[caption caption="peselancar"][/caption]
Sejauh dan setinggi apa pun burung elang terbang, mereka punya rumah untuk pulang. Kala matahari telah digantikan bulan, mereka tidur di sarang yang hangat di celah rimbun pepohonan. Tetapi Elang yang satu ini tidak pernah ingin pulang. Sekali pun tidak. Dia selalu ingin bertualang mencari ombak yang lebih besar dan sulit ditaklukkan.
Elang duduk, merangkul kedua kakinya yang mengempit di atas pasir putih pantai Watu Karung. Menatap matahari yang perlahan muncul dari permukaan air laut yang berkeriyap kuning menyilaukan. Ombak-ombak kecil datang bergulung-gulung dari tengah laut ke tepian, terbawa desir angin. Desir angin yang kemudian membalikkan ingatan Elang pada satu kisah romantisme usang.
“Biarlah aku hanya menjadi angin untukmu, Elang. Angin yang mengikuti ke mana pun kau pergi. Yang tak kau sadari kehadirannya, namun bisa kau rasakan desirnya,” kata si gadis, pada senja itu, dengan mata yang berkabut.
Ombaklah yang mempertemukan Elang dengan gadis itu. Bunga namanya. Bunga terpelanting kala berselancar. Dihantam ombak pantai Nusa Lembongan setinggi enam sentimeter dengan panjang dua kilometer. Telak dahinya terbentur papan selancarnya sendiri hingga pingsan. Pastilah Bunga sudah mati tenggelam dan suatu hari jasadnya mengapung dipatuki-patuki bangau, kalau saja Elang, yang melihat insiden itu dari tepi pantai tak cepat mengambil tindakan.
Susah payah Elang memapah gadis itu dari dalam laut. Menelentangkan tubuhnya yang seperti bantal basah di atas pasir. Menekan-nekan dadanya dan sesekali memberikan napas bantuan. Bunga tersadar sambil terbatuk-batuk. Mulutnya berkali-kali memuntahkan air laut yang tertelan berliter-liter ke perutnya.
“Kau siapa?” tanya Bunga yang masih menelentang lemas.
“Elang.”
Kening Bunga mengerut. “Apa kau sedang menguji kesadaranku?”
“Maksudmu?”
"Aku tahu kau manusia. Bukan burung.”
Elang terkekeh. “Elang itu adalah namaku, nona.”
“O, maaf. Aku pikir…”
“Tidak apa-apa,” potong Elang. “Apa kau sudah merasa baikan?”
Bunga mengangguk pelan seraya mengubah sikapnya menjadi duduk. “Hanya kepalaku saja yang agak pusing. Terimakasih sudah menolongku,” lantas tangan gadis itu menjulur. “Bunga.”
“Apa kau sedang menguji kecerdasanku, nona?” tanya Elang seraya menyambut juluran tangan itu.
“Maksudmu?”
“Aku tahu kau manusia. Bukan tumbuhan,” balas Elang.
Bunga tertawa.
Entah malaikat dari langit mana yang telah mempertemukan Elang dengan Bunga. Yang pasti sejak perkenalan itu mereka jadi sering menghabiskan waktu bersama, meneguk segelas kopi panas di warung di pesisir pantai, duduk menyaksikan matahari terbit dan tenggelam, dan berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman mereka berselancar menaklukkan ombak.
Elang pun jadi tahu kalau Bunga juga berasal dari Jakarta. Dia bekerja sebagai Akuntan di sebuah perusahaan BUMN. Namun di saat cuti atau libur panjang, dia suka bertualang, baik itu bersama teman atau sendirian. Mendaki gunung ataupun menyelami laut. Tapi katanya, dia lebih sering ke laut. Laut membuatnya tentram dan memberikan energi yang lebih setelah otaknya terkuras oleh rutinitas pekerjaan.
Sedangkan Elang, sebagai sarjana lulusan Bisnis Management dari Universitas ternama di USA dengan status cumlaude, Elang banyak mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan asing maupun lokal, namun tak satu pun dari tawaran tersebut yang ditanggapinya.
Elang tak kerasan bekerja dalam kungkungan berbagai macam aturan. Apalagi harus duduk di balik meja di dalam ruangan berbentuk bujur sangkar. Duh, baginya itu sangat menjemukan.
Elang lebih memilih berkreasi secara mandiri dengan membuat sebuah website. Pelan-pelan bisnis online yang dirintisnya itu berkembang dan menghasilkan uang. Dari sanalah dia memiliki dana untuk bertualang dari pantai ke pantai di pelosok-pelosok nusantara. Mewujudkan hasratnya yang ingin berselancar menaklukkan ombak. Meskipun untuk itu, dia harus meninggalkan rumah orangtuanya yang serupa istana. Memunggungi kehidupannya yang serba tersedia dan mewah.
Tak jarang di tengah pembicaraan tersebut, keduanya saling mengumbar decak kagum dan senyuman hangat yang berselipkan kerlingan. Bahkan sering gestur dan gerak tubuh merekalah yang berbahasa sedang bibir mereka tak berkata-kata. Diam membuat Elang dan Bunga bisa merenungi arti di balik kedekatan mereka beberapa hari ini. Dengan Elang, Bunga bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Barangkali karena mereka punya jiwa yang sama. Jiwa petualang. Dengan gairah yang sama pula. Gairah pada ombak.
Tibalah saat Bunga merasa ada sesuatu yang pelan-pelan memekar di hatinya. Acapkali perasaannya seperti kurupuk yang jatuh dalam kuah sayur tatkala mencium aroma tubuh Elang yang segar, atau ketika melihat bulir-bulir air menggelinding di dada Elang yang bidang usai mereka berselancar. Semua itu membuat perasaan Bunga semakin menyemak-membelukar.
“Benarkah cinta itu hanya perlu dirasakan dan tidak perlu dinyatakan?”
Bunga sangat membutuhkan kepastian. Dia tak ingin terus diombang-ambingkan cinta yag membuatnya galau sepanjang malam. Sejak benih-benih cinta itu tersemai, Bunga seperti selalu mencium aroma tubuh Elang di sudut-sudut ruangan kamar hotelnya, dan merindukan lelaki itu tiap kali dia terjaga.
Senja pelan-pelan lanum dan susut. Untuk kesekian kali Elang dan Bunga duduk bersisian di tepi pantai itu dengan pandangan mengarah ke laut. Bedanya, kali ini, mereka dipayungi rembulan yang lebih terang dan lebih besar dari yang pernah mereka lihat.
Bunga mendaratkan kecupan di sudut kanan bibir Elang. Elang terkejut. Spontan ditatapnya wajah Bunga. Cantik dan menggemaskan. Tapi kemudian Elang bergeming. Dia alihkan lagi pandangannya ke laut dengan muka yang datar dan pasi.
Bunga mengernyit terheran-heran. “Adakah Elang menganggap kecupan yang didapatkannya itu adalah sesuatu yang biasa? Tidakkah Elang mengerti meskipun singkat kecupan itu sudah dipersiapkan dengan amat matang? Tidakkah Elang merasakan kecupan itu dilakukan dengan jantung yang berdebar kencang sampai-sampai seperti hendak lepas dari tungkainya?”
Sikap Elang tak ubahnya seperti permukaan telaga yang menyimpan arus, dan Bunga tak bisa menaksir apa yang berkecamuk di dalamnya. Elang merasakan tangan Bunga kukuh tapi lembut merengkuh tubuhnya, memeluknya rapat hingga tak bisa bergerak.
“Lang, pulanglah bersamaku. Usiakanlah petualanganmu menaklukkan ombak. Aku ingin menjadi rumah bagimu.”
“Maaf. Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku belum siap dengan apa pun yang melibatkan cinta. Lagi pula aku belum memerlukan rumah untuk pulang. Aku ingin mencari ombak yang lebih besar dan sulit ditaklukkan,” jawab Elang.
Menggenang air di mata Bunga yang sendu. Langit yang mendung adalah duka yang bergantung di wajahnya. Dengan lembut Elang melepaskan pelukan Bunga lalu beranjak pergi. Pandangannya begitu lurus ke depan. Tak terlintas sedikit pun keraguran.
“Elang memburu daging, bukan bunga. Elang memburu daging, bukan bunga,” desis Elang berulang-ulang.
Bunga selalu yakin bisa melakukan apa saja, tapi kali ini dia harus menghadapi kenyataan bahwa ada sesuatu yang tak bisa dilakukannya. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah pasir yang sunyi, desaunya membuat hati Bunga dilanda perasaan sendiri.
“Biarlah aku hanya menjadi angin untukmu, Elang. Angin yang mengikuti ke mana pun kau pergi. Yang tak kau sadari kehadirannya, namun bisa kau rasakan desirnya,” seru Bunga sambil terus mengikuti kepergian Elang dengan matanya yang berkabut.
Angin berdesir, menyapu pasir, melumuri jari-jari kaki Elang yang kisut oleh karena jilatan air laut. Mata Elang kembali hidup. Jiwanya kembali bergolak.
“Bunga, kau adalah ombak yang menyimpan berjuta pesona, yang memberikanku pengalaman menggetarkan dan selamanya akan membekas dalam ingatan,” ujar Elang, lalu mengambil papan selancar di sampingnya, dan berlari menuju ombak.
Di sebelah barat daya, sepasang burung elang terbang berputar-putar di atas laut Watu Karung, yang seekor hinggap di dahan pohon cemara, tapi yang seekor pergi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H