Mohon tunggu...
Talita Hariyanto
Talita Hariyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Manusia hina sebagai makhluk mulia

Selanjutnya

Tutup

Book

Kumpulan Cerpen Sihir Perempuan: Perpaduan Tema Horor, Mitos, hingga Feminisme

27 Juni 2024   19:59 Diperbarui: 27 Juni 2024   20:07 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul Buku Kumpulan Cerita Pendek "Sihir Perempuan" https://gpu.id/book/90547/sihir-perempuan

Sejak menjadi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, saya memiliki pengalaman yang jauh lebih berkembang dalam membaca sastra. Khususnya di semester 2 lalu, ketika mendapat mata kuliah Sastra dan Ilmu Sastra, yang di dalamnya menyuguhkan beragam daftar bacaan yang harus dituntaskan dalam rentang waktu satu semester. Daftar bacaan tersebut terdiri dari berbagai jenis prosa, mulai dari kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel, hingga drama.

Baru-baru ini, saya menyadari bahwa bacaan sastra ternyata tidak semengerikan itu untuk diselami, bahkan sastra dapat menjadi salah satu sarana hiburan bagi pembacanya. Berdasarkan rekomendasi dari seorang teman, saya disarankan untuk membaca kumpulan cerpen Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha.

Sihir Perempuan adalah sebuah kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Kata Kita pada tahun 2005, kemudian cerpen ini diterbitkan ulang oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017. Pertama, interpretasi saya terkait buku ini adalah seram, horor, dan penuh misteri. Bagaimana tidak? Sampul depannya didominasi oleh warna merah dan hitam, lalu ada gambar seorang perempuan yang sedang merokok dengan cincin tengkorak. Selain itu, ada pula ilustrasi gambar dengan nuansa kelam di tiap-tiap bab yang selaras dengan isi cerpen. Hal tersebut nyatanya membantu pembaca dalam memvisualisasikan adegan, meskipun di sisi lain juga membuat pembaca menerka-nerka kisah kelam seperti apa yang tersembunyi di balik untaian kata karangan Intan Paramaditha.

Kumpulan cerpen Sihir Perempuan terdiri dari 11 cerita pendek. Judul cerpen tersebut, antara lain a) Pemintal Kegelapan, b) Vampir, c) Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, d) Mobil Jenazah, e) Pintu Merah, f) Mak Ipah dan Bunga-Bunga, g) Misteri Polaroid, h) Jeritan dalam Botol, i) Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah, k) Darah, dan l) Sang Ratu.

Menariknya, semua cerita tersebut mengangkat tokoh perempuan dengan karakter, latar belakang, dan pergumulan hidup yang berbeda. Maka tak heran jika buku ini dinobatkan sebagai salah satu buku yang lekat dengan perspektif feminis. Bahkan, beberapa peneliti juga berusaha mencermati cerpen-cerpen tersebut sebagai objek penelitian dalam rangka membangun konstruksi femininitas melalui tokoh-tokoh imajinernya. Dalam buku setebal 170 halaman ini, ada tiga cerpen yang menjadi favorit saya, yaitu Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, Mobil Jenazah, serta Mak Ipah dan Bunga-Bunga. 


1. Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari

Ketika membaca cerpen ini, saya merasa familier dengan nama saudara tiri dari sang pencerita, yaitu Sindelarat. Nama Sindelarat, saudara dan ibu tiri, sepatu, serta pemotongan jari dan tumit mengingatkan saya akan dongeng Cinderella yang begitu melegenda di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Ternyata cerpen Perempuan Tanpa Ibu Jari memang dikembangkan dari dongeng tersebut.

Cerpen ini mengisahkan perjuangan seorang perempuan dengan segala kekurangannya untuk mendapatkan perhatian seorang laki-laki. Mirisnya, tak hanya berkekurangan dalam bentuk fisik, sang pencerita juga memiliki hati yang iri dengki terhadap saudara tirinya. Ia menyebutkan bahwa Larat adalah orang yang manipulatif, itu karena Larat yang pandai mengambil hati ayah mereka sehingga ia jauh lebih menyayangi Larat sebagai anak kandungnya dari pada kedua saudara tirinya.

