Mohon tunggu...
Humaniora

Kota Kompak Sebagai Solusi Penataan Pola Ruang Perkotaan

28 Maret 2018   09:50 Diperbarui: 28 Maret 2018   09:56 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah pembangunan berkelanjutan mulai terkenal setalah  digunakannya istilah ini dalam buku milik Lester R. Brown di tahun 1981 yang diambil dari The International Union for The Conservation of Nature-IUCN yang kemudian juga digunakan dalam World Comission on Environment and Development yang didalamnya berisikan laporan yang membahas hubungan anatar aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang diberi judul Our Common Future.

Dalam parktiknya sendiri, pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk melindungi keberlangsungan proses-proses alam agar tetap terjaga dari pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagi sebuah upaya untuk melindungi sumber daya yang terbatas dengan permintaan yang terus miningkat setiap waktunya. 

Dalam perkembangannya, istilah ini terus meluas dan menjadi sebuah gagasan yang sangat baik diterapkan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini dimaksudkan agar tetap menjaga kelestarian kota tersebut untuk membentuk kawasan hunian yang nyaman untuk ditinggali. Dalam bukunya, Prof. B.S. Kusbiantoro juga menyebutkan terdapat enam komponen tata kelola perkotaan yang dibutuhkan untuk negara berkembang agar sustainable atau berkelanjutan.

Enam komponen tersebut yakni Proses perencanaan yang komprehensif; Adanya daya saing atau ekonomi kota yang unggul; Lahan dan bentuk kota; Infrastruktur dan pengelolaan layanan; Institusi perkotaan; Inti dan pinggiran kota. Tentu saja, pengelolaan perkotaan ini bertujuan untuk membentuk sebuah sistem yang berkelanjutan.

Untuk mencapai sistem yang berkelanjutan tentunya dibutuhkan sebuah ruh atau nyawa yang memberikan inisiasi atau rangsangan, dimuali dengan adanya ide pengembangan kota, basis pendukung (managerial support, SDM, dan infrastruktur), inovasi agenda, dan dampak yang bisa dirasakan oleh semua masyarakat.

Untuk menangani permasalahan kota yang semakin beragam dan semakin kompleks, tentunya juga dibutuhkan sebuah strategi. Permasalahan perkotaan yang dihadapi di Indonesia lebih condong terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh meningkatnya populasi penduduk perkotaan. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya populasi penduduk di perkotaan yakni urbanisasi. 

Menurut data yang dipaparkan oleh United Nations tahun 2014, menyebutkan bahwa tren dunia saat ini sekitar 54% dari total jumlah penduduk bumi bertempat tinggal di perkotaan (Pramono, 2014). Pada tahun yang sama, Organisation for Economic Co-operation and Development memaparkan bahwa pada tahun 2050, 70% dari total populasi di dunia akan tinggal di perkotaan. Sehingga dalam kurun waktu tersebut, akan terjadi percepatan pembangunan karena naiknya konsumsi lahan untuk dijadikan bangunan.

Tentu saja, hal ini juga menimbulkan pemborosan energi, karena semakian banyak konsumsi energi yang dibutuhkan oleh manusia. Permasalahan ini, tentunya membutuhkan tanggapan dari pemerintah untuk memberikan kebijakan yang mengatur tata kelola perkotaan agar mampu tercipta  keserasian. Salah satunya yakni dukungan pemerintah untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur baru.

Sebuah pendekatan baru diharapkan dapat menjadi sebuah solusi bagi tata kelola perkotaan, khususnya dalam membentuk tata guna lahan dan bentuk kota. Pendekatan baru tersebut yakni, Compact City, atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Kota Kompak.

Kota Kompak adalah sebuah konsep penataan kota dengan membentuk lahan-lahan perkotaan seefisien mungkin untuk mampu menampung berbagai aktivitas manusia didalamnya dengan mengedepankan aksesibilitas yang baik dan pengehematan energi. Hal inilah yang kemudian menjadikan Kota Kompak mampu berperan dalam menciptakan sistem yang berkelanjutan.

Kota Kompak memilki peranan dalam menciptakan pola ruang yang kompak, yang terhubung sistem transportasi dan akses terhadap pelayanan publik dan tempat kerja. Konsep yang dbawa Kota Kompak ini memungkinkan terjadinya kemudahan akses masyarakat dalam menjangkau tempat kerja dan fasilitas publik lainnya tanpa perlu mengandalkan kendaraan pribadi.

Sehingga dalam Kota Kompak ini sangat penting membangun infrastruktur pada kawasan-kawasan strategis yang memberikan kemudahan akses.  Dengan berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi, tentunya akan meminimalkan emisi dari CO2. Inilah yang merupakan ketersinambungan antara Kota Kompak dan hasil yang diperoleh akan membawa perubahan yang positif bagi kota tersebut.

Untuk menguji keberhasilan dari Kota Kompak ini, terdapat dua indikator yakni dalam ketepatan dan kerapatan penggunaan lahan yang efisien dan aksesibilitas terhadap transportasi, pelayanan publik dan tempat kerja; dan seberapa besar pengaruh hubungan Kota Kompak dengan kota disekitarnya (EOCD, 2014). Tentunya, untuk menciptakan hasil yang diinginkan, diperlukan kebijakan yang tepat.

Sebagai contoh kasus, Surabaya merupakan daerah yang secara administratif merupakan sebuah kota dan dilihat dari aktivitas yang dijalankan merupakan daerah perkotaan. Surabaya dilihat sebagai kota yang semestinya menerapkan konsep Kota Kompak. Data menunjukkan bahwa populasi penduduk Surabaya  pada tahun 2011 sudah lebih dari 3 juta jiwa.

