Mohon tunggu...
Humaniora

Kota Kompak Sebagai Solusi Penataan Pola Ruang Perkotaan

28 Maret 2018   09:50 Diperbarui: 28 Maret 2018   09:56 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehingga dalam Kota Kompak ini sangat penting membangun infrastruktur pada kawasan-kawasan strategis yang memberikan kemudahan akses.  Dengan berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi, tentunya akan meminimalkan emisi dari CO2. Inilah yang merupakan ketersinambungan antara Kota Kompak dan hasil yang diperoleh akan membawa perubahan yang positif bagi kota tersebut.

Untuk menguji keberhasilan dari Kota Kompak ini, terdapat dua indikator yakni dalam ketepatan dan kerapatan penggunaan lahan yang efisien dan aksesibilitas terhadap transportasi, pelayanan publik dan tempat kerja; dan seberapa besar pengaruh hubungan Kota Kompak dengan kota disekitarnya (EOCD, 2014). Tentunya, untuk menciptakan hasil yang diinginkan, diperlukan kebijakan yang tepat.

Sebagai contoh kasus, Surabaya merupakan daerah yang secara administratif merupakan sebuah kota dan dilihat dari aktivitas yang dijalankan merupakan daerah perkotaan. Surabaya dilihat sebagai kota yang semestinya menerapkan konsep Kota Kompak. Data menunjukkan bahwa populasi penduduk Surabaya  pada tahun 2011 sudah lebih dari 3 juta jiwa.

Pada tahun 2005, sektor transportasi menghasilkan emisi sebanyak 5.480.000 ton karbon dioksida yang berkontribusi terhadap 98% total emisi di Surabaya (Mahriyar, 2014). Hal ini dikarenkan karena padatnya aktivitas pada pusat kota, namun para pekerja merupakan pendatang dari kota di sekitar Surabaya sehingga menyebabkan adanya kebutuhan untuk mobilitas dalam jarak yang relatif jauh.

Mobilitas ini dilakukan dengan menggunakan kendaraan pribadi yang tentunya memperparah kondisi sistem transportasi perkotaan. Berdasarkan data Pemerintah Kota Surabaya tahun 2003 Penggunaan lahan di Surabaya, tercatat sebanyak 90% merupakan lahan terbangun dan hanya 10% saja yang menjadi lahan terbuka.

Tentu saja, hal ini semakin membuat harga lahan di perkotaan meningkat yang kemudian menambah minat masyarakat untuk mencari tempat tingal di pinggiran kota seperti di Gresik atau Sidoarjo yang harganya relatif lebih murah. Efek samping dari kegiatan ini membuat arus transportasi tidak terkendali pada hari kerja, karena banyaknya pekerja pendatang yang memenuhi jalan-jalan kota.

Berdasarkan hasil analisa MDS yang dilakukan tahun 2013 oleh Mahriyar, didapatkan tiga cluster, yakni kompak (compact), cukup kompak (middle compact) dan area sprawl (sprawl areas).Pada daerah yang kompak, contohnya Simokerto, merupakan daerah yang paling ideal, yakni dimana tingkat moblitas orang pada hari kerja dan hari libur relatif sama.

Hal ini dikarenakan jarak Simokerto dan pusat kegiatan industri Rungkut Selatan yang relatif dekat sehingga para pekerja tidak perlu jauh-jauh ke tempat kerja. Dan sebagai contoh dari daerah yang cukup kompak dan area sprawlyakni Tandes dan Pakis memliki fluktuasi transportasi pada hari kerja. Hal ini dikarenakan rata-rata jarak tempuh perjalanan menuju tempat kerja yang relatif lebih jauh.

Hasil analisis tersebut menunjukkan semakin dekat dengan tempat kerja dan fasilitas publik, maka akan ada kecenderungan orang untuk mengurangi penggunaan kendaraan priadi dan beralih menggunakan kendaraan umum atau berjalan kaki. Semakin sedikit jarak perjalanan  yang ditempuh, semakin mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang kompak yang artinya mampu mengurangi moblitas orang-orang untuk keluar dari daerah tempat tinggalnya.

Dengan ketersediaannya pelayanan publik dan tempat kerja di sekitar daerah tempat tinggal, akan membuat orang-orang tidak terlalu bergantung pada kendaraan pribadi yang mampu menekan jumlah energi yang digunakan dan emisi yang dihasilkan. Hal ini lah yang diharapkan dapat terjadi di kota-kota besar yang tentunya akan membawa keuntungan bagi masyarakatnya.

Dalam menciptakan sistem transportasi umum yang nyaman, perlu diperhatikan beberapa kriteria yakni kemampuan membayar masyarakat dan jarak berjalan kaki yakni 10 menit atau satu kilometer. Fasilitas di dalam transportasi umum juga perlu diperhatikan yakni adanya kursi-kusri penumpang, kursi untuk difabel dan lansia serta ibu hamil, dan jembatan penyebrangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun