“Lang, pulanglah bersamaku. Usiakanlah petualanganmu menaklukkan ombak. Aku ingin menjadi rumah bagimu.”
“Maaf. Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku belum siap dengan apa pun yang melibatkan cinta. Lagi pula aku belum memerlukan rumah untuk pulang. Aku ingin mencari ombak yang lebih besar dan sulit ditaklukkan,” jawab Elang.
Menggenang air di mata Bunga yang sendu. Langit yang mendung adalah duka yang bergantung di wajahnya. Dengan lembut Elang melepaskan pelukan Bunga lalu beranjak pergi. Pandangannya begitu lurus ke depan. Tak terlintas sedikit pun keraguran.
“Elang memburu daging, bukan bunga. Elang memburu daging, bukan bunga,” desis Elang berulang-ulang.
Bunga selalu yakin bisa melakukan apa saja, tapi kali ini dia harus menghadapi kenyataan bahwa ada sesuatu yang tak bisa dilakukannya. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah pasir yang sunyi, desaunya membuat hati Bunga dilanda perasaan sendiri.
“Biarlah aku hanya menjadi angin untukmu, Elang. Angin yang mengikuti ke mana pun kau pergi. Yang tak kau sadari kehadirannya, namun bisa kau rasakan desirnya,” seru Bunga sambil terus mengikuti kepergian Elang dengan matanya yang berkabut.
Angin berdesir, menyapu pasir, melumuri jari-jari kaki Elang yang kisut oleh karena jilatan air laut. Mata Elang kembali hidup. Jiwanya kembali bergolak.
“Bunga, kau adalah ombak yang menyimpan berjuta pesona, yang memberikanku pengalaman menggetarkan dan selamanya akan membekas dalam ingatan,” ujar Elang, lalu mengambil papan selancar di sampingnya, dan berlari menuju ombak.
Di sebelah barat daya, sepasang burung elang terbang berputar-putar di atas laut Watu Karung, yang seekor hinggap di dahan pohon cemara, tapi yang seekor pergi. (*)