Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Belajar dan Obat Sakit Kepala?

25 Agustus 2023   21:15 Diperbarui: 25 Agustus 2023   21:21 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis


Kita sangat mengapresiasi  lahirnya gagasan baru dari Kemendikbudristek yang digawangi oleh Sang Menteri Nadiem Anwar Makarim, dengan konsep " seolah baru" yang menggunakan icon atau label Merdeka, seperti Kurikulum Merdeka, yang diikuti dengan Merdeka Belajar, dengan turunannya guru penggerak, Sekolah penggerak, guru inti penggerak dan yang bergerak-gerak lainnya.

Sebagai mana kita ketahui sejak dulu kala, bahwa ada  Pameo  yang selalu hadir di setiap pergantian rezim. Kita mengenal sebuah pameo klasik yang berbunyi " Ganti Menteri, Ganti kurikulum "   Pameo itu hadir sebagai bukti bahwa memang benar hal itu terjadi. Buktinya  Menteri Pendidikan dan Kebudaayan ( Kemendikbudristek ) kita saat ini sudah bergerak menggantikan kurikulum pendidikan kita, sesuai dengan agenda politik rezim Jokowi yang menggadang-hadangkan visi revolusi mental, yang saat ini masih berevolusi tersebut. Ya, berevolusi, karena hingga saat ini perubahan mental pemerintah dan masyarakat di semua strata, belum menunjukkan adanya tanda -tanda buah revolusi yang biasanya bergerak cepat dan masif. Lalu, ketika Mas Menteri Nadiem Makarim, kini terus menggelorakan Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar itu, apakah salah?

Tentu tidak salah. Tidak mungkin seorang menteri diangkat tanpa ada keperluan atau agenda besar yang harus dijalankan. Semua ada latar belakang, baik politis, sejarah maupun berabagi faktor lainnya. Maka, ketika Mas Menteri dikbudristek ini menggelorakan Kurikulum Merdeka, Merdeka belajar dan turunannya,  latar belakang pertama bahwa ada pesan atau agenda yang harus dijalankan. Pertama adalah  amanat undang-Undang Dasar Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Visi dan misi  negara dan bangsa yang berorientasi ke masa depan  dengan terus mencerdaskan bangsa yang kemudian dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional  dengan narasi, bahwa pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Pendidikan Nasional
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan Nasional yaitu :

"Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan tersebut merupakan tujuan utama dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik dari segi spiritual, kognitif, afektif, emosi, sosial, dan kemandirian yang merupakan wujud kepribadian bangsa yang berkarakter.

Selain itu, visi dan misi rezim Jokowi dan Pro. Makruf Amin melakukan mewujudkan mimpi revolusi mental  bisa diwujudkan dengan salah satu strategi mengubah kurikulum pendidikan nasional yang saat ini sedang digerakkan  institusi pendidikan di tanah air.  Visi ini tidak akan tercapai bila tidak diwujudkan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia ( SDM ) yang andal, lewat lembaga-lembaga pendidikan, dengan merancang kurikulum yang mempercepat proses akselerasi pencapaian terwujudnya masyarakat Indonesia yang cerdas, beriman dan takwa.

Oleh sebab itu pergantian kurikulum  itu diklaim sebagai sebuah keniscayaan, maka pendidikan kita di era rezim Joko Widodo (Jokowi) dan Prof. Makruf Amin. Saat ini, harus terkoneksi dengan misi  revolusi mental. Namun ada banyak hal lain yang mendorong sang Menteri agar dengan segera menerapkan  kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar itu.

Lalu, sebagai negara yang menjadi warga bangsa global, ada latar belakang lain, baik internal maupun eksternal. Sebagai warga dunia, atau masyarakat global, bangsa indonesia harus mampu bersaing dengan warga dan bangsa lain di dunia. Ya, Merdeka Belajar, yang bermuara dari ekurikulum Merdeka, buah karya  monumental KEMENDIKBUDRISTEK, Mas Nadiem Makarim yang menjadi menteri di era Jokowi yang ingin mengantarkan pendidikan Indonesia mewujudkan visi Indonesia emas di tahun 2045, ketika usia kemerdekaan bangsa ini genap 100 tahun.

Kemudian ada peluang besar yang sedang di dalam pangkuan  ibu pertiwi adalah bonus demografi yang sesungguhnya bisa mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar karena pada tahun 2030  Indonesia memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030 yang pada saat itu jumlah penduduk berusia produktif akan lebih banyak dibandingkan penduduk non produktif. Sungguh ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan bila besarnya jumlah penduduk usia produktif dipersiapkan dengan baik oleh lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini. Kesempatan yang juga akan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa dan negara terbesar di dunia seperti yang diprediksi  oleh Goldman Sach, perusahaan perbankan investasi dan jasa keuangan asal Amerika yang memiliki kantor pusat di New York City memprediksi Indonesia akan menjadi negara terbesar ke empat di dunia pada antara tahun 2050 hingga 2070.  Ke empat negara tersebut adalah Cina, America, India dan Indonesia.

Sebuah prediksi yang membuat kita termotivasi  serta terbawa mimpi untuk bisa mewujudkan dan mengantarkan bangsa Indonesia ke posisi yang sangat spektakuler itu. Tentu sangat wajar, karena setiap pemimpin negeri ini, punya mimpi besar. Oleh sebab itu dukungan upaya setiap Mentri sangat dibutuhkan, terutama yang berkaitan dengan penyiapan sumber daya manusia (SDM) agar mampu bersaing di tingkat Global.

Idealnya, visi dan misi, adanya peluang-peluang besar bagi bangsa ini  bisa dimanfaatkan dengan baik, dengan menyiapkan sumber daya manusia yang siap bersaing di tingkat global, sehingga impian besar yang digagas di awal kemerdekaan Republik Indonesia ini bisa dimanfaatkan secara optimal dan kuat. Sayangnya, dunia pendidikan kita di Indonesia dari waktu ke waktu, ketika kita membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, dunia pendidikan kita dalam banyak hal mengalami penderitaan.

Pendidikan kita terus digerogoti oleh berbagai penyakit, baik penyakit ringan maupun penyakit-penyakit yang tergolong berat dan akut. Dunia pendidikan, di hampir semua jenjang terus mengalami  disorientasi  dan bahkan ikut hanyut dalam arus disrupsi. Banyak fakta yang menyedihkan dan berada di puncak Gunung es. Fakta-fakta tersebut memotret wajah dunia pendidikan kita di tingkat global hingga lokal.  

Fakta kualitas pendidikan kita, menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih penuh dengan masalah.  Satu di antaranya adakah berdasarkan data yang dirilis Worldtop20.org peringkat pendidikan Indonesia pada 2023 berada diurutan ke 67 dari 209 negara di dunia. Urutan Indonesia berdampingan dengan Albania di posisi ke-66 dan Serbia di peringkat ke-68.

Peringkat ini berbanding lurus dengan kemampuan literasi bangsa Indonesia bila kita mengacu pada survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Bukan hanya itu, secara umum, mayoritas usia 15 tahun ke atas di Indonesia sudah mencapai wajib belajar 9 tahun (62.68%). Tamat Perguruan Tinggi 10,15 %. Angka melek huruf 96.36 %. Angka putus sekolah meningkat sejalan dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Dengan demikian kita bisa menilai seperti apa tingkat pendidikan masyarakat kita mengerucut mengikuti puncak piramid, jumlah yang berpendidikan tinggi hanya 10.5 persen.

Hal lain yang juga masih mengganjal adalah terkait dengan persoalan minat membaca masyarakat Indonesia yang rendah dan terus melorot. Melorotnya minat membaca membuat kemampuan literasi anak negeri  ikut turun dan menuju titik nadir. Ya, ketika  minat membaca  terus menurun, maka secara otomatis akan membuat kemampuan literasi, numerasi masih tetap rendah. Sudah banyak survei yang memaparkan hal ini.

Soal kualitas guru juga masih belum terpecahkan dan masih menjadi persoalan besar. Hasil UKG tahun 2015 a- 2017 masih di bawah nilai standar 75. Hasil survei  Bank Dunia 2020 menyatakan bahwa kualitas guru di Indonesia juga masih rendah bukan hanya pada kompetensi dan kemampuan mengajar, tetapi juga kompetensi sosio emosional yang hanya 3.25 dari nilai standar 5. Dengan demikian menunjukkan
Profil guru kita, banyak yang tidak layak mengajar. Jadi ini adalah beberapa sisi wajah buruk dunia pendidikan kita yang menjadi penyakit kronis dan harus diobati.
Tentu Mas Menteri Dikbudristek telah mendiagnosis penyakit-penyakit itu hingga dengan cekat dan cepat membawa resep baru untuk mengobati penyakit kronis itu. Yang kurikulum Merdeka yang diimplementasikan dengan Merdeka Belajar.

Obat Sakit Kepala

Ya, Kemendikbudristek, di tangan Nadiem Makarim, telah membawa obat, penawar sakit yang disebut dengan Kurikulum Merdeka dan Belajar Merdeka. Sejenis obat yang mungkin dikategorikan sebagai obat mujarab. Dengan  Kurikulum Merdeka dan Merdeka belajar diharapkan penyakit kronis pendidikan di tanah air bisa terobati dengan konsep baru yang ingin membawa  bangsa Indonesia mewujudkan impian itu dengan kebijakan Merdeka Belajar.  menurut sang Menteri bahwa kebijakan Merdeka Belajar  itu merupakan langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila.

Kedengarannya begitu indah dan memiliki prospek yang cukup bagus. Padahal penerapan kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar  membutuhkan guru-guru yang bermindset merdeka, sementara para guru kita masih terjajah oleh berbagai hal, birokrasi dan Administrasi. Selain itu, buruknya sistem peningkatan kualitas guru hingga kini masih belum berubah.

Pembinaan guru lewat berbagai kegiatan pelatihan atau penataran guru yang hingga kini dilakukan dengan cara asal -asalan, karena mengalami distorsi dan disorientasi dalam melaksanakan kegiatan -kegiatan itu. Seharusnya untuk peningkatan ilmu, ketrampilan dan perubahan sikap dan mindset, yang terjadi adalah mengejar uang saja. Kegiatan peningkatan kualitas menjadi berbasis proyek.

Masalah yang juga klasik adalah Kemampuan guru memahami kurikulum Merdeka masih belum cukup, begitu pula dengan konsep merdeka belajar. Apalagi ini adalah konsep atau resep obat yang masih baru. Resep yang masih belum teruji keampuhannya. Walaupun, selama ini Kemendikbudristek  sudah bergerak cepat meluncurkan gagasan baru itu,  yang disebut dengan  kurikulum merdeka yang kemudian pada Desember 2019, gagasan itu menjadi pemberitaan di banyak media masa, namun belum semua faham dengan resep atau konsep Kurikulum Merdeka dan Merdeka belajar itu. Padahal, membangun pemahaman semua pemangku kebijakan dan pelaku pendidikan, harus memahami resep tersebut, agar dalam pelaksanaan di lapangan tidak seperti  praktik salah obat.

Pokoknya, sebelum melibatkan partisipasi banyak pihak, hal yang harus kita samakan dan luruskan adalah pemahaman kita.
Samakan dahulu, apa yang dimaksudkan dengan "Merdeka  Belajar" itu. Ini penting agar dalam semua proses implementasi tidak bias dan salah kaprah.

Semua pihak perlu meluruskan atau menyamakan persepsi. Ya, para pelaksana di berbagai level, Pemerintah Daerah,  Kepala - kepala Dinas Pendidikan  di tingkat Provinsi dan Kabupetan/ kota, beserta praktisi pendidikan, yakni guru atau pendidik, serta peserta didik dan orang tua. Oleh sebab itu, selayaknya kita bertanya, apakah semua pihak sudah memahami  atau memaknai apa gerangan Merdeka Belajar tersebut?

Hal ini perlu, karena mustahil kita bisa melakukan atau mempraktikkan merdeka belajar tanpa semua pihak faham dengan benar tentang merdeka belajar tersebut. Mungkinkah kita melakukan merdeka belajar tanpa murid dan guru diajari merdeka belajar?

Kemendikbudristek memang telah memberikan pemahaman tentang Kurikulum Merdeka  yang diklaim lebih unggul dari kurikulum sebelumnya.   Walau Keunggulannya seperti disebutkan oleh Pemilik konsep, Kemendikbudristek, lebih sederhana, mudah difahami dan diimplementasikan, fokus kepada kompetensi dan karakter, fleksibel, selaras dan lebih berpuasa kepada murid, belum tentu semua guru sudah mampu menerjemahkan konsep tersebut.

Memang  bagus bahwa akhir-akhir ini semakin banyak media yang mengulas tentang kurikulum Merdeka dan Merdeka belajar. Ya, media-media itu memberitakan konsep baru Menteri Pendidikan kebudayaan dan Ristek ini.  Sang Menteri memberlakukan kurikulum Merdeka dengan diikuti strategi  yang tepat untuk membangun pemahaman semua pihak. Ini penting, karena strategi yang dijalankan, diambil diawali dengan menyiapkan kurikulum merdeka sebagai pedoman bagi semua satuan pendidikan di Indonesia.

Seperti halnya Nadiem Makarim  pada hari Guru Nasional, 26 November 2019 lalu tlah menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan Merdeka Belajar, adalah unit pendidikan, seperti sekolah, guru-guru dan muridnya mempunyai kebebasan untuk berinovasi dan kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Sekali lagi, berapa banyak guru yang benar-benar memahami konsep ini? Idealnya guru-guru yang berada di garda depan sudah cukup paham dengan kurikulum Merdeka dan juga Merdeka Mengajar itu.

Sebab, ketika Merdeka belajar ingin memberikan kebebasan untuk berinovasi dan kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif, pertanyaan kita adalah apakah guru-guru kita saat ini sudah merdeka?

Hal yang juga penting diketahui adalah berapa lama berlakunya kurikulum Merdeka, belajar Merdeka, Guru penggerak im?  Pertanyaan ini muncul karena belajar pada pengalaman masa lalu.  Kita khawatir bola  kurikulum Merdeka dan Resep Merdeka belajar ini akan berlangsung selama sang Menteri masih menjadi menteri. Setelah  itu?  Ingat, jangan kelak kurikulum ini kurikulum salah obat, karena tidak menjawab akar masalah pendidikan kita. Mari kita jawab bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun