"Kau tak kesasar Jah," ucapnya lirih.
"Lalu..."
"Tanah yang kita duduki ini, tanah kita. Rumah kita. Hutan kita Jah!"
Gajah makin bingung. Ia menatap sekeliling. Hutan kita? Tapi kenapa tak secuil pun tak tampak pepohonan berdiri?
"Beberapa hari lalu, pohon-pohon ditebangi semua sama segerombolan manusia Jah..."
Gajah langsung tercenung. Manusia? Oh, kenapa ia harus berurusan lagi dengan makhluk yang satu itu? Tak terasa, air matanya deras. Membasahi pipinya yang tembem.
"Dan tahukah kau Jah? Jika mungkin nanti kau tak lagi punya tempat tinggal, juga rumput-rumput untuk makan..."
"A... A... Pa mak...mak.. sudmu,Gak?"
Gagak tak menjawab. Ia memberi isyarat agar Gajah mengikutinya dari belakang. Gajah langsung berdiri. Tanpa saling berbincang dan mengeluarkan suara, keduanya hampir seharian mengelilingi hutan.
 Gagak benar. Sepanjang perjalanan, hutan tempat mereka makan dan tinggal, kini hanya sisa pepohonam yang sisa arang-arangnya. Gajah langsung lemas.
"Lantas, aku harus pulang kemana Gak? Pulang kemana Gak??!!"
Gagak tak tahu harus menjawab apa. Kalau dirinya bisa terbang ke segala tempat mencari lokasi baru untuk berteduh. Tapi si Gajah sahabatnya itu??
Namun tiba-tiba ia ingat sesuatu. Sewaktu hutan terbakar, ia melihat datangnya sekumpulan manusia. Ia pikir mereka bakal berbuat jahat. Sebab mereka mengangkuti semua binatang yang masih hidup dan membawanya pergi. Seharian ia kuntit kemana mereka pergi.