"Sebenarnya riset saya sudah 11 tahun, Mas", suara Mba Yani terdengar bersemangat di ujung telpon mengawali percakapan kami.
Sebuah perjalanan panjang, lelah dan menguras habis-habisan semua daya pikir, tenaga dan keringat mba Yani bersama team risetnya. Namun semua ini seketika tergantikan dengan senyuman bahagia, karena inovasi mba Yani diakui oleh World Invention Intellectual Property Association (WIIPA). Even WIIPA diselenggarakan di Tokyo Big Sight, Jepang, tanggal 27 Agustus 2016. Di kota inilah beliau menghabiskan 3 tahun untuk menyelesaikan studi doktoralnya di the University of Tokyo.
Awalnya dosen ITS kelahiran Jayapura, Papua bernama Dr Eng Januarti Jaya Ekaputri ST MT, ini sangat perduli dengan adanya pemanfaatan lumpur Sidoarjo berdaya guna sebagai material pengikat beton dengan teknologi geopolimer. Kelebihan yang didapat memang luar biasa. Namun seiring perjalanan waktu, penelitian ini ternyata juga membuahkan pemikiran akan pentingnya mengurangi ketergantungan bahan bangunan pada berdasar semen portland. Pembuatan semen portland ditengarai menjadi salah satu kontributor emisi CO2 karena proses pembakarannya. Sejumlah satu ton semen akan menghasilkan satu ton CO2, selain eksplorasi batu kapur untuk bahan semen juga merusak lingkungan. Dengan demikian, alternatif yang dipilih adalah limbah batu bara.
Seperti yang diketahui, limbah batu bara adalah termasuk limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya). Fly ash dan bottom ash dikategorikan sebagai limbah B3 karena dikhawatirkan terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan. Yang dimaksud dengan bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakkan lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Seperti diketahui, Indonesia adalah salah satu negara yang menggantungkan batu bara sebagai sumber energi pada pembangkit listrik tenaga uap. Di dunia ini, bisa dibilang sangat sedikit negara yang mengkategorikan limbah batu bara sebagai B3. Di Jepang, Amerika, China maupun India, limbah ini bahkan dijadikan pupuk yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman perkebunan dan pertanian.
Maka inilah yang menjadi tantangan untuk Mba Yani. Bagaimana caranya agar Indonesia bisa memanfaatkan limbah batu bara, bisa mengurangi ketergantungan pada eksploitasi batu kapur dan menjadikannya lebih ramah lingkungan. Dengan terus menerus tanpa lelah, mba Yani melakukan penelitian di laboratorium beton di kampus ITS agar bisa menemukan dan mengembangkan produk ramah lingkungan dari limbah batu bara yang sejatinya adalah limbah B3.
Langkah penelitian selama 11 tahun membuahkan hasil cemerlang. Limbah batu bara berhasil dijadikan sebagai bahan dasar paving non-portland cement. Hasil Penelitian yang dinamakan GEOPAV, ini selain ramah lingkungan juga memiliki banyak keunggulan dan keistimewaan. Antara lain, kuat secara bahannya, dan cepat dalam produksinya. Jika paving konvensional berbahan portland semen berkekuatan tekan 500 kg/cm2 dicapai dalam waktu 28 hari, maka dengan GEOPAV bisa mencapai 550 kg/cm2 hanya dalam waktu 7 hari. Amazing!
Tentu saja ini menggembirakan, karena dengan jangka waktu yang lebih singkat bisa menekan cost produksi yang tinggi bila dilakukan secara konvensional. Lebih hebatnya lagi, prosesnya sangat sederhana dan mudah, bisa dipahami bukan hanya oleh peneliti tapi juga orang awam yang tertarik untuk memproduksi paving dari limbah batu bara tersebut.
PERJALANAN PENUH COBAAN
Niat awal Mba Yani sama sekali tidak mengikutkan hasil penelitiannya di event dunia tersebut. Karena biasanya event WIIPA setiap tahun diadakan di Negara-negara Eropa, seperti Polandia, Rumania, Kroasi. Baru tahun ini panitia mencibba menyelenggarakannya di negeri Sakura.
Karena desakan dari seorang kawan karib di Malaysia yang juga concern kepada penelitian Geopolimer Beton, ia mengusulkan agar hasil penelitian milik Mba Yani segera diikutkan dalam event tahunan terbesar di dunia penemuan teknologi tersebut.
“Waktunya sangat mepet. Untungnya persiapan tidak begitu keteteran, karena penelitiannya sudah cukup lama, bisa langsung saya bawa semua hasil analisis saya, benda uji, proses kajian dan sebagainya”
Pihak Imigrasi Indonesia sempat mencurigai Mba Yani di Bandara Juanda. Ini terjadi karena selain Mba Yani membawa paving geopolimer seukuran batu bata, visanya dari konjen Jepang Surabaya juga tidak mencantumkan tanggal berlakunya. Kenekatan Mba Yani tidak sia-sia.
Pejabat Imigrasi Juanda yang memeriksanya bertanya tentang batu bata yang dibawa. Begitu ibu pejabat Imigrasi tahu kalau Mba Yani adalah seorang dosen Teknik Sipil ITS, ia menjadi sumringah. Karena menginginkan anaknya kelak bisa belajar di ITS. Akhirnya Mba Yani pun lolos dan terbang ke Jepang dengan mudah.
Bisa sampai di Bandara Haneda, Tokyo belum berarti membuat mulus perjalanan Mba Yani. Karena ijin visa yang masih dipermasalahkan, Mbak Yani dibawa ke sebuah ruangan interogasi. Didalamnya juga sudah duduk beberapa orang lelaki berbadan besar semacam anggota Yakuza itu. Mbak Yani tidak gentar.
Ia bertanya kepada pejabat Imigrasi yang membawanya. Mba Yani menyebutkan nama the University of Tokyo yang merupakan universitas terbaik di Jepang. Sejatinya memang tujuan utama Mba Yani ke Tokyo adalah untuk memenuhi undangan profesornya untuk menghadiri simposium internasional di Todai, begitu nama universitas ini disebut di Jepang. Mendengar nama Todai disebut, pejabat Imigrasi Jepang terkejut. Tak disangka oleh Mba Yani, hal itu membuat sang pejabat segera memutuskan untuk memberikan izin dan memberikan visa hingga jadi di tempat seketika itu juga. Tak henti-hentinya Mba Yani bersyukur pada Tuhan.
EVENT MENGESANKAN
Event WIIPA pun digelar dengan suasana kompetisi yang benar-benar terasa. Ada lebih dari 7 negara dengan membawa penemuan-penemuan seni, disain dan teknologi yang mungkin sebelumnya belum pernah terpikirkan dan terbayang di pikiran kita.
Mba Yani sendirian saja mewakili Indonesia dengan membawa bendera Indonesia di tangan kanan yang ia copot dari dashboard mobilnya di Surabaya. Paving geopolimer diletakkan di meja kecil di depan posternya. Itu pun sambil menyeret semua barang bawaannya sendirian menuju meja penilaian.
Meja yang diambil Mbak Yani berada di pojok dan bergabung bersama meja Malaysia, negeri serumpun kita.
“Malaysia benar-benar niat banget. Meja pameran mereka penuh dengan segala pernak-perniknya. Pesertanya juga ada anak SMP nya yang sudah menemukan teknologi canggih. Malaysia juga membawa penterjemah bahasa jepang juga yang mungkin tujuannya bisa menjelaskan lebih baik khussusnya pada penguji dari jepang Saya hampir benar-benar merasa “kecil” dan malu dengan melihat persiapan Malaysia dan Negara-negara lain yang heboh dan hebat itu, sedangkan saya sendirian mempersiapkan semuanya. Seadanya dan sederhana.”
Ada inventor dari China yang menemukan tas bagasi yang bisa memberi signal batas muat jika hendak dibawa naik pesawat tidak boleh melebihi 20 kilogram. Jika lebih dari batas 20 Kg, tas itu akan memberikan “peringatan” kelebihan isi muatnya.
Ada teknologi cairan penyejuk untuk wanita berhijab. Karena biasanya wanita berjilbab sering merasa gerah apalagi pada cuaca dan iklim tropis, cairan tersebut bila dioleskan ke tengkuk leher perempuan, akan berasa sejuk. “Saya sangat tertarik dengan penemuan itu. Saya dekati dan sedikit saran saya buat mereka, kalau saya jadi modelnya, mau kok… ha ha ha…saya dikasih dan diuji coba juga. Beneran berasa sejuk..” tutur Mba Yani.Masih banyak penemuan-penemuan lain yang hebat. Sempat terpikir minder juga melihat kehebatan mereka. Saatnya para penguji dan juri mendatangi meja Indonesia.
“Ini penemuan sederhana dan semua orang awam akhirnya jika sudah disosialisasikan bisa memproduksi paving berbahan dasar limbah batu bara dengan mudah. Kehebatannya adalah teknologi kami bisa mengubah dari limbah berbahaya beracun menjadi bahan yang bermanfaat dan ramah lingkungan. Cost nya juga rendah bila dibandingkan dengan paving berbahan batu kapur. Waktu produksinya juga lebih cepat dan tahan lama.”
Mba Yani tidak berharap terlalu banyak dalam event ini. Namun yang lucu, saat selesai penjurian, seorang panitia menghampiri Mba Yani. “Bu, selamat. Anda mendapatkan medali emas”. Mba Yani yang belum “ngeh” sama sekali masih bingung dengan medali emas. Seorang peserta lomba dari Negara lain mendekati Mba Yani, mengucapkan selamat dan menyebut kalau penemuan ini menjadi nomor satu.
“Medali emas saya persembahkan buat Indonesia, juga buat kampus ITS, buat anak-anak didik saya yang tiada kenal lelah melakukan percobaan dan menekuni geopolimer."
Sedikit sumbangsih saran buat dunia pendidikan di Indonesia adalah melihat kecanggihan dan pemikiran anak-anak SMP dari Negara lain yang sudah berhasil bisa menemukan banyak penemuan membuat Indonesia rasanya masih tertinggal jauh dalam pendidikan. Perlu adanya terobosan pendidikan agar kelak anak SMP kita juga sudah bisa tampil dalam event berskala internasional semacam ini dan tanpa malu-malu bisa unjuk gigi memperlihatkan penemuannya pada juri-juri dari seluruh dunia.
Semoga impian kita, dan impian anak bangsa bisa tercapai.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H