Aleta berdiri di antara para relawan yang bekerja keras. Dia melihat mereka bergerak dengan hati yang berat, namun tetap tegar dalam menjalankan tugas mereka. Beberapa di antara mereka saling berbagi cerita tentang kehidupan para korban yang telah mereka kenal sebelumnya.
Ketika tempat pemakaman sudah siap, tubuh Rena diangkat dengan hati-hati oleh beberapa relawan. Mereka menempatkannya di peti mati sederhana yang terbuat dari kayu.
Tanpa musik atau kata-kata, hanya suara gemuruh angin yang menemani prosesi pemakaman. Tapi di antara keheningan itu, ada kekuatan yang tersirat.
Aleta, dengan hati yang hancur, melihat tubuh Rena diturunkan perlahan ke dalam liang lahat yang sederhana. Air mata terus mengalir, menyirami tanah yang kering akibat gempa.
Setelah beberapa minggu berlalu sejak pemakaman Rena, Aleta mulai bangkit dari kesedihannya. Bantuan makanan, perbaikan rumah, dan dukungan emosional dari relawan dan keluarga-keluarga sekitar memberinya semangat untuk melangkah maju.
Keluarganya telah mendapatkan rumah baru. Aleta tahu bahwa dia juga harus melanjutkan hidupnya, bahkan jika itu berarti meninggalkan desa yang telah memberinya kenangan manis dan pahit.
Pada suatu pagi, Aleta duduk di tepi ranjangnya, memandang sekeliling rumah yang baru.
"Mama, aku harus pergi," katanya dengan suara yang lembut namun tegar.
Ibunya mengangguk dengan pahit di bibirnya.
"Kamu harus melanjutkan hidupmu, Sayang."
Aleta berpelukan erat dengan keluarganya, menyalurkan semua perasaannya dalam kehangatan yang mereka berikan. Dia tahu bahwa langkah ini bukanlah yang mudah, tetapi dia juga menyadari bahwa dia harus melanjutkan perjalanan hidupnya.
Di ambang pintu, dia menoleh sekali lagi, memandang rumah yang telah menjadi saksi akan berbagai cerita dalam hidupnya. Aleta melangkah, siap menghadapi apa pun yang menantinya di kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H