Aleta mencoba tersenyum lemah, namun tatapannya masih dipenuhi dengan kesedihan yang tak terucapkan.
"Tidak apa-apa, Mama. Hanya sedikit lelah," ucapnya dengan suara yang gemetar.
Ibunya menatap Aleta dengan tajam, mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Kamu bisa jujur padaku, Nak. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan," kata ibunya dengan lembut.
Aleta menelan ludah, merasa tertekan oleh keinginan ibunya. Namun, dia juga merasa lega karena memiliki seseorang yang bisa dia bagikan beban pikirannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk memberitahu.
"Rena... Rena tidak selamat, Mama," Aleta mengungkapkan dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Keluarga yang lain terdiam, ekspresi mereka berubah menjadi sedih. Mereka tidak bisa menyangkal kebenaran yang menyakitkan dari kata-kata Aleta.
Ibunya mendekatinya dan memeluknya erat.
"Kami akan selalu ada untukmu. Kami akan hadir di pemakaman Rena nanti," kata ibunya, mencoba menghibur Aleta di tengah kesedihan yang menghantui.
Aleta merasakan dukungan hangat dari keluarganya, meskipun hatinya hancur oleh rasa kehilangan.
Aleta mengikuti proses pemakaman Rena dengan langkah berat di tengah puing-puing bangunan yang hancur akibat gempa. Suasana sekitar masih penuh dengan keheningan. Langit yang kelabu menggambarkan suasana hati yang suram, sedangkan debu dan asap masih menyelimuti udara.
Di tengah runtuhan bangunan, beberapa orang berusaha membuka ruang yang cukup untuk pemakaman sederhana. Mereka menggunakan alat sederhana yang mereka temukan, seperti sekop dan cangkul, untuk membersihkan area yang akan dijadikan tempat peristirahatan terakhir bagi para korban gempa.