Sungguh menarik ketika saya membaca artikel "Winding Road To Indonesian Democracy" yang dimuat oleh Asia Times Online. Wartawan kontributor yang melaporkan adalah Michael Vatikiotis and John McBeth. Kedua wartawan ini melaporkan pandangan mata mereka saat mewancara warga Indonesia yang berada di jalur Pantai Utara yang membentang dari Anyer hingga Banyuwangi. Namun sedikit kecewa karena pandangan mereka hanya berada pada beberapa kota di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Tak mengapa, sedikitnya itu sudah mewakili respon dan reaksi warga Pantura.
Perjalanan kedua kontributor berawal dari kota Kudus, Rembang , Tuban dan Lasem. Di Lasem, mereka menemui beberapa relawan Capres Jokowi yang sedang mempersiapkan spanduk yang akan ditandatangani warga untuk mendukung Joko Widodo terpilih sebagai Presiden RI periode 2014-2019. Mereka tidak dibayar siapapun, kata Jasman , seorang legislator PDIP Lasem.
Jasman juga melaporkan sudah mengumpulkan beberapa sumbangan ikhlas dari warga yang pro Jokowi untuk diteruskan kepada pihak Timses Jokowi melalui Rekening yang dibuka di sebuah bank nasional.
Memang untuk kota-kota kabupaten di sekitar Pantura Jawa Tengah seperti Kudus, Rembang dan Lasem mayoritas didominasi oleh warga yang pro pada Capres Jokowi, begitu Asia Times Online melaporkan.
[caption id="attachment_343577" align="aligncenter" width="640" caption="gambar : hariantopmetro.com"][/caption]
Dan Asia Times juga menyebutkan kalau di kota Surakarta sendiri, sebagai asal muasal Jokowi dilahirkan, didapati kenyataan bahwa ada juga warga yang mendukung Prabowo sebagai Calon Presiden RI periode 2014-2019. "Prabowo adalah seorang pria berkelas dunia dan berpengalaman sebagai negarawan," kata Karno, seorang penjaja makanan di pusat kota dekat Pasar Klewer Solo.
Menariknya mungkin banyak orang yang sepakat dengan pendapat seorang pekerja bangunan di Kota Lumajang bernama Bagus yang mengatakan, " Saya suka dengan apa yang saya lihat di Jokowi, tapi saya juga mengagumi Prabowo". Inilah pendapat netral yang semoga tidak menjadikan banyak orang untuk golput, dengan menempatkan kedua capres sebagai putra bangsa yang sama-sama punya potensi, punya peluang besar memimpin negeri ini tanpa harus sibuk mencela kekurangan masing-masing capres.
Kalau boleh saya mengutip juga bahwa sebenarnya warga Pantura sebenarnya bukan warga negara kelas dua yang belum bisa memilih dengan cerdas siapa capres jagoan mereka. Walaupun berprofesi nelayan, pedagang, petani, buruh dan tingkat pendidikan yang rata-rata hanya SMP-SMA saja, ternyata mereka bisa menempatkan kedua calon presiden sebagai jagoan mereka dengan persepsi pikiran masing-masing. Atau bahasa halusnya, keberpihakan warga sangat masih didominasi oleh analisa Figur dan Manfaat/
Ada yang mendambakan Jokowi terpilih karena terkesan rendah hati dan terlihat sederhana, juga ada warga yang memilih Prabowo sebagai Capres Jagoan mereka karena terkesan mendunia, dan berpengalaman sebagai negarawan.
Inilah asas kerangka berpikir sederhana warga pinggiran Pantura yang mungkin cara berpikir mereka belum secerdas warga di Kota Besar yang memilih Capres kebanyakan karena asas biaya dan manfaat.
Berbeda dengan warga Indonesia yang sudah lebih cerdas, dengan tingkat pendidikan tinggi dan biasanya hidup di kota-kota besar dalam memilih calon presiden mereka.
Tidak sedikit pendukung yang akan memilih baik Jokowi atau Prabowo pada pemilu 9 Juli nanti yang menggunakan dasar cost-benefit analysis di atas dalam memilih. Pendukung Jokowi memilih Jokowi karena percaya bahwa dunia bisnis lebih bergairah ketika Jokowi yang menjadi presiden, dan itu akan sangat bagus bagi kontinuitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara pendukung Prabowo memilih Prabowo karena mereka yakin dengan nasionalisasi, kebocoran kekayaan sumber daya alam dapat lebih rendah dan pendapatan negara akan semakin tinggi.
Inilah asas biaya manfaat yang didasari dari seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832) dengan pokok pemikirannya yang disebut utilitarianisme. Doktrin ini pada intinya mengatakan bahwa: “The highest principle of morality is to maximize happiness, the overall balance of pleasure over pain. And the right thing to do is whatever will maximize utility.”
Apa yang dimaksud oleh kegunaan (utility) adalah apa saja yang dapat menciptakan kesenangan dan kebahagiaan atau apa saja yang dapat mencegah rasa sakit dan penderitaan.
Tentu saja nilai Utilitarianisme ini terkadang memunculkan kesalahan yang tidak bisa dipungkiri. Karena pastinya nilai kegunaan yang dipakai oleh pemilih presiden sering mengkaburkan dua hal. Yakni Mengkaburkan "nilai adil dan objektif" juga nilai " kualitatif" kedua calon presiden.
Artinya kebanyakan catatan dan review dari kedua capres sering dikaitkan dengan nilai moneter dan peristiwa ekonomi makro saja yang dampaknya akan dirasakan langsung oleh warga pemilih dan negeri ini. Contohnya nanti kalau Jokowi terpilih , investasi asing akan subur dan sebaliknya bila Prabowo terpilih, investor asing akan lari. Ini terungkap dalam artikel berbahasa Inggris The Jakarta Post pada 12 Juni 2014 yang berjudul “Investors will leave if Prabowo wins: Deutsche Bank.” Artikel tersebut mengulas laporan survei Deutsche Bank terhadap 70 investor asing di Indonesia tentang apa yang akan mereka lakukan apabila salah satu kandidat, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla, menang dalam pemilu presiden mendatang. Hasilnya 74 persen investor akan tetap berinvestasi sementara hanya 6 persen investor yang akan meninggalkan Indonesia apabila Jokowi-Jusuf Kalla yang terpilih. Di lain sisi, apabila Prabowo-Hatta yang terpilih, 56 persen investor akan meninggalkan Indonesia dan hanya 13 persen yang bertahan.
Dengan tentunya tidak menafikan hasil review tersebut, sebenarnya yang mau penulis ungkap adalah bahwasanya sebagai warga yang berdaulat dan bermartabat tentunya kita harus bisa menggabungkan dua nilai analisa yang ada dan berkembang di masyarakat.
Nilai yang dipakai asas cost-benefit dan digabungkan dengan pemahaman visi misi serta kerangka pemahaman kedua capres kita kepada masa depan Indonesia lebih baik akan membantu warga Indonesia menemukan pilihan yang pas. Bukan hanya sekedar membebek (asal ikut-ikutan) dengan teman, dengan orang tua, dengan pasangan, dengan ketua parpol atau siapapun.
Dasarnya, adalah warga Indonesia harus bisa membaca kedua capres yang bertarung dalam Pilpres. Baik analisa figur kepemimpinan, kesederhanaan, kepiawaian, cost-benefit juga faktor yang paling penting adalah bukan siapa yang pantas memimpin (baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto) negeri ini, tapi warga Indonesia harus bisa menancapkan pilihannya pada figur yang bisa membawa Indonesia kepada arah kemakmuran dan kemajuan di masa depan.
Jadi siapa pun pilihan Anda, itulah Masa Depan Indonesia.
Caaooo..........
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H