Namun saya bergeming. Di dalam hati, saya membantah nasihat-nasihat mereka. Saya pikir mereka lah yang terlampau jauh berprasangka. Terlampau khawatir jikalau anaknya terjebak dalam istilah cinta buta. Lagipula, andai itu benar, mana mungkin saya tidak begitu mencintai dia kalau di depan saya dia adalah sosok yang sempurna. Wajahnya tulus setulus rupa bayi. Hatinya baik sebaik peri. Bagaimana mungkin saya tidak sangat mencintai dia kalau dia selalu bisa membuat saya bahagia dengan berbagai macam pemberiannya dan sikap romantisnya yang meluluhkan jiwa?
Dia senang sekali mengajak saya makan malam di restoran-restoran yang romantis. Membawa saya ke tempat-tempat wisata yang indah. Memberikan saya setangkai mawar tiap kali berjumpa. Setia membukakan pintu mobilnya untuk saya. Mengecup kening dan pipi saya dengan lembut dan hangat  di akhir perjumpaan.Â
Dia suka memberikan saya hadiah, tidak hanya pada momen-momen tertentu saja, dia suka memberikan saya asesoris-asesoris bergambar Mickey Mouse - tokoh kartun kesukaan saya, sepatu merk favorit saya, tas jinjing dengan model yang ter-update, gelang, anting, atau kalung berlapiskan emas putih. Hadiah-hadiah itu selalu membuat saya meleleh. Sensasinya seperti lilin yang dilalap api. Bedanya, api yang melalap saya tidaklah panas, melainkan sejuk, dan dengan senang hati saya rela dilalapnya sampai habis.
Untuk kali pertama, pada suatu malam, di bawah bulan yang pucat, dia meminta sesuatu dari saya. Permintaannya hanya satu, namun sungguh membuat hati saya dilanda kalut yang luar biasa.Â
Dia mengingini selaput dara saya.Â
Dengan cara merajuk yang begitu lucu seperti balita meminta sesuatu pada ibunya. Dan mengingat apa yang telah dia berikan kepada saya selama ini. Saya mengulas senyum, dan mengangguk. Saya penuhi permintaannya meski jauh di dasar hati saya masih bimbang.Â
Rasa takut kehilangannya terlalu berlebihan. Saya tak mau jika saya tak mengabulkan permintaannya yang kali pertama dan yang satu ini, dia akan pergi meninggalkan saya. Saya tak mau itu terjadi.
Akan tetapi, di lain waktu, dia memintanya berulang-ulang kali.Â
Desau suara Ivana terdengar serak dan perih. Gurat-gurat penuh duka tergambar di wajahnya yang suram.Â
Di awal tahun ketiga jalinan asmara ini, tiba-tiba dia pergi tanpa pesan, menghilang, entah ke mana. Saya datang ke rumah yang disewanya. Rumah itu kosong. Si pemilik rumah sewa tidak tahu gerangan ke mana dia pindah.Â
Bumi seperti menelannya bulat-bulat. Kepergiannya meninggalkan luka, tidak hanya membekas pada batin, tetapi juga lahir. Dada saya rasanya sesak. Pikiran saya terasa berat. Saya telah menorehkan malu dan pedih bagi bapak dan ibu seandainya mereka tahu yang sebenar-benarnya.Â