"Itu karena aku sangat mencintaimu."
"Sesangat-sangatnya kau mencintaiku, masih lebih sangat aku yang mencintaimu."
Lembut bibir mereka kemudian bertemu.
Keluarga Tuti? Mereka pun tak pernah menginjakkan kaki di toilet itu. sejak lima tahun Tuti memilih hidup mandiri mereka belum pernah sekalipun berkunjung. Tuti dengan Bapak, Ibu dan dua Kakaknya, tidak akur.
***
"Bapak tidak mau mengeluarkan sepeserpun uang untuk menguliahkanmu jurusan seni musik. Jika kau tetap bersikeras silahkan kau kuliah dengan uangmu sendiri!" tegas Bapak. "Lagipula banyak di luar sana yang suaranya lebih bagus darimu. Yang wajahnya lebih cantik darimu. Bapak tanya, memang wajah dan suaramu sudah bagaimana, mau bermimpi menjadi artis. Bapakmu ini saja tidak suka mendengar suaramu, itulah kenapa Bapak selalu menyuruhmu bernyanyi di toilet," Lelaki itu beringsut ke kamar dengan langkah yang tegas.
Tuti duduk membeku di kursi usai mendengar apa yang dikatakan Bapak tadi. Wajahnya pucat. Hatinya pilu.
Ibu menggeleng-geleng dan berdecak. "Kau ini aneh!" tambahnya. "Siapa yang memengaruhimu sampai kau tertarik mengambil jurusan seni musik. Kedua kakakmu saja mengikuti tradisi keluarga ini, menjadi dokter. Tiba-tiba kau menyimpang ingin menjadi musisi. Pasti selama ini kau sudah salah bergaul. kau membuat kami merasa gagal mendidikmu," Ibu menggeleng lagi, Â dia embuskan napas panjang dan berdiri. "Dengarkan apa kata Bapakmu tadi, kau tidak punya bakat menjadi penyanyi. Apa kau tidak ingat ketika sekolahmu mengadakan pensi, kau bernyanyi dan suaramu sumbang, semua orang di sana tahu itu. Kau pun merasa demikian kan?"
"Bu Rina bilang, sound system dan mic-nya yang bermasalah, bukan suaraku,"
Ibu berdecak. "Apa kau tak pernah berpikir kalau itu hanya kata-kata penghibur saja, guru senimu itu pastilah tak tega jika harus berkata yang sebenarnya padamu. Batalkan niatmu ingin kuliah jurusan seni musik!" Ibu beringsut ke kamar meninggalkan Tuti yang duduk terdiam.
Tuti merasa tercampak dan tiada daya.