Sang tokoh utama tak ragu untuk menjatuhkan Larat dengan segala cara semata-mata supaya Larat tak lebih menonjol darinya. Kejadian seperti yang dialami tokoh-tokoh dalam cerita Sindelarat ini mungkin lekat dengan kehidupan kita. Saudara tiri sebagai si penindas dan Larat sebagai orang yang tak berdaya dan serba pasrah. Mereka berjalan saling mendahului dan tak ada yang berusaha memisahkan, sebab secara naluriah mereka memang berlomba untuk “dipetik” terlebih dahulu.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Demikianlah pepatah yang merepresentasikan sang tokoh utama. Ia menghalalkan segala cara, termasuk rela menyakiti diri sendiri supaya sepatu tersebut muat di kakinya dengan cara memotong ibu jari dan tumitnya. Tentu saja kejadian licik ini segera diungkap oleh si gagak yang tiba-tiba menginterupsi perjalanan mereka menuju rumah Gusti Pangeran.

Singkat cerita, Gusti Pangeran berhasil menemukan Larat yang sengaja disembunyikan di loteng; isak tangisnya sengaja dikeraskan hingga terdengar sampai keluar. Namun, apakah dengan ditemukannya ia oleh Gusti Pangeran menjanjikan kehidupan Larat bahagia selamanya? Tidak selalu.

Selepas pernikahan dengan Gusti Pangeran, saudara dan ibu tirinya masih terus menghantui Larat. Mereka hidup miskin dan serba kekurangan, maka mereka mencari pertolongan di istana Gusti Pangeran. Larat dengan segala kesabarannya berusaha mengusir mereka secara halus, namun kakak beradik itu tak kunjung meninggalkan halaman istana juga. Tiba-tiba datanglah burung terkutuk. Burung yang sama seperti yang mereka jumpai di kereta kebesaran Gusti Pangeran. Burung itu mematuki mata mereka dengan ganas hingga buta, sedang Larat hanya menatap sambil melahap anggur sebesar biji mata.

Begitulah kisah mereka mendapatkan kebutaan di kedua mata. Keserakahan yang tak pernah redup, kedengkian yang tak berujung, dan pembalasan dendam menggebu-gebu telah mengantar mereka ke jurang malapetaka. Dan untuk Larat, kebahagiaannya tak bersifat abadi. Ia meninggal saat melahirkan putrinya yang ke-6 akibat pendarahan. Kondisi Larat saat itu tidak cantik lagi, pahanya ditimbuni lemak dan perutnya lembek seperti tahu. Ia sudah tidak dipuja-puja lagi.

Tak bisa dimungkiri, cerpen bertajuk Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari nyatanya akrab dengan kehidupan para gadis masa kini. Mereka berlomba-lomba membuat pria terkesan dengan mengupayakan tampil beda, bahkan tak jarang mereka mencari pembuktian dan pengakuan dengan cara merendahkan wanita lain. Si Buta dan adiknya menjadi salah satu pelaku tren ini, jauh sebelum tren tersebut dinamai pick me girl. Selain itu, pengalaman para tokoh juga terasa dekat dengan kita, karena meski fiksi, cerpen tersebut mampu menyelipkan hal-hal rasional yang sering dialami oleh perempuan, misalnya kecantikan yang memudar seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia. Larat dikisahkan menua, menggemuk, dan tak secantik dulu. Hal ini memang bisa dialami siapa saja, terlepas dari segala status sosial yang melekat. 

2. Mobil Jenazah

Cerpen bertajuk Mobil Jenazah menceritakan sudut pandang seorang ibu bernama Karin yang berkarier sebagai dokter. Hidupnya senantiasa diliputi kebahagiaan. Ia memiliki anak-anak yang cerdas dan manis serta suami yang suportif dan kariernya baik. Seperti tipikal ibu-ibu pada umumnya, Karin kerap kali menyombongkan kehidupan rumah tangganya yang sempurna. Akhir-akhir ini, fenomena tersebut dinamakan flexing.

Ia menyebut fakultas mentereng, general manager, dan universitas ternama dengan bangga dan penuh percaya diri, seolah ingin membuat sahabat karibnya, Riana, terkesan akan kehebatan dirinya dalam mendampingi anak dan suami agar semakin melesat dalam bidangnya masing-masing. Karin adalah perempuan yang penuh ambisi.

Di sepanjang badan cerpen, Karin menceritakan perjuangannya sebagai seorang ibu dan mahasiswa kedokteran, mulai dari mengantar Tasha ke SD Katolik berdisiplin tinggi, kuliah, hingga mendaftarkan Ferry les piano agar sang anak akrab dengan notasi komposisi musik klasik sehingga bisa berpikir lebih cepat. Ia terstruktur, visioner, dan menguasai pola asuh terbaik yang cocok dengan karakter anak-anaknya.

Di tengah lamunannya, Karin dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil putih dengan tulisan hijau pada sisinya. Mobil jenazah. Kepalanya memutar ulang kejadian teror mobil jenazah yang pernah ditontonnya dalam sebuah tayangan misteri di televisi. Tapi nyatanya teror itu nyata, terjadi dua kali berturut-turut, dan yang terakhir sungguh-sungguh merenggut nyawa Karin.

Karin sebagai sosok perempuan yang penuh strategi tidak menginginkan adanya kecacatan dalam hidupnya. Bahkan ketika mengobrol dengan Riana, ia berujar dalam hati, “Aku menikmati pandangan iri orang lain terhadap berbagai aspek hidupku.” Tapi apakah Karin benar-benar meraih apa yang ia cita-citakan? Apakah ambisinya menjelma menjadi kenyataan? Tidak selalu.

Dalam cerpen ini terdapat plot twist yang menjadi daya tarik tersendiri. Ia bercerita pada Riana tentang kebaikan dan kesuksesan Bram, tapi ternyata pria yang terikat pernikahan dengannya itu malah memilih berselingkuh dengan salah seorang rekan kerjanya. Entah apa yang ada di pikiran Karin saat mengambil keputusan, tetapi yang jelas ia memaklumi perbuatan Bram. Ia memaafkan pengkhianatan yang telah terjadi dalam bahtera rumah tangga mereka dan hanya menganggapnya sepintas lalu. Mungkin Karin tidak benar-benar mengabaikan, hanya saja ia tak ingin reputasinya dan seluruh anggota keluarga memburuk. Setelah kematiannya, satu persatu rahasia keluarga mereka mulai terkuak.

Tasha yang sebetulnya tidak menghadiri seminar mahasiswa dan malah menginap bersama pacarnya di hotel hingga menyebabkan keterlambatan menstruasi, sedangkan Ferry yang malah menghadiri pesta keparat hingga tidak sadarkan diri. Andai saja Karin masih hidup, mungkin ia akan sangat malu untuk mengungkap kebenaran kepada Riana dan orang-orang yang pernah menjadi sasarannya memamerkan pencapaian.

Hidup Karin dipenuhi kepura-puraan hingga akhir hayat. Mungkin ia tidak siap dihakimi oleh kacamata sosial yang menilai bahwa perselingkuhan terjadi karena sang istri tidak mampu membahagiakan suami. Ia tidak siap apabila anak-anak yang telah dipolesnya sedemikian rupa hancur berkeping-keping akibat kehendak mereka sendiri.

Namun bagai bom waktu, pada akhirnya segala yang ditutup-tutupi mencuat juga, meski dalam penceritaan dikisahkan Karin sudah meninggal saat mengetahui fakta-fakta mengejutkan tersebut. Menurut saya, tidak ada yang lebih menyedihkan dari pada nasib Karin. Wanita itu menghamba pada kebahagiaan semu. Ia dibohongi oleh suami dan anak-anaknya yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membahagiakan Karin. 

3. Mak Ipah dan Bunga-Bunga

Cerpen berjudul Mak Ipah dan Bunga-Bunga sukses menempati posisi pertama dalam kumpulan cerpen Sihir Perempuan, setidaknya menurut saya. Cerpen ini amat menyayat hati, karena menceritakan kejadian traumatis dari seorang ibu yang kehilangan anak perempuannya.

Sang anak yang masih berusia sepuluh tahun itu mengalami tragedi yang sama sekali tidak pantas dialami siapa pun. Kematian yang tidak wajar. Ia diperkosa, disodomi hingga anusnya rusak, dibunuh, lalu dilemparkan ke sungai oleh seorang pedofil. Intan Paramaditha berhasil mengangkat isu-isu yang kurang terdengar ke permukaan. Bahkan melalui karyanya ini, ia sukses melukiskan dendam dan amarah dari perspektif keluarga korban pelecehan seksual.

Mak Ipah, wanita yang tinggal di ujung jalan dan dikenal sebagai sosok yang kurang waras, kerap terlihat sibuk dengan bunga-bunga yang ada di pekarangan rumahnya. Hanya bunga yang diurusnya, setiap hari, sepanjang hari. Ia terasing dan terpojok, tak masuk hitungan dalam masyarakat.

Orang-orang sekitar menganggap ia aneh, namun seorang wanita urban berhasil mengungkap alasan mengapa Mak Ipah bertingkah demikian. Tak lain dan tak bukan adalah karena trauma masa lalu dan imajinasinya tentang anak perempuan yang beranjak dewasa, cantik jelita, dan bekerja di pasar swalayan.

Anak itu sesungguhnya tak pernah ada. Tapi menurut Marini, Mak Ipah teramat waras dengan khayalannya itu. Marini adalah seorang wanita urban yang berhasil mendekati Mak Ipah. Ia merupakan salah satu tokoh yang relate dengan saya karena sangat merepresentasikan gadis-gadis perkotaan yang tidak akrab dengan dapur dan segala perabotannya. Saya merasa memiliki persamaan nasib dengannya, sama-sama tidak bisa memotong sayuran hingga berukuran miniatur misalnya.

Tokoh Marini digambarkan persis seperti orang-orang perkotaan yang mengalami culture shock ketika berada di kampung yang masih menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Contohnya saja ketika sebuah keluarga memiliki hajat, maka tetangga dengan radius sekian meter akan berbondong-bondong membantu menyiapkan kepentingan acara.

Marini berusaha menyesuaikan diri dengan ibu-ibu setempat. Ia tak ambil pusing dengan candaan mereka dan memilih untuk tertawa bersama, meski sebenarnya ia tak begitu mengerti tentang apa yang ia tertawakan. Lalu, ketika garam dapur habis, ia bergegas menawarkan diri untuk membelinya. Ia merasa inilah momen yang tepat untuk menghirup udara segar di luar dapur yang pengap dan sesak itu.

Ketika dalam perjalanan membeli garam, bertemulah ia dengan Mak Ipah yang kala itu sedang menyiram tanaman di pekarangan. Marini penasaran dengan Mak Ipah karena ia tak seperti tetangga lain yang sedang sibuk bergotong royong di rumah si pemilik hajat. Singkat cerita, tibalah kesempatan bagi Marini untuk berbincang di teras rumah Mak Ipah, lalu di sanalah mengalir cerita pilu tanpa ampun yang membuatnya bergidik ngeri.

Marini gemetar, tapi ia tetap menyimak dengan serius setiap kata yang lolos dari bibir wanita itu. Mak Ipah menceritakan seorang lelaki yatim piatu, saudara jauhnya, yang senang menyendiri tapi suka anak-anak. Lelaki itu sejak semula memang menampakkan gelagat aneh. Pernah suatu ketika Mak Ipah mengamatinya tengah bergeming sambil memandangi anak-anak perempuan yang sedang bermain tali. Mak Ipah melihatnya meremas alat kelaminnya, tapi wanita itu tak ambil pusing dan memilih melanjutkan kesibukannya.

Lain waktu, ada tetangga yang murka karena lelaki yang sama menyentuh payudara putrinya yang masih rata. Mak Ipah mulai cemas, berharap hal itu memang kebetulan. Lalu puncaknya adalah ketika lelaki tersebut sering berbohong dan mencuri. Singkat cerita, pecahlah pertengkaran antara Mak Ipah dan lelaki itu, dan keesokan harinya Mak Ipah mendapati bahwa anak perempuannya telah tewas: buruk, sobek, lebam, bengkak.

Ia segera tahu siapa pelakunya. Dilampiaskannyalah dendam itu, ia memukul si pembunuh dengan palu hingga yakin tubuhnya tak lagi bergerak. Puas. Selesai. Dendamnya terbalas. Lalu Mak Ipah memotong-motong tubuh kaku tersebut dan membaringkannya di dalam tanah. Ia menyadari bahwa cepat atau lambat bau busuk akan melesak masuk ke rumah. Sebab itu Mak Ipah membutuhkan wangi bunga.

Perasaan saya ketika membaca bagian akhir cerita amatlah campur aduk. Saya terkesima dengan ide cerita yang segar sekaligus ngeri membayangkan kisah pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya dengan brutal dan tak masuk akal. Saya jadi tahu, bukan suatu yang mengherankan apabila Mak Ipah masih saja berandai-andai tentang anak perempuannya itu. Kasih ibu sepanjang masa. Tentu ia tidak akan lupa begitu saja, meski dendam telah terbayar tuntas dan pertumpahan darah telah menghiasi pekarangan rumah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun