Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elang

21 Februari 2016   13:44 Diperbarui: 22 Februari 2016   13:25 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan Elang, sebagai sarjana lulusan Bisnis Management dari Universitas ternama di USA dengan status cumlaude, Elang banyak mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan asing maupun lokal, namun tak satu pun dari tawaran tersebut yang ditanggapinya.

Elang tak kerasan bekerja dalam kungkungan berbagai macam aturan. Apalagi harus duduk di balik meja di dalam ruangan berbentuk bujur sangkar. Duh, baginya itu sangat menjemukan.

Elang lebih memilih berkreasi secara mandiri dengan membuat sebuah website. Pelan-pelan bisnis online yang dirintisnya itu berkembang dan menghasilkan uang. Dari sanalah dia memiliki dana untuk bertualang dari pantai ke pantai di pelosok-pelosok nusantara. Mewujudkan hasratnya yang ingin berselancar menaklukkan ombak. Meskipun untuk itu, dia harus meninggalkan rumah orangtuanya yang serupa istana. Memunggungi kehidupannya yang serba tersedia dan mewah.

Tak jarang di tengah pembicaraan tersebut, keduanya saling mengumbar decak kagum dan senyuman hangat yang berselipkan kerlingan. Bahkan sering gestur dan gerak tubuh merekalah yang berbahasa sedang bibir mereka tak berkata-kata. Diam membuat Elang dan Bunga bisa merenungi arti di balik kedekatan mereka beberapa hari ini. Dengan Elang, Bunga bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Barangkali karena mereka punya jiwa yang sama. Jiwa petualang. Dengan gairah yang sama pula. Gairah pada ombak.

Tibalah saat Bunga merasa ada sesuatu yang pelan-pelan memekar di hatinya. Acapkali perasaannya seperti kurupuk yang jatuh dalam kuah sayur tatkala mencium aroma tubuh Elang yang segar, atau  ketika melihat bulir-bulir air menggelinding di dada Elang yang bidang usai mereka berselancar. Semua itu membuat perasaan Bunga semakin menyemak-membelukar.

“Benarkah cinta itu hanya perlu dirasakan dan tidak perlu dinyatakan?”

Bunga sangat membutuhkan kepastian. Dia tak ingin terus diombang-ambingkan cinta yag membuatnya galau sepanjang malam. Sejak benih-benih cinta itu tersemai, Bunga seperti selalu mencium aroma tubuh Elang di sudut-sudut ruangan kamar hotelnya, dan merindukan lelaki itu tiap kali dia terjaga.

Senja pelan-pelan lanum dan susut. Untuk kesekian kali Elang dan Bunga duduk bersisian di tepi pantai itu dengan pandangan mengarah ke laut. Bedanya, kali ini, mereka dipayungi rembulan yang lebih terang dan lebih besar dari yang pernah mereka lihat.

Bunga mendaratkan kecupan di sudut kanan bibir Elang. Elang terkejut. Spontan ditatapnya wajah Bunga. Cantik dan menggemaskan. Tapi kemudian Elang bergeming. Dia alihkan lagi pandangannya ke laut dengan muka yang datar dan pasi.

Bunga mengernyit terheran-heran. “Adakah Elang menganggap kecupan yang didapatkannya itu adalah sesuatu yang biasa? Tidakkah Elang mengerti meskipun singkat kecupan itu sudah dipersiapkan dengan amat matang? Tidakkah Elang merasakan kecupan itu dilakukan dengan jantung yang berdebar kencang sampai-sampai seperti hendak lepas dari tungkainya?”

Sikap Elang tak ubahnya seperti permukaan telaga yang menyimpan arus, dan Bunga tak bisa menaksir apa yang berkecamuk di dalamnya. Elang merasakan tangan Bunga kukuh tapi lembut merengkuh tubuhnya, memeluknya rapat hingga tak bisa bergerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun