Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Donna.. Donna..

7 Februari 2016   10:10 Diperbarui: 10 Februari 2016   18:09 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Betapa Angin terkejut begitu Donna mengatakan bahwa dirinya pernah dua kali melakukan aborsi dengan menelan pil penggugur janin.  Ya, janin hasil perbuatannya dengan si mantan yang merenggut keperawanannya. Kali ini runtuh sudah dinding pertahanan Angin. Ludas sudah pemaklumannya. 

“Biar saja aku dibilang naif! Biar saja aku dibilang kolot! Toh, aku masih punya logika!” batin Angin menjerit kencang. 

Mereka menangis pada senja di tepi pantai Kuta yang riak ombaknya berdesir membasahi jari-jari kaki mereka. Air mata Angin mengalir bagai anak sungai. Hatinya koyak mendapati kenyataan bahwa kekasihnya tercinta yang usianya masih muda, yang berwajah lugu, yang aktif dikegiatan rohani ternyata pernah melakukan hal yang sedemikian keji. Sambil sesugukan, Donna  menyesali perbuatannya itu dan memohon pada Angin agar tak mengakhiri percintaan mereka.

“Beri aku kesempatan, Ngin. Aku tak bisa mengubah masa laluku. Tapi aku bisa menata masa depanku lebih baik denganmu. Berilah aku syarat untuk tetap menjadi kekasihmu, dan aku bersumpah demi apa pun yang kau mau, aku akan memenuhinya!”

Angin menjawab. “Maaf, aku bukan Tuhan yang bisa menerima segala kekuranganmu, Don.”

Percintaan mereka berakhir di bawah langit yang kelabu, di hadapan matahari yang tenggelam, ditiup angin Kuta yang desaunya mencabik-cabik hati.

“Sejak putus denganmu, aku seperti wanita yang tersesat di hutan, siapa saja yang datang padaku, kuanggap sebagai penolong, tapi nyatanya selama ini yang datang adalah pembohong. Cinta, bagiku sekarang lebih busuk daripada bangkai. Lebih borok ketimbang kelamin paling sipilis,” Donna menatap Angin lekat-lekat, dan berpaling begitu matanya mulai berlinang.

Hati Angin memilu. Tiba-tiba saja ada perasaan bersalah yang merambati sanubarinya karena pernah mencampakkan Donna. Akan tetapi dari dulu hingga detik ini nuraninya berbisik, bahwa keputusannya yang dulu, benar.

“Nama anakmu siapa?” Angin mengalihkan pembicaraan yang mulai membawa perasaan.

“Adam. Umurnya satu tahun.”

“Kalau kau tak bekerja, dari mana kau membiayai kebutuhan hidupmu dan anakmu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun