Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan Papalele, Tak Sekedar Berdagang

30 November 2015   08:40 Diperbarui: 30 November 2015   09:42 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**

AY Patty, bukan hanya tempat yang disinggahi setelah berjualan keliling. Jalan ini menjadi ladang rejeki bagi Tante Maya, oma Ona dan teman-temannya. Jalan yang terbagi menjadi dua sisi itu, ramai sejak pagi hingga sore hari. Apalagi di hari kerja. Karena  itu, para ibu-ibu ini selalu mampir untuk menjajakan sisa jualan mereka.

Tapi, kekuatiran tetap saja ada, kala mobil patroli Satuan Polisi Pamong Praja (PP) melintas. Itu terlihat diwajah oma Ona saat berbincang dengan saya. Sambil menjual, matanya melirik mengarah ke jalanan. Di jalanan, terdapat dua anggota Polisi Pamong Praja, yang juga mengarahkan pandangan mereka kepada kami. Mereka mengendarai sepeda motor. “Nyong, katong (kami) menggelar dagangan ini, tapi sambil mangangah (melihat –red)pamong praja,”katanya.

Dia berkisah, pertengahan bulan Agutus 2015 lalu, Satpol PP melakukan razia pedagang di jalan AY Patty. Para ibu-ibu Papelele juga terkena razia. Mereka dilarang berjualan diatas trotoar, karena mengganggu pejalan kaki.

Saat itu, Maya sedang mengatur barang-barang jualannya. Sedangkan beberapa temannya melayani penjual. Tiba-tiba, dua mobil patrol Satpol PP berhenti di depan toko, tempat mereka menggelar dagangan. Tak tunggu lama, para papalele ini diperintahkan untuk meninggalkan jalan AY Patty.

Maya dan teman-temannya sempat mengeluh. Mereka beralasan membayar karcis (retribusi) Rp1000 per hari. Selain itu, tidak mengotori trotoar. Pemilik toko juga tidak memarahi mereka. Tapi, Satpol tetap pada pendirian.

“Kami mengeluh, sambil berkata; setiap hari kami membayar karcis Rp1000.  Tapi orang itu tetap membentak dan meminta kami agar segera meninggalkan toko itu. Ya, akhirnya kami pergi,”tutur Maya.

Kejadian serupa pernah terjadi pada Juli 2015. Sedikit menyedihkan. Beberapa polisi PP datang langsung mengambil paksa Nyiru (alat rumah tangga berbentuk bundar yang dibuat dari anyaman bambu) para perempuan papalele.  Juga barang dagangan mereka.

Barang ini diangkut keatas mobil patroli. Maya dan teman-temannya berharap dikembalikan. Karena, jika tidak berdagang sehari, mereka merugi. Apalagi yang dijual bukan hasil kebun sendiri. Para ibu-ibu ini sempat melawan. Tapi, petugas tak menghiraukannya.

“Sebenarnya kami tidak melawan. Tapi, jangan dengan tindakan yang kasar. Jangan datang langsung tendang barang-barang kami. Sikap mereka yang terkadang seperti ini yang membuat kami kesal dan marah,”kenangnya.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun