Marini berusaha menyesuaikan diri dengan ibu-ibu setempat. Ia tak ambil pusing dengan candaan mereka dan memilih untuk tertawa bersama, meski sebenarnya ia tak begitu mengerti tentang apa yang ia tertawakan. Lalu, ketika garam dapur habis, ia bergegas menawarkan diri untuk membelinya. Ia merasa inilah momen yang tepat untuk menghirup udara segar di luar dapur yang pengap dan sesak itu.
Ketika dalam perjalanan membeli garam, bertemulah ia dengan Mak Ipah yang kala itu sedang menyiram tanaman di pekarangan. Marini penasaran dengan Mak Ipah karena ia tak seperti tetangga lain yang sedang sibuk bergotong royong di rumah si pemilik hajat. Singkat cerita, tibalah kesempatan bagi Marini untuk berbincang di teras rumah Mak Ipah, lalu di sanalah mengalir cerita pilu tanpa ampun yang membuatnya bergidik ngeri.
Marini gemetar, tapi ia tetap menyimak dengan serius setiap kata yang lolos dari bibir wanita itu. Mak Ipah menceritakan seorang lelaki yatim piatu, saudara jauhnya, yang senang menyendiri tapi suka anak-anak. Lelaki itu sejak semula memang menampakkan gelagat aneh. Pernah suatu ketika Mak Ipah mengamatinya tengah bergeming sambil memandangi anak-anak perempuan yang sedang bermain tali. Mak Ipah melihatnya meremas alat kelaminnya, tapi wanita itu tak ambil pusing dan memilih melanjutkan kesibukannya.
Lain waktu, ada tetangga yang murka karena lelaki yang sama menyentuh payudara putrinya yang masih rata. Mak Ipah mulai cemas, berharap hal itu memang kebetulan. Lalu puncaknya adalah ketika lelaki tersebut sering berbohong dan mencuri. Singkat cerita, pecahlah pertengkaran antara Mak Ipah dan lelaki itu, dan keesokan harinya Mak Ipah mendapati bahwa anak perempuannya telah tewas: buruk, sobek, lebam, bengkak.
Ia segera tahu siapa pelakunya. Dilampiaskannyalah dendam itu, ia memukul si pembunuh dengan palu hingga yakin tubuhnya tak lagi bergerak. Puas. Selesai. Dendamnya terbalas. Lalu Mak Ipah memotong-motong tubuh kaku tersebut dan membaringkannya di dalam tanah. Ia menyadari bahwa cepat atau lambat bau busuk akan melesak masuk ke rumah. Sebab itu Mak Ipah membutuhkan wangi bunga.
Perasaan saya ketika membaca bagian akhir cerita amatlah campur aduk. Saya terkesima dengan ide cerita yang segar sekaligus ngeri membayangkan kisah pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya dengan brutal dan tak masuk akal. Saya jadi tahu, bukan suatu yang mengherankan apabila Mak Ipah masih saja berandai-andai tentang anak perempuannya itu. Kasih ibu sepanjang masa. Tentu ia tidak akan lupa begitu saja, meski dendam telah terbayar tuntas dan pertumpahan darah telah menghiasi pekarangan rumah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H