Pada tahun 2005, sektor transportasi menghasilkan emisi sebanyak 5.480.000 ton karbon dioksida yang berkontribusi terhadap 98% total emisi di Surabaya (Mahriyar, 2014). Hal ini dikarenkan karena padatnya aktivitas pada pusat kota, namun para pekerja merupakan pendatang dari kota di sekitar Surabaya sehingga menyebabkan adanya kebutuhan untuk mobilitas dalam jarak yang relatif jauh.

Mobilitas ini dilakukan dengan menggunakan kendaraan pribadi yang tentunya memperparah kondisi sistem transportasi perkotaan. Berdasarkan data Pemerintah Kota Surabaya tahun 2003 Penggunaan lahan di Surabaya, tercatat sebanyak 90% merupakan lahan terbangun dan hanya 10% saja yang menjadi lahan terbuka.

Tentu saja, hal ini semakin membuat harga lahan di perkotaan meningkat yang kemudian menambah minat masyarakat untuk mencari tempat tingal di pinggiran kota seperti di Gresik atau Sidoarjo yang harganya relatif lebih murah. Efek samping dari kegiatan ini membuat arus transportasi tidak terkendali pada hari kerja, karena banyaknya pekerja pendatang yang memenuhi jalan-jalan kota.

Berdasarkan hasil analisa MDS yang dilakukan tahun 2013 oleh Mahriyar, didapatkan tiga cluster, yakni kompak (compact), cukup kompak (middle compact) dan area sprawl (sprawl areas).Pada daerah yang kompak, contohnya Simokerto, merupakan daerah yang paling ideal, yakni dimana tingkat moblitas orang pada hari kerja dan hari libur relatif sama.

Hal ini dikarenakan jarak Simokerto dan pusat kegiatan industri Rungkut Selatan yang relatif dekat sehingga para pekerja tidak perlu jauh-jauh ke tempat kerja. Dan sebagai contoh dari daerah yang cukup kompak dan area sprawlyakni Tandes dan Pakis memliki fluktuasi transportasi pada hari kerja. Hal ini dikarenakan rata-rata jarak tempuh perjalanan menuju tempat kerja yang relatif lebih jauh.

Hasil analisis tersebut menunjukkan semakin dekat dengan tempat kerja dan fasilitas publik, maka akan ada kecenderungan orang untuk mengurangi penggunaan kendaraan priadi dan beralih menggunakan kendaraan umum atau berjalan kaki. Semakin sedikit jarak perjalanan  yang ditempuh, semakin mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang kompak yang artinya mampu mengurangi moblitas orang-orang untuk keluar dari daerah tempat tinggalnya.

Dengan ketersediaannya pelayanan publik dan tempat kerja di sekitar daerah tempat tinggal, akan membuat orang-orang tidak terlalu bergantung pada kendaraan pribadi yang mampu menekan jumlah energi yang digunakan dan emisi yang dihasilkan. Hal ini lah yang diharapkan dapat terjadi di kota-kota besar yang tentunya akan membawa keuntungan bagi masyarakatnya.

Dalam menciptakan sistem transportasi umum yang nyaman, perlu diperhatikan beberapa kriteria yakni kemampuan membayar masyarakat dan jarak berjalan kaki yakni 10 menit atau satu kilometer. Fasilitas di dalam transportasi umum juga perlu diperhatikan yakni adanya kursi-kusri penumpang, kursi untuk difabel dan lansia serta ibu hamil, dan jembatan penyebrangan.

Penentuan lokasi transit juga perlu diperhatikan supaya tidak menambah kemacetan di tengah kota. Jadi dalam membuat Kota Kompak ini juga seringkali dihubungkan dengan sistem TOD. Yakni yang pertama adalah merencanakan tata guna lahannya terlebih dahulu yang sudah dilengkapi dengan fasilitas publik dan akses menggunakan transportasi umum sebelum dikembangkan menjadi pusat kegiatan masyarakat.

Dalam praktiknya, seringkali Kota Kompak ini diartikan sebagai sebuah upaya untuk membangun tempat tinggal secara efisien dengan menggunakan sistem rumah susun atau rumah vertikal, dengan tujuan memperkecil penggunaan lahan. Nyatanya, rumah susun bagi MBR ditempatkan pada daerah pinggiran yang harga lahannya jauh lebih murah yang berarti akan menambah mobilitas orang-orang untuk menjangkau tempat kerja dalam jarak yang relatif jauh.

Hal inilah yang kemudian justru menyebabkan daya tarik bagi para pendatang untuk memenuhi kawasan perkotaan. Dan biasanya, dalam penyediaan rumah susun ini tidak dibarengi dengan penemuhan fasilitas publik yang layak. Sehingga orang-orang masih perlu keluar dari daerahnya untuk mendapatkan faslitas publik yang dibutuhkan seperti sekolah, rumah sakit atau puskesmas.

Sumber Referensi : 

EOCD. Compact City Policies. https://www.eocd.org/regional/greening-cities-regions/compact-city.html (27 Maret 2018, 21:05 WIB) 

Jamilus. 2017. Tinjauan Yuridis Konsep Compact CityDalam Mendukung Tata Ruang Kota.

Mahriyar. 2014. The Compact City Concept in Creating Resilient and Transportation System in Surabaya.

Pramono. 2014. Penangangan Masalah Permukiman Perkotaan melalui Penerapan Konsep Kota Kompak (Compact City) dan Transit-Oriented Development(TOD).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun