Erma, ayo bangun," kata Bapak.

"Erma tidak enak badan, Bapak," jawab Erma.

Lalu Bapak masuk ke kamar dan memegang dahi putri kesayangannya. Erma nampak pucat dan badannya memang panas.  Adiknya masih tertidur dengan pulas di sampingnya.

"Wah, badanmu panas sekali, ayo bersiap nanti Bapak antar kamu periksa ke dr. Budi, " perintah Bapak.

"Baiklah, Pak. Erma salat subuh dengan tayamum, tidak kuat kalau harus berwudhu, " sahut Erma.

Setelah membangunkan adiknya dan berpesan supaya memasak air di dapur, Bapak keluar untuk mencari becak yang biasanya parkir di pojok gang rumah.  Akhirnya Pak tukang becak pun menghampiri mereka. Sampailah di klinik dr. Budi, Bapak dan Erma turun menuju tempat pengambilan nomor dan duduk menunggu panggilan.

Seorang perempuan berbaju rapi bersiap di depan pintu. Rupanya dia seorang karyawan bagian pendaftaran pasien. Tibalah giliran Erma untuk diperiksa.

"Nomor 2 atas nama Erma silakan masuk, " katanya.

"Ya, saya Bu, " jawab Erma sembari berjalan menuju ruang periksa.

Setelah selesai diperiksa, Erma segera antri untuk menunggu pengambilan obat dan menyelesaikan administrasi. 

Dalam seminggu, Erma merasa sudah lebih baik kondisinya.  Erma tidak ingin ketinggalan pelajaran di sekolah.  Erma pun berangkat ke sekolah.  Kali ini Erma sudah tidak sanggup lagi untuk membuat makanan kecil seperti biasanya untuk dititipkan di kantin sekolah.

Pada hari ke lima, Erma pingsan saat berbaris mengikuti upacara.  Seketika petugas PMR bersigap menggotong Erma menuju UKS untuk mendapatkan pertongan pertama.  Karena keadaan tidak membaik, akhirnya Erma dibawa ke rumah sakit terdekat.  Guru kelas Erma langsung menghubungi orang tuanya dan menceritakan kejadian di sekolah.

"Bapak, aku dimana? Kenapa ada Bapak di sini?, "tanya Erma dengan suara lirih.

"Kamu di rumah sakit, Nak, tadi teman-teman dan Ibu Guru yang membawamu ke sini. Bapak juga dikabari saat kamu sudah di rumah sakit, "jawab Bapak.

"Bapak, aku lemas sekali dan pusing," kata Erma.

"Tenang Erma, yang sabar ya, kamu sedang mendapat ujian dari Allah semoga lekas sembuh," hibur Bapak.

Erma terbaring di ruang Flamboyan yang berukuran 2 m x 3m bercat putih dan berada di ujung lorong.  Erma hanya sendirian melihat jarum jam dinding yang terus berjalan. Hanya ditemani suara cicak dan suara jam.  Sementara Bapak saat siang hari masih bekerja untuk mencari uang menutup biaya pengobatan.  Saat malam tiba, Bapak dan adiknya ke rumah sakit untuk menemani Erma.  Sepulang sekolah teman-teman Erma pun menjenguk bergantian.  Kedatangan mereka menjadi obat tersendiri dan memberikan semangat untuk melawan penyakit.

"Bapak, tolong ambilkan Al Quranku, aku sudah rindu sekali ingin membaca ayat-ayat cinta adari Allah, " kata Erma.

"Bapak bacakan saja ya," tanya Bapak.

"Tidak pak, aku baca ulang saja. Aku takut hafalanku akan hilang, " jawab Erma.

Lalu Bapak mengambil Al Qur`an yang biasa dipakai Erma.  Sebuah Al Qur`an yang setia menemani Erma ke manapun pergi. Warnanya merah yang sudah nampak pudar dan kertasnya sudah lusuh karena sering buka tutup untuk menghafal Al Qur`an.

Dua bulan sudah berlalu, kondisi Erma belum membaik.  Penyakit yang dideritanya masih belum bisa disembuhkan, ternyata Erma terkena kelainan darah.  Karena tidak ada biaya untuk berobat, akhirnya Erma hanya kontrol dua minggu seklai di rumah sakit yang dekat dengan rumahnya. 

"Bapak, mendekatlah ke sini, Erma ingin melantunkan hafalan dan Bapak menyimaknya, "pinta Erma.

"Iya, Nak, kuatkan InsyaAllah kamu akan sembuh," kata Bapak.

Erma pun dengan lirih melantunkan ayat-ayat suci Al Qur`an yang keluar dari bibirnya yang tampak pucat dan mengering.  Setelah selesai menghafal 1 surat, suara Erma makin melemah.  Bapak pun terkesiap, dan memegangi urat nadi Erma.

"Innalillaahi wa inna ilaihi rooji`uun, " kata Bapak dengan pelan.

Senyum tampak menghiasi wajah Erma seolah ada bidadari cantik sudah menyambutnya.  Seketika tercium bau aroma mewangi memenuhi ruangan kamar Erma.

Bapak hanya bisa berdoa semoga dapat dipertemukan Erma kembali saat di surga dengan mempersembahkan mahkota cantik untuk kedua orang tuanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun