Intonasi Risma memang terdengar berapi-api, lantang, dan tanpa tedeng aling-aling. Tetapi sebenarnya yang paling membuat tercekat adalah konten yang diucapkannya. Begitu vulgar dan realistis dengan keadaan batin yang paling dirasakan oleh generasi yatim dan dhuafa tersebut. Kondisi di mana mereka selalu merasa malu dan minder. Merasa diri mereka sebagai pihak yang dipersepsikan orang sebagai yang paling lemah dan bodoh. Hidup dari hasil kedermawanan orang lain. Dan sisi itulah yang mungkin sedang ingin disentak Risma. Agar rasa percaya diri mereka bangun, dan mau bertempur dengan kehidupan nyata.
[caption id="attachment_407163" align="aligncenter" width="470" caption="pribadi"]
Soul Leadership
Penampilan Risma kali itu sungguh mengejutkan saya. Betapa tidak, Risma mampu memainkan performance dengan sangat baik. Di satu kesempatan, ia begitu lantang dan berkobar, di kali lain ia begitu hangat dan peduli. Tak saya sangka, Risma diam-diam bakat jadi trainer yang dahsyat.
Tetapi satu hal penting, berada di hadapan anak yatim dan dhuafa tersebut, sosok Risma sebagai walikota sama sekali tidak kelihatan. Bagi anak-anak yang belum mengenal Risma, mungkin Risma dianggap tidak jauh beda dengan ibunya, mbaknya, atau bahkan gurunya sendiri. Risma datang tanpa protokoler formal. Ia juga memakai kaos berkrah. Terlalu biasa untuk dilihat. Wajar, ia mampu membangun hubungan emosional yang cepat dengan mereka. Performance-nya yang sederhana, makin melunturkan kesan elitis, dan wibawa sebagai elite pejabat di hadapan anak-anak.
Bahkan, ketika diberi kesempatan bertanya, anak-anak tak sungkan menanyakan hal-hal yang tampaknya konyol untuk ditanyakan. “Bu, saya kan suka males belajar, apa ada cara menghilangkannya Bu?” tanya seorang anak. Ada juga yang bertanya jika ingin jadi walikota itu bagaimana. Tetapi reaksi Risma yang respek justru menjadikan beberapa anak maju ke depan mau ikutan bertanya sesuatu.
Soul leadership, barangkali itulah kalimat yang tepat saya sematkan pada model kepemimpinan seorang Risma. Ia bukan hanya mampu memberikan respek, apresiasi, dan kepedulian, tetapi juga ia terlebih dahulu menerapkan ke dalam dirinya sendiri. Ketika ia bicara di hadapan anak-anak yatim dan dhuafa, ia memosisikan dirinya sama saja dengan mereka. Baik bajunya, pengalamannya, dan apa yang dirasakan oleh mereka.