Di tengah kemajuan teknologi dan media sosial, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin dominan dalam kehidupan banyak orang, terutama perempuan. Bagi banyak perempuan, FOMO menjadi masalah kompleks yang menciptakan ketegangan antara tekanan sosial dan kebutuhan diri yang mendalam. FOMO sering dikaitkan dengan media sosial, di mana seseorang mungkin merasa tertekan untuk terus mengikuti apa yang terjadi di kehidupan orang lain, karena takut kehilangan sesuatu yang penting atau menyenangkan. Fenomena ini bisa mempengaruhi kesehatan emosional dan mental serta menimbulkan stres atau kecemasan.
FOMO merupakan kekhawatiran seseorang bahwa orang lain sedang melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan daripada atau tanpa dirinya, dimana perasaan tersebut dipicu oleh pembaharuan (update) aktivitas orang lain melalui media sosial (Przybylski, Murayama, DeHaan & Gladwell, 2013).
Tekanan Sosial yang Menghimpit
Di era digital, kehidupan kita sering kali terpapar melalui lensa media sosial. Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok menampilkan kehidupan yang terlihat sempurna dari teman-teman. Postingan tentang liburan mewah, pernikahan indah, pencapaian karier, atau sekadar momen kebahagiaan kecil dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan akan ditinggalkan.
Situs media sosial telah menjadi faktor yang berkontribusi besar terhadap sensasi FOMO. Sehingga orang-orang menciptakan perasaan dan emosi negatif melalui situs media sosial karena mereka iri terhadap postingan dan kehidupan orang lain. Media sosial telah menciptakan tempat yang mudah diakses dan pusat bagi orang-orang yang update untuk mencari tahu apa yang dilakukan orang lain pada saat itu.(Setiawan Akbar, Rizki. Aulya, Audry. Apsari, Adra. Sofia 2018)
Perempuan khususnya sering kali terkena sasaran tekanan sosial yang intens di media sosial. Mereka mungkin merasa perlu memenuhi standar tertentu dalam hal kecantikan, kebugaran, gaya hidup, dan prestasi. Ini diperburuk oleh budaya yang sering kali menilai perempuan berdasarkan penampilan fisik atau status sosial. Akibatnya, banyak Perempuan merasa bahwa mereka harus selalu tampil sempurna dan mengikuti tren terbaru untuk diterima dan dihargai oleh lingkungan mereka.
Tekanan ini juga datang dari lingkungan sosial yang lebih luas, seperti keluarga, teman, dan tempat kerja. Ekspektasi untuk menikah pada usia tertentu, memiliki karier yang sukses, atau menjadi ibu yang sempurna dapat meningkatkan perasaan FOMO. Ketika melihat orang lain yang tampaknya telah mencapai semua itu perempuan bisa merasa tertinggal atau tidak cukup baik.
Dampak Psikologis FOMO pada Perempuan
FoMO dapat memiliki dampak negatif pada kesejahteraan psikologis individu yang mengalami kecanduan media sosial. Rasa takut dan kecemasan yang muncul akibat perasaan ketinggalan dapat memengaruhi tingkat stres, ketidakpuasan, dan depresi. (Sachiyati, Yanuar, and Nisa 2023) Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Primack et al. (2017), menunjukkan adanya hubungan antara kecanduan media sosial dengan peningkatan risiko depresi, kecemasan, dan stres. Pengguna yang kecanduan media sosial dapat merasa cemas atau tertekan jika mereka tidak dapat mengakses Platform tersebut atau tidak menerima cukup perhatian dari pengikut mereka. Penurunan kualitas tidur yang buruk karena terlalu sering mengakses Platform pada malam hari.
Ketergantungan pada media sosial dapat membuat perilaku ke arah yang negatif, Subathra, Nimisha & Hakeem (2013) menyebutkan bahwa ketergantungan ataupun kecanduan dapat menjadikan melakukan kegiatan seseorang yang tertentu secara berulang-ulang serta dapat berakibat berbahaya dan fatal.
Dampak FOMO terhadap kesehatan mental tidak bisa diabaikan. Bagi banyak perempuan, merasa tertinggal dari kehidupan orang lain bisa memicu berbagai masalah psikologis, seperti kecemasan, depresi, dan penurunan harga diri. Perasaan ini sering kali dipekuat oleh perbandingan terus-menerus dengan orang lain, baik yang dikenal maupun tidak.
Bagi banyak perempuan, FOMO bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan sebuah tekanan yang menindas. Ketika setiap notifikasi membawa kabar tentang apa yang orang lain lakukan perjalanan yang mengesankan, pesta yang meriah, hubungan yang harmonis muncul perasaan hampa, seolah-olah hidup mereka kurang bermakna. Kecemasan mulai menggerogoti, mengikis kepercayaan diri, dan menghadirkan bayangan-bayangan kelam di hati mereka.
Mereka mulai bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku cukup?" "Mengapa hidupku tidak seperti mereka?" "Apakah aku melewatkan sesuatu yang penting?" Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui pikiran mereka, menambah beban stres yang sudah berat di pundak mereka. Mereka merasa harus selalu ikut serta, selalu hadir, selalu terlibat, bahkan ketika hati mereka lelah dan jiwa mereka lemah.
Perlahan, perasaan ini menjadi kebiasaan, memaksa mereka mengambil keputusan secara spontan tanpa berpikir panjang, hanya sekedar untuk merasakan sejenak bahwa mereka tidak tertinggal. Mereka mungkin membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan, bergabung dalam acara yang tidak mereka minati, atau terus-menerus membuka aplikasi media sosial, berharap menemukan sesuatu yang akan mengisi kekosongan yang ada.
Namun, semakin mereka berusaha memenuhi harapan yang ditetapkan oleh masyarakat, semakin dalam pula mereka tenggelam dalam rasa tidak puas. FOMO telah mengambil alih, dan mereka tidak lagi menikmati momen-momen sederhana dalam hidup mereka.
Namun di tengah kecemasan ini masih ada harapan. Dengan kesadaran dan tekad, mereka mulai belajar untuk melepaskan diri dari perbandingan sosial yang tidak sehat. Mereka mulai memahami bahwa hidup tidak harus selalu menjadi sorotan, dan  kebahagiaan sejati tidak diukur oleh jumlah suka atau pengikut, namun dari kedamaian yang mereka rasakan dalam diri. Dengan menumbuhkan cinta diri dan memprioritaskan kesehatan mental, mereka mulai menata ulang kehidupan mereka, menjalani setiap hari dengan penuh rasa syukur, dan menemukan kembali kebahagiaan di tempat yang paling sederhana dalam diri mereka.
Mengabaikan Kebutuhan Diri
Dalam upaya untuk mengatasi FOMO, banyak wanita sering kali mengabaikan kebutuhan diri mereka yang mendasar. Demi memenuhi ekspektasi masyarakat atau sekadar mengikuti tren terkini, kebutuhan istirahat, introspeksi, dan waktu untuk diri sendiri seringkali dikesampingkan. Ketika Perempuan terus-menerus mencari kehidupan yang "sempurna" menurut standar orang lain, mereka bisa kehilangan pandangan tentang apa yang benar-benar penting bagi mereka secara pribadi.
Selain itu, perempuan yang mengalami FOMO mungkin mengalami kelelahan emosional. Terus-menerus terlibat dalam aktivitas sosial, baik secara online maupun offline, dapat membuat mereka merasa terkuras dan kehilangan fokus pada tujuan hidup mereka sendiri. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas, hilangnya motivasi, dan perasaan tidak puas secara keseluruhan terhadap kehidupan.
Keseimbangan Antara Tekanan Sosial dan Kebutuhan Diri
Mengatasi FOMO dan menemukan keseimbangan antara tekanan sosial dan kebutuhan diri adalah tantangan yang besar, terutama dalam masyarakat yang sangat terhubung secara digital. Namun dengan kesadaran dan langkah yang tepat, perempuan dapat belajar untuk mengelola perasaan FOMO dan memprioritaskan kesejahteraan mereka sendiri.
Mengurangi Paparan Media Sosial : Dengan membatasi paparan terhadap konten yang menyebabkan FOMO, perempuan dapat lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup mereka. Mengatur waktu penggunaan media sosial dan lebih selektif dalam memilih konten yang diikuti bisa membantu mengurangi tekanan sosial.
Membangun Kepercayaan Diri : Kepercayaan diri adalah kunci untuk mengatasi FOMO. Perempuan perlu menyadari dan menerima bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya masing-masing. Tidak ada satu standar ukuran kesuksesan atau kebahagiaan yang berlaku untuk semua orang. Dengan menerima kenyataan ini, perempuan dapat lebih fokus pada apa yang membuat mereka bahagia dan puas, tanpa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain.
Mempraktikkan Rasa Syukur : Berfokus pada hal-hal positif dalam hidup sendiri dapat membantu mengurangi perasaan FOMO. Dengan mempraktikkan rasa syukur atas apa yang sudah dimiliki, perempuan bisa mengalihkan perhatian dari apa yang hilang atau tertinggal. Rasa syukur juga dapat membantu meningkatkan harga diri dan kesejahteraan emosional.
Kesimpulan
FOMO merupakan fenomena yang semakin mengakar dalam kehidupan modern, khususnya di kalangan wanita. Tekanan sosial yang datang dari media sosial dan ekspektasi budaya dapat membuat perempuan merasa stres dan cemas, sementara kebutuhan diri mereka yang sering kali terabaikan. Namun, dengan kesadaran, strategi yang tepat, dan dukungan dari orang-orang terdekat, wanita dapat belajar mengatasi FOMO dan menemukan keseimbangan yang sehat antara tekanan sosial dan kebutuhan pribadi. Dengan demikian, mereka dapat menjalani hidup yang lebih tenang, puas, dan penuh kesadaran diri, tanpa terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat dengan